#2019GantiPresiden

#2019GantiPresiden, Ambiguitas Akhlak Islami

Gerakan politk #2019GantiPresiden selalu mengidentikan diri mereka sebagai gerakan revolusioner islam. Gerakan ini ingin menjawab keresahan umat atas “kinerja rezim” yang mereka nilai tidak berpihak kepada islam. Maka dimulailah tour yang begitu masif dari kota ke kota.

Setelah sukses di beberapa kota. Gerakan ganti presiden ini akhirnya mendapat penolakan. Bentrok fisik pun tak terhindarkan. Pada akhirnya, kita harus bertengkar dengan sesama anak bangsa. Padahal, ini tak perlu ada dalam pentas politik dalam negeri.

Gerakan ganti presiden, yang membawa banyak ayat-ayat Quran, juga kisah-kisah perang Nabi, memunculkan sebuah spirit bahwa suasana politik menjelang 2019 adalah suasana perang. Menyemarakkan gerakan ini tergolong amal shaleh yang merupakan bagian dari akhlak islami.

Sayangnya, gerakan yang dianggap “suci” ini tak diimbangi dengan kepekaan sosial yang tinggi. Sehingga, muncul beragam penolakan, dari mereka yang telah muak dengan muatan-muatan ceramahnya yang berpotensi memperparah perpecahan di tengah-tengah masyarakat.

Kalau semua itu adalah bentuk dari akhlak islami, dampak apa yang bisa dihasilkan dari ritus yang sifatnya temporer itu? Yang riaknya begitu besar dirasa hanya dalam hitungan jam. Setelahnya, hanya menyisakan kenangan indah bahwa mereka adalah muslim yang berakhlak mulia. Hanya itu saja?

Mengapa akhlak atau moral itu penting? Sebab, kedatangan Nabi Muhammad saw adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dampak yang dihasilkan dari misi beliau apa? Perbaikan di segala lini kehidupan.

Bertutur kata baik, sopan santun, simpati terhadap sesama, saling membantu kepada mereka yang kesusahan, gemar berbagi, lebih memilih mengalah sebab mengalah bukan berarti kalah, peka terhadap keadaan di sekitar, jujur, amanah, tak kuasa menyakiti orang lain, dan masih banyak lagi. Akhirnya, terciptalah sebuah masyarakat madani yang minim masalah.

Akhlak islami tak melulu ditampilkan dari pakaian yang kita pakai, makanan yang kita makan, bahkan ibadah yang kita lakukan. Semangat menjalankan syari’ah dan mengamalkan berbagai macam ibadah, tapi luput dari kepekaan sosial di lingkungan kita hidup, itu adalah bentuk dari moralitas ganda. Hiruk pikuk model dakwah kekinian, yang menjadi tren dalam penyebaran Islam ke seluruh lapisan masyarakat, tapi lupa bahwa kesejahteraan adalah tolak ukur dakwah sebuah agama sukses atau tidak.

Kita selalu sibuk pada kegiatan-kegiatan keagamaan dengan membangun sarana-sarana lahiriah seperti pembangunan masjid megah-megah, kesemarakan eventevent islami semisal MTQ, Pildacil, juga Hafidz Quran, juga yang kini sedang populer seperti gerakan ganti presiden. Semua itu menutup mata umat Islam dari tugas utama agama: mengangkat derajat manusia dari kemiskinan dan kehinaan.

Padahal. Islam adalah agama yang memiliki kaitan erat dengan upaya meringankan beban si miskin dan si fakir. Kalau ini direnungkan sejenak, maka akan nampak, betapa jauhnya suasana kehidupan umat Islam dengan apa yang dianjurkan agama.

Umat Islam harus mampu mengevalusi dan mengkritik atas konsep akhlak atau moral yang selama ini kita hayati. Kita tidak boleh masa bodoh dengan kerusakan yang ditimbulkan dari moralitas ganda yang terus kita amalkan. Sibuk dalam ritus-ritus agama semisal deklerasi ganti anu, tapi membiarkan korupsi terus merajalela tanpa adalah aksi-aksi serupa. Ini berarti kita telah melakukan pembiaran atas proses pemiskinan bangsa ini.

Sibuk dalam dakwah yang tidak substantif semisal “tidak boleh memilih pemimpin yang non muslim” tapi menutup diri dari prestasi seorang non muslim yang telah berjuang keras menciptakan kesejahteran sesuai dengan amanat agama Islam. Dakwah hendaknya bersifat membangun bukan merubuhkan. Dan ulama perlu melihat ini. Jangan cuma mengurusi hal-hal remeh temeh semisal topi Natal.

Ulama juga harus punya konsep yang detail tentang bagaimana mengentaskan kemiskinan. Bagaimana bisa ulama mengarah kesana, sedang ulamanya masygul terlibat dalam pertarungan politik. Ulama sibuk terlibat dalam urusan halal-haram, dimana ada pusaran uang yang tidak sedikit disana. Bagaimana bisa ulama menjadi agen pemberantasan kemiskinan, jika ulama masih mengejar dunia, padahal dalam ceramah-ceramahnya, nikmat surga itu tidak terbatas.

Bukankah ulama pewaris para nabi? Tapi Nabi tak pernah punya ambisi untuk populer. Nabi tak pernah meminta tarif saat ceramah. Padahal, setiap kata yang beliau ucapkan adalah hikmah yang membawa pada perubahan dan perbaikan. Mengapa banyak alim-ulama yang memasang tarif untuk ceramah-ceramahnya, padahal kekuatan perbaikan atau perubahan belum tentu termuat dalam kata-katanya.

Kalau kekuatan perbaikan dan perubahan itu ada, bangsa ini sudah lama maju. Justru ini menjadi pertanyaan kita bersama: Saat semangat keagamaan mencuat dimana-mana, mengapa kita tetap ketinggalan dari Negara-negara “kafir” yang melesat jauh ke depan? Kita masih saja mengurus topi Natal yang dikhawatirkan akan mendangkalkan akidah.

Itu artinya. Kita terlalu asyik membangun agama ini secara fisik. Yang membuatnya hampa dari nilai-nilai akhlak, yang tersembunyi di kedalaman hati.

Akhlak, akhlak, akhlak. Bukan cuma giat mengumpulkan orang untuk deklerasi ganti presiden. Bukan cuma sibuk mengawal sebuah fatwa, dimana fatwa dalam hukum Islam cuma sebatas anjuran bukan hukum. Juga, akhlak Islami bukan giat mensweeping tempat-tempat tertentu.

Simpanlah tenagamu untuk mengurusi hal-hal yang lebih besar dari sekedar ganti presiden. Bukankah kemiskinan mendekatkan seseorang kepada kekafiran? Mari berantas kekafiran yang demikian.

 

Visits: 54

Writer | Website

Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.

2 thoughts on “#2019GantiPresiden, Ambiguitas Akhlak Islami

  1. subhanalloh.. yg pertama kita itu di wajibkan mencari pemimpin yg muslim..
    krn dgn pemimlin muslim itu bs beramal dgn aqidah nya sesuai dgn umat islam..

  2. Allah SWT berfirman:

    لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَآءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ ۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّٰهِ فِيْ شَيْءٍ اِلَّاۤ اَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقٰٮةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللّٰهُ نَفْسَهٗ ۗ وَاِ لَى اللّٰهِ الْمَصِيْرُ
    laa yattakhizil-mu`minuunal-kaafiriina auliyaaa`a min duunil-mu`miniin, wa may yaf’al zaalika fa laisa minallohi fii syai`in illaaa an tattaquu min-hum tuqooh, wa yuhazzirukumullohu nafsah, wa ilallohil-mashiir

    “Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali.”
    (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 28)

    mohon di baca.. cari pemimpin yg beriman (islam).kita umat islam berpegang teguh dgn al quran dan hadist bukan hasrat / syahwat dgn org yg sepakat non muslim..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *