
Tingginya Nilai Rendah Hati
Mencari kebenaran (keshalihan) adalah keharusan untuk ditemukan dan dimiliki setiap manusia. Namun merasa paling benar (shaleh) adalah sikap yang harus dihindari dan dihilangkan. Sikap merasa paling benar adalah karakter Iblis tatkala berdialog dengan Allah Ta’ala ketika penciptaan Adam.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah 2: 30, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah dimuka bumi, Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan Khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Tuhan berfirman, “Seungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Terkait dengan bahaya dan buruknya perilaku merasa paling benar, Rasulullah SAW memberikan peringatan kepada umatnya melalui suatu kisah yang terkandung dalam salah satu hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad.
Alkisah, ada dua orang bersaudara dari kalangan Bani Israil dengan sifat yang sangat kontras. Satu di antara mereka sering berbuat dosa, sementara yang satu lagi sangat rajin beribadah. Suatu ketika, rupanyanya si ahli ibadah selalu menyaksikan saudaranya itu selalu melakukan dosa, hingga lisannya tak betah untuk tidak menegurnya.
Teguran pertama pun terlontar: “Berhentilah!” Teguran seolah tak memberikan efek apa pun dan hanya masuk melalui telinga kanan keluar lagi lewat telinga kiri, perbuatan dosa tetap berlanjut dan sekali lagi tak luput dari pantauan saudaranya yang rajin beribadah.
“Berhentilah!” ujarnya untuk kedua kali. Si pendosa lantas berucap: “Tinggalkan aku bersama Tuhanku. Apakah kau diutus untuk mengawasiku?”
Mungkin karena sangat kesal, lisan saudara yang ahli ibadah itu tiba-tiba mengeluarkan ucapan kecaman yang berbunyi: “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah tidak akan memasukkanmu ke surga.”
Pada bagian akhir—hadis tersebut memaparkan—tatkala keduanya meninggal dunia, keduanya pun dikumpulkan di hadapan Allah SWT. Kepada yang rajin beribadah, Allah mengatakan, “Apakah kau telah mengetahui tentang-Ku? Apakah kau sudah memiliki kemampuan atas apa yang ada dalam genggaman-Ku?”
Drama keduanya pun berlanjut dengan akhir yang mengejutkan. “Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku,” kata Allah kepada si pendosa. Sementara kepada si ahli ibadah, Allah SWT mengatakan, “Wahai, Malaikat! Giringlah ia menuju neraka.”
Kisah di atas menyiratkan pesan secara tegas agar kita tidak merasa paling benar untuk hal-hal yang sesungguhnya menjadi hak prerogatif dan kewenangan Allah SWT.
Tekun beribadah dan meyakini kebenaran adalah hal yang utama bagi setiap orang, tetapi justru menjadi malapetaka ketika perilaku tersebut diikuti dengan rasa ujub dan takabur dengan kewenangan menghakimi (memvonis) orang atau kelompok lain sebagai golongan yang mulia atau hina, masuk neraka atau surga, dan dilaknat atau diberi rahmat.
Nabi mengajarkan agar umat beriman yang alim dan ahli ibadah sekalipun haruslah rendah hati (tawadhu’) serta tidak boleh sombong dengan merasa paling benar dalam beragama.
Imam Syafi’i pernah menyatakan, “Orang yang paling mulia ialah orang yang tidak melihat kemuliaannya. Orang yang paling utama ialah orang yang tidak pernah melihat keutamaanya.”
Secara lahiriah tidak ada tolok ukur apa pun yang mampu mendeteksi kualitas hati dan keimanan seseorang secara pasti sebagai suatu kebenaran. Seringlah merenung. Siapa tahu kita salah menilai keadaan, ketika kita terlalu yakin akan kebenaran sendiri. Agar kita tidak zalim terhadap orang lain dan gagal paham tentang keadaan.
Jangan sombong, merasa paling baik dan benar. Walaupun engkau memang benar, engkau juga punya keburukan yang disembunyikan. Sesungguhnya Allah SWT Yang Maha Baik sedang menutupi aib-aib kita.
Visits: 337