Rasulullah saw : Teladan Toleransi dan Pemaaf Sejati

 

Salah satu tujuan Allah Ta’ala mengutus para nabi-Nya adalah untuk memperbaiki akhlak umat manusia dan melalui Rasulullah saw, Dia mengirimkan kepada kita Syari’at yang lengkap lagi paripurna dalam bentuk Al-quran Suci dan menjadikan beliau saw sebagai penjelmaannya, inni bu’itstu liutammima makarimal akhlak.

Hal ini diakui oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan beliau saw, semakin dekat seseorang kepada beliau semakin besar wawasannya tentang hal ini. Aisyah ra, istri tercinta Nabi Muhammad saw ketika ditanya tentang bagaimana akhlak suaminya? Ia menjawab; “Akhlaknya adalah Al-Quran.”

Banyak tauladan yang Rasulullah saw contohkan kepada kita, yang apabila difahami dan kita renungkan akan membawa kita kepada satu kesadaran bahwa kedatangan beliau saw memang tiada lain kecuali sebagai Rahmat untuk sekalian alam.

Dalam hal toleransi misalnya, Rasulullah saw telah mempraktekkan suatu tauladan yang luhur. Satu kisah yang mashur sering kita dengar bahwa satu waktu ada kabilah Kristen dari Najran datang kepada Rasulullah saw untuk berdialog dan Rasulullah saw pun menyambutnya. Sampai tiba waktunya bagi kabilah Kristen itu untuk menunaikan ibadah dan Rasulullah saw mempersilahkan mereka untuk menunaikan ibadahnya di Mesjid beliau.

Standar toleransi ini demikian agung, sebab dilakukan bukan oleh seseorang seperti kita, dimana keilmuan dan keimanan belum sampai pada tarap “pasti”.

Sebagai seorang Rasul, beliau saw secara pasti mengetahui mana kebaikan dan mana keburukan, mana hidayah dan mana kesesatan, bahkan beliau saw merupakan referensi dari kebenaran itu sendiri. Namun walau demikian, kedudukan itu tidak lantas membuat beliau kaku untuk memberikan hak kepada penganut kepercayaan lain untuk menjalankan apa yang diyakininya.

Kisah lainnya adalah tentang sifat pemaaf beliau. Pada saat peristiwa Fath-ul Makkah, dimana Rasulullah saw bersama sepuluh ribu pasukan muslim menaklukan Makkah. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah setelah mampu mengalahkan kaum Quraisy? Balas dendam atas keaniayaan yang mereka lakukan kepada kaum muslimiin terdahulu? Atau Merampas semua harta kekayaan mereka? Tidak, sama sekali tidak. Bahkan penaklukan yang besar itu sejatinya adalah sebuah pengampunan agung.

Ketika Abu Sofyan, pemimpin Quraisy menghadap Rasulullah saw dengan tidak memiliki daya, diperkenankan suatu permintaan kepadanya. Dan Abu Sofyan meminta agar Rasulullah saw bisa berlaku pemaaf sebagaimana Nabi Yusuf telah memaafkan kesalahan saudara-saudaranya.

Tanpa menunggu waktu lama, Rasulullah saw pun memaafkan mereka, “laa tasriba ‘alaikumul yaum” yakni tidak ada lagi pembalasan atas kalian hari ini.

Seperti petir di siang bolong, ucapan Rasulullah saw telah benar-benar menyadarkan mereka dari kekeliruan selama ini terhadap Islam dan Rasulullah. Pasalnya, pemberian maaf itu bukan lahir dari dominasi Islam semenjak awalnya, tapi muncul setelah 13 tahun Rasulullah saw bersama para sahabat dianiaya, diboikot dan dirampas hak-haknya di Makkah yang tidak sedikit memakan korban jiwa. Bahkan ketika penganiayaan itu telah melampaui batas, beliau saw harus hijrah meninggalkan tanah kelahirannya untuk sebatas mencari kebebasan menjalankan keyakinannya pun masih terus dikejar-kejar dan diancam hak hidupnya.

Kabar baik perihal pengampunan itu segera menyebar ke berbagai penjuru jazirah Arab. Ikrima putra dari Abu Sofyan yang telah banyak berbuat keaniayaan kepada kaum muslimim hendak melarikan diri dari Makkah, setelah mendengar kabar baik tersebut ia segera membatalkan niatnya dan kembali untuk memohon pengampunan dan ajaibnya Rasulullah saw pun mengampuninya.

Atas dorongan rasa bersalahnya Ikrima menyatakan akan mengikuti Muhammad saw dan memeluk Islam, namun Rasulullah saw menahannya memberikan waktu kepadanya untuk berfikir lebih lama. Setelah ia berulang-ulang meyakinkan maka Rasulullah saw pun menerimanya, dan untuk menghilangkan kecanggungan atas rasa bersalahnya di masa-masa lalu Rasulullah saw menghadiahkan jubah beliau kepadanya.

Kisah-kisah faktual tentang toleransi dan sifat pemaaf tadi yang merupakan unsur penting dalam mewujudkan perdamaian, kiranya cukup untuk menghapus segala stigma negatif tentang Islam. Sangat keliru menyandingkan Islam dengan berbagai isu intoleran dan atau pemaksaan. Jika ada dari kalangan Muslim yang berperilaku demikian, maka sejatinya ia sedang kehilangan hikmah di tengah-tengah lumbung kedamaian Islam.

Oleh: Ayah_Tsaqib

Visits: 894

Muballigh at JAI | Website

Seorang Penulis, Muballigh dan pemerhati sosial. Tinggal di Pulau Tidung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *