Kebenaran suatu ajaran tidak bisa diukur dari banyak-banyakan siapa yang mengikuti, siapa yang menolak. Karena pada kodrat-Nya, yang berdiri di belakang kebenaran adalah Tuhan sendiri. Dia yang akan membuat mana yang benar menang, meski semustahil apapun kondisinya.

2016 ramai pemberitaan tentang pelarangan pembangunan Masjid Baitul Masroor milik Jemaat Ahmadiyah Subang. Pembangunan sempat terhenti, bukan larangan keras dari Lurah dan Camat setempat, tapi memang saat itu dana sudah habis.

Ketika ada lagi dana, pembangunan dilanjutkan dan terbit kembali pelarangan keras dari Lurah Sukamelang. Lurah dan Camat setempat makin geram dan bertekad untuk membongkar bangunan masjid.

Sangat disayangkan memang. Ada niatan kuat dari pemangku kebijakan di masyarakat kita yang ingin agar Rumah Allah dibongkar. Bukankah masjid adalah Rumah-Nya, terlepas dari siapa yang membungunnya?

Ia bukan sarana mengajak orang-orang kepada kemaksiatan dan kemunkaran. Tapi ia adalah sarana untuk mendekat kepada-Nya. Salahkah upaya yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah Subang untuk mendekatkan anggotanya kepada Allah Ta’ala?

Waktu jugalah yang membuktikan kebenarannya. Dalam suatu acara yang digagas oleh Bupati Subang bersama unsur Muspida. Bertempat di kantor Polres Subang, Jemaat Ahmadiyah Subang pun diundang. Kala itu, Lurah dan Camat masih tetap bersikeras agar masjid Baitul Masroor dibongkar.

Bupati Subang menyampaikan agar kerukunan antar umat beragama harus dijaga, jangan ada ribut-ribut. Senada dengan Bupati, Kapolres Subang menceritakan bahwa ia pernah jadi Polsek di Bogor dan dekat dengan warga Ahmadiyah di Cisalada. Ia menyampaikan bahwa orang Ahmadiyah disana baik-baik kok.

Dandim Subang pun bercerita bahwa ia dulu pernah tugas di Lombok. Warga Ahmadiyah disana sangat patuh dan taat dengan peraturan.

Cerita dari tiga tokoh penting di Subang tersebut membuat suasana yang tadinya tegang mencair seketika. Lurah dan Camat terlihat melunak. Dan masjid Baitul Masroor yang terletak di Gang Melati Ujung terus berlanjut pembangunannya tanpa halangan dan rintangan seperti sebelumnya.

Dan perjalanan Jemaat Ahmadiyah Subang bermula di Gang Melati Ujung. Bermula dari rumah milik Bapak M. Amir Soekardi. Kini menjadi masjid sekaligus rumah missi mubaligh Ahmadiyah.

Sekitar tahun 1977-1978. Bapak Amir Soekardi akan menghadapi masa pensiun. Beliau seorang anggota kepolisian yang berpangkat kapten. Beliau tinggal di Gang Melati Ujung No. 74 dari tahun 1959.

Bapak Amir Soekardi mempunyai hobi membaca dan menulis. Hingga muncullah buku berjudul “AKHIR ZAMAN” di rumahnya. Ia bertanya kepada salah seorang menantunya, “Dapat dari siapa ini?”

Dijawab oleh mantunya, “Dari Aa Bakir.” Maksudnya, dari Bapak Ahmad Bakir yang telah masuk Jemaat terlebih dahulu.

Bapak Amir Soekardi tertarik dengan isi buku tersebut. Buku tersebut seolah mengingatkannya pada pesan sang ibu tentang turunnya Imam Mahdi di akhir zaman. Bapak delapan anak ini akhirnya meminta agar dipertemukan dengan Aa Bakir. 

Datanglah Bapak Ahmad Bakir. Rupanya, beliau tidak sendirian. Beliau ditemani oleh kedua rekannya, Pak Sudaryono dan Pak Lili.

Dan terjadilah diksusi panjang yang cukup alot hingga malam. Karena sudah malam, semua menginap di rumah Bapak Amir Soekardi. Sebelum Subuh, dilaksanakan lah shalat tahajud berjamaah.

Diskusi berlanjut pada malam-malam berikutnya. Temanya meluas hingga pada soal apa dan bagaimana Ahmadiyah itu? Makin hari, makin seru dan serius diskusi yang terjadi.

Sebagai seorang mantan Kabag Reskrim di Kepolisian Subang, Bapak Amir Soekardi tahu persis apa dan bagaimana Ahmadiyah dalam pandangan masyarakat awam. Kejari, Polisi, Departeman agama, MUI juga aparat Pemda sendiri merupakan pihak-pihak yang gigih melarang Ahmadiyah di Subang.

Oleh karenanya, terjadi gejolak batin yang luar biasa dalam hati bapak Amir Soekardi. Di satu sisi, beliau makin melihat kebenaran yang demikian jelas tentang Ahmadiyah, tapi di sisi lain beliau juga berada di sekeliling orang-orang yang gigih melarang Ahmadiyah.

Pada akhirnya, Bapak Amir Soekardi memutuskan untuk bai’at masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Usai melaksanakan tahajud dan subuh berjamaah di kediaman beliau, di Gang Melati Ujung, siangnya berangkat ke Bandung, ke Masjid An-Nashir di Jalan H. Safari. Beliau bai’at di tangan “bapak utusan” Mln. Muhammad Idrees sahib.

Pasca bai’atnya Bapak Amir Soekardi seluruh aktivitas keagamaan Jemaat Ahmadiyah Subang yang saat itu belum berdiri cabang dan masih menginduk di Bandung dilakukan di kediaman beliau. Tentu, hal ini membuat geger Subang, terutama di lingkungan sekitar Gang Melati Ujung.

Beragam penolakan dan rasa ketidaksenangan silih berganti bermunculan. Tapi, para sesepuh Jemaat Subang yang seibarat masih bayi tersebut tetap teguh dalam pendirian mereka. Tokoh-tokoh Jemaat dari Bandung juga tak kalah dalam memberikan dukungan moril juga doa untuk perkembangan Jemaat di Subang.

Hingga akhirnya, pusat Jemaat di Gang Melati Ujung bermetamorfosis menjadi sebuah Masjid dan Rumah Missi Mubaligh.

Dan benar saja apa yang disampaikan oleh Hazrat Imam Mahdi as bahwa ketahuilah! Ketika sebuah Masjid dibangun di sebuah desa atau di sebuah kota bagi kita maka dasar kemajuan Jemaat telah diletakkan. 

Kini, warga Jemaat Subang tengah melihat pemenuhan dari sabda Hazrat Imam Mahdi tersebut. Bagaimana kemajuan demi kemajuan terjadi, meski harus dilalui dengan beragam penolakan dan larangan dari pihak-pihak yang tidak senang.

 

Editor: Muhammad Nurdin

Visits: 119

Bambang H (Putra ke-6 M. Amir Soekardi) dibantu oleh Mln. Muhammad Nurzaini (Mubaligh Subang)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *