TETAP MEMIKIRKAN PENGORBANAN HARTA SAAT BENCANA MELANDA

Ada satu cabang Jemaat Ahmadiyah di daerah Kalimantan Tengah yang bernama Tanggul Harapan. Tak banyak Ahmadi disana. Mereka rata-rata adalah tranmigran dari Jawa Barat. Salah satu diantara keluarga Ahmadi disana adalah keluargaku, dimana ayah dan ibu tinggal disana.

Ayahku bernama Ibrahim Malik, sedang ibu bernama Masitoh. Aku biasa memanggil ayahku dengan panggilan sayang “abah”. Abah ikut program transmigrasi pada tanggal 23 Desember 2012. Ya, sudah hampir delapan tahun hijrah ke Kalimantan dari kampung halaman di Sukabumi.

Abah dan keluarga yang ikut program transmigrasi ini, sehari-hari bertani dengan menanam padi. Mereka juga menanam sayuran juga sawit.

Sejak Juli 2020 lalu. Abah dan para Ahmadi lainnya diuji oleh Allah Ta’ala. Bukan dengan corona, tapi banjir yang menenggelamkan semuanya.

Kedalamaan air sudah rata dengan lahan pertanian yang ada di tempat dimana abah dan para Ahmadi lainnya mencari nafkah, yakni di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Tanggul Harapan.

Banjir sempat surut selama 15 hari. Tapi rupanya, setelahnya datang banjir yang lebih besar dari sebelumnya. Banjir kali kedua, tak hanya meluluhlantakkan penghasilan abah dan para anggota Jemaat disana, tapi kini juga sudah masuk ke dalam rumah.

Melihat kondisi rumah yang sudah tergenang air. Akhirnya, pada 22 Oktober 2020 abah memutuskan untuk membawa mamah mengungsi ke tempat yang telah disediakan pemerintah setempat.

Suatu hari saya menelpon, menanyakan kabar abah dan mamah. Saya berniat untuk mengirimkan sedikit rezeki, sekedar untuk membeli bahan makanan selama berada di pengungsian.

Tapi abah tidak mau menerimanya. Beliau bukan menolak rezeki dari sang anak. Tapi ada satu hal yang lebih penting dari sekedar memenuhi kebutuhan perut. Dan ketika aku mendengarnya, perih rasanya batin ini.

Abah berkata, “Teteh, abah terima uang dari Teteh, tapi jangan dikirim kesini. Tolong bayarkan candah Wasiyat abah sama candah Aam mamah, karena abah tidak lagi memiliki penghasilan.”

Seolah waktu terhenti mendengar perkataan abah. Lidahku seketika kelu untuk mengatakan satu patah kata pun. Tak terasa, air mata mulai menetes, lalu melaju dengan derasnya. Aku tak menemukan kata untuk menolak permintaan abah. Karena itu adalah bentuk cintanya yang besar kepada Allah Ta’ala.

Dalam kondisi sulit sekalipun, abah tak pernah lupa cara mencintai-Nya lewat pengorbanan hartanya. Walau ragaku tak bersama mereka, namun hati ini bisa merasakan kepedihan yang terlalu dalam itu.

Abah memang selalu menanamkan kecintaan kepada Jemaat dan pengorbanan harta di jalan Allah kepada anak-anaknya. Abah selalu bilang, “Jangan takut tidak makan dan jangan takut untuk berkorban harta, karena apa yang kita korbankan Allah akan menggantinya berkali-kali lipat.”

Abah adalah panutan kami. Abah selalu berharap agar anak-anaknya terus berjalan di jalan Allah Ta’ala. Agar supaya kami bersyukur dan pantang mengeluh. Juga agar selalu siap sedia berkorban walau berada dalam kondisi sesulit apapun itu.

Ayat ini yang selalu abah ajarkan kepada kami, “Jika kamu bersyukur, pasti akan aku limpahkan lebih banyak karunia kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)

Dan apa yang selalu abah nasehatkan ini selalunya menjadi kenyataan. Tangan Allah Ta’ala selalu bekerja untukku juga untuk abah. Itulah yang telah, sedang dan akan selalu terjadi pada mereka yang tak pernah kehilangan harapan dari mendahulukan hak-hak Allah Ta’ala, bahkan di tengah kondisi paling sulit sekalipun.

.

.

.

Penulis: Nurjanah

Editor: Muhammad Nurdin

Visits: 366

Nurjanah

4 thoughts on “TETAP MEMIKIRKAN PENGORBANAN HARTA SAAT BENCANA MELANDA

  1. Masya Allah semoga sodara2 di Tanggul Harapan diberikan kekuatan kesehatan dan selalu dalam perlindungan Allah Ta’ala.
    Mubarak Nur

  2. Masya Allah, tak terasa air mata ikut menetes.. Semoga Allah SWT selalu melindungi keluarga Ibu Nur ..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *