Cara Nenek Ida Mensyukuri Nikmat Baiat

Hari itu hujan deras. Bertepatan dengan jadwal rutin Ta’limul Quran. Nenek Ida keluar dengan payung di tangan. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju masjid, menembus hujan. Ia melihat saya dan mengajak ke masjid.

“Ibu saat hujan begini apakah akan ada orang yang datang masjid?” tanyaku ringkas.

“Tidak apa-apa, jika tidak ada orang yang datang pun kita saja yang ada yang melaksanakan, sebab setiap orang punya rasa pengkhidmatannya masing-masing, maka ketika kita punya ghairat untuk melaksanakan, mengapa kita harus menunggu orang lain.” jawabnya yang membuat malu sekaligus kagum dengan sosok Nenek Ida.

Jalan hidup Nenek Ida sungguh unik. Menjelang masa tuanya, tak satupun huruf hijaiyah yang ia tahu. Ia tak tahu mengaji. Pengetahuan agamanya hanya berdasar kata orang tua dulu.

Sebuah pesan dari sang nenek lah, yang membawa nenek Ida pada hidayah yang mengubah segalanya. Yang membuatnya demikian lekat dengan sedekah. Yang membuatnya tak pernah luput dari mengaji. Juga, yang membuatnya larut dalam ibadah-ibadah.

Sang nenek berpesan kepadanya:

“Nanti pada akhir zaman akan ada masa dimana peristiwa yang terjadi hari ini, maka akan kita lihat juga hari ini,” Nenek Ida tak pernah tahu maksudnya. Hingga rambutnya memutih, ia baru sadar bahwa inilah akhir zaman yang diceritakan sang nenek dulu.

“Nanti, sarang laba-laba akan memenuhi bawah langit,” sang nenek berujar lagi. 

Lalu sang nenek berpesan, “Ingatlah dimana kamu mendengar Imam Mahdi, maka Nabi Isa telah turun. Kamu harus segera baiat.”

Nenek Ida yang kala itu masih anak-anak itu cuma dongeng dengan banyak fantasi di dalamnya. Namanya anak kecil, nenek Ida senang saja diceritakan demikian. Ia tidak pernah tahu, dengan cerita itulah jalan hidayah ia raih.

Dan entah kenapa, nenek Ida seperti tersadarkan. Ia melihat di televisi aneka peristiwa yang terjadi hari ini, dan hari ini juga ia dapat menyaksikannya, meski secara tidak langsung.

Ia juga menyaksikan kabel-kabel yang menggantung di tiang listrik. Mirip sekali dengan sarang laba-laba di bawah langit.

Hingga ia mendengar kabar bahwa Imam Mahdi telah datang dari adik iparnya yang sudah masuk terlebih dulu ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Ia pun teringat kembali dengan pesan sang nenek bahwa harus baiat ketika mendengar Imam Mahdi sudah datang. 

Nenek Ida memutuskan untuk baiat. Meski harus bertentangan dengan suami dan anak-anaknya. Tapi, keyakinannya demikian kuat bahwa memang inilah masa dari Imam Mahdi.

Setelah baiat, nenek Ida merasakan suatu perubahan yang luar biasa dalam dirinya. Timbul semangat baru untuk memperdalam ilmu agama.

Ia tak malu kalau dianggap telat belajar mengaji. Perlahan nenek Ida belajar mengenal huruf. Dengan sabar dan konsisten, tekadnya belajar berhasil mengantarkannya hingga akhirnya bisa membaca Alquran, terjemah juga tafsir singkatnya.

Perubahan inilah yang diperhatikan oleh suaminya. Hingga sang suami mempersilahkan dengan ikhalas istrinya mendalami keyakinannya. 

Semangatnya belajar patut diacungi jempol. Dalam kegiatan Ta’limul Quran, nenek Ida paling awal datang. Bahkan saat hujan mengguyur dengan derasnya, ia tetap datang.

Suatu kali saya berkunjung ke rumahnya. Selalunya, mendapati sang nenek tengah duduk di sebuah bangku dengan Al-Quran di pangkuannya. Ia demikian lekatnya. Seolah itulah kehidupannya. Seolah, itulah asupan gizi yang membuatnya makin hidup. 

Bagi nenek Ida, masuknya ia ke dalam Jemaat Imam Mahdi adalah satu karunia yang harus ia rawat dan tumbuh-biakkan. Ia harus mensyukurinya dengan memberikan yang terbaik yang ia miliki.

Itulah mengapa, nenek Ida mempunyai yang tinggi dalam pengorbanan harta di jalan Allah. Padahal, nenek tak berpenghasilan. Ia hanya mengandalkan pemberian dari anak-anaknya.

Pernah suatu ketika nenek Ida membayar lagi iuran bulanan juga candah-candah lainnya. Sekretaris Maal bertanya, “Ibu, ini untuk bulan apa? Soalnya ibu sudah menyimpan banyak, bahkan untuk bulan-bulan di tahun ini sudah sampai akhirn tahun.”

“Perasaan saya sudah lama saya tidak membayar, jangan-jangan ibu salah tulis.”

“Tidak, saya menulis sesuai yang ibu simpan pada saya.”

“Ya sudah, simpan saja untuk tahun berikutnya.”

Itulah cara nenek Ida bersyukur atas nikmat hidayah yang ia dapatnya. Ini bukan lagi soal mendebat benar salahnya Ahmadiyah dalam berbagai aspek keagamaan. Ini adalah soal ketenangan hati juga ketenteraman jiwa.

Bagi nenek Ida kebenaran dalam pandangannya amat sederhana. Ketika hal itu makin mendekatnya pada Rabb Yang Maha Kuasa, itulah kebenaran yang patut ia syukuri dengan memberikan apapun yang ia punya.

Melihat sosok nenek Ida, saya jadi teringat tulisan Hazrat Masih Mau’ud as dalam buku Bahtera Nuh:

“Berbahagialah mereka yang berkeyakinan sempurna sebab mereka itulah yang beruntung melihat seri wajah Tuhan. Berbahagialah mereka yang telah diselamatkan dari kewas-wasan sebab merekalah yang diselamatkan dari dosa. Berbahagialah kamu karena khazanah keyakinan itu dianugrahkan kepadamu pada saat itu berakhirlah petualangan dosamu.”

 

Editor: Muhammad Nurdin

Visits: 45

Cucu Komariah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *