Anak Istimewa Itu adalah Anugerah Besar Bagiku (Bagian 1)

Vonis
Reyhandra, lelaki kecilku itu baru berusia 2 tahun kala itu. Ia cenderung pendiam tanpa ocehan dan selalu cenderung bermain sendiri. Ketika dipanggil namanya, ia tidak pernah menoleh. Hatiku bertanya-tanya, sepertinya ada sesuatu yang aneh dalam perkembangannya. Tetapi, aku dan suamiku menepis segala keraguan dengan alasan, “Nanti juga ada waktunya.”

Sampai suatu ketika, eyangnya datang berkunjung dan meminta kami segera membawanya ke dokter. Eyang melihat step babling (ocehan bayi) pun Rey tidak mengalaminya. Kami putuskan lebih dahulu ke dokter THT. Pada saat itu Rey sedang dalam keadaan mengantuk karena perjalanan jauh ke rumah sakit.

Di ruang konsultasi, sang dokter memeriksa Rey dengan membunyikan garpu tala persis di telinganya. Dan Rey tidak bereaksi apa-apa. Dokter pun membuat vonis bahwa Rey tuli. Dengan beribu nasehat, ia berusaha membesarkan hati kami bahwa banyak di luar sana anak-anak tuli yang sukses masa depannya.

Vonis itu sempat membuat hati kami remuk. Tapi kami tidak percaya begitu saja. Kami yakin Rey tidak tuli karena di rumah dia senang mendengar lagu anak-anak dan berjoget mengikuti iramanya. Akhirnya datanglah kami ke opsi yang kedua, salah satu dokter tumbuh kembang anak terbaik di kota kami saat itu.

Dan vonis dokter kedua ini ternyata sama dengan yang sebenarnya kami yakini, walaupun secara halus kami membantahnya selama ini. Rey divonis autism, yang saat itu memang mulai booming jadi topik pembicaraan dalam dunia perkembangan anak.

Dengan tubuh yang terasa lemas, kami pulang ke rumah. Syok, segala perasaan bercampur aduk, menambah lelah fisik yang ada. Aku dan suamiku mengalami step syok dengan menangis berdua. Namun, hidup terus berjalan. Segala keterkejutan dan kesedihan harus kami rasakan tapi kami terus melakukan stimulasi kepada Rey.

Kami melakukan tes-tes suara. Kami juga terus melatihnya untuk kontak mata dan bicara serta tes-tes lainnya untuk melatih sederet tanda-tanda autism yang ada pada dirinya.

Alhamdulillah step syok kami tidak berlangsung lama. Kami segera bangkit dan datang ke tempat terapi pertama Rey dan satu-satunya di Bandung pada saat itu. Tidak mudah menemukan dan menentukan terapi apa yang paling cocok untuknya, karena kondisi autism itu berbeda-beda pada tiap anak.

Kami berdua memulai dari nol. Kami berkeliling dari dokter anak kembali sampai ke dokter syaraf. Sampai akhirnya kami bisa menentukan terapi terbaik. Kami melakukan semua itu dengan cepat karena suamiku harus segera bertugas ke Malaysia untuk waktu yang cukup lama. Sebagai ibu, aku harus mampu mendampingi Rey sendirian. Padahal, tempat terapi itu sangat jauh, menempuh jarak hingga 3 jam dengan kendaraan umum.

Perjuangan Terapi
Suryakanti, nama tempat terapi pertama Rey. Tempatnya sangat luas, fasilitasnya juga lengkap. Tempat terapi ini merupakan kerjasama Indonesia dan Jepang. Di sana para dokter selalu siap siaga memantau laporan anak secara berkala.

Pemeriksaan detail pun harus dilakukan lebih dulu. Bahkan, dalam salah satu pemeriksaan, Rey harus dibius total supaya tidur. Rey harus diperiksa kerja otaknya, apakah ada gerakan henti otak sesaat atau tidak (semacam epilepsi).

Dengan penuh perjuangan, Rey akhirnya bisa tidur setelah berkali-kali dibius. Rupanya dibius sekali tidak mempan untuknya, ia tetap segar dan tidak bisa tidur.

Dari dokter anak, Rey terpantau memiliki lingkar kepala yang termasuk kecil sehingga dikhawatirkan otaknya pun kurang normal. Jujur, kami menolak pendapat dokter ini karena memang keluarga besar dari pihak sang bapak, semua memiliki kepala yang ukurannya kecil.

Kemudian dokter syaraf langsung memberikan berbagai obat syaraf yang diyakini bisa membuat Rey lebih tenang. Tapi kami tidak memberikan obatnya karena tidak ingin Rey ketergantungan obat untuk selamanya. Sedari awal kami memang berpendapat bahwa apapun kata dokter hebat sekalipun, tetap keputusan terbaik terletak pada kami, orang tuanya.

Selanjutnya perjuangan kami dimulai dengan deretan terapi yang telah terjadwalkan. Kami sempat punya keyakinan kuat bahwa terapi bakal menyembuhkan Rey. Namun pada akhirnya kami menyadari bahwa autism tidak akan pernah sembuh sampai kapanpun. Terapi hanya membantu mengajarkan bagaimana orang tua harus terus melakukan stimulasi untuk membantu meringankan gejala autism sang anak.

Perjalanan menuju tempat terapi harus dilalui aku dan Rey dengan berganti-ganti kendaraan umum sebanyak 6 kali. Dan aku sebagai ibunya tidak hanya harus menggendong atau menuntun Rey. Tapi aku pun harus bisa meredakan emosinya yang sangat tidak terduga, bahkan terkadang tantrum tanpa sebab, karena Rey belum bisa mengungkapkan perasaannya.

Durasi perjalanan kami yang jauh ini sebenarnya tidak sebanding dengan durasi terapi yang hanya 45 menit. Belum lagi kalau kami terlambat, durasi terapi dipotong waktunya karena anak-anak yang diterapi di sana sangat banyak dan dengan beragam kebutuhan khususnya. Tapi mau tidak mau, kami berdua berusaha menjalaninya dengan sabar.

Terapi okupasi adalah terapi dengan berbagai alat bermain. Tujuannya untuk melatih keseimbangan otak, gerakan tubuh, dan melatih instruksi. Terapi di Suryakanti ini kami jalani selama 7 bulan sambil menunggu Bapak pulang ke Indonesia. Kami pun mulai berpikir untuk mencari pilihan lain yang lebih dekat lokasinya dan dengan metode yang lebih tepat. Karena okupasi saja, kami rasa itu tidak cukup untuk perkembangannya.

Terapi kedua, kami mencoba ke salah satu tempat yang cukup terkenal, yaitu Prananda. Tapi kami hanya beberapa bulan saja bertahan di sana karena Rey selalu menangis berontak setiap datang. Terapi ketiga, kami mencoba mendatangkan terapis ke rumah dengan maksud supaya lebih terasa nyaman dan tidak membuat capek di jalan. Tapi itu pun hanya bertahan beberapa bulan. Setiap terapis datang, Rey selalu sembunyi di balik gorden lalu ngompol sebagai tanda penolakan.

Terapi ke-4, 5, dan ke-6, ketiganya kami lalui di setiap hari yang sama dengan jam yang berbeda. Pagi kami ke Risantya, siang lanjut Pelita Hafist, dan menjelang sore ke Total System. Metode yang dilakukan berbeda-beda, yaitu sensory integration untuk kepekaan syaraf, terapi wicara untuk melatih kemampuan bicaranya, dan yang terakhir adalah metode lovaas atau kepatuhan untuk persiapan motorik akademiknya.

Setiap hari kami berada di perjalanan dari jam 7 pagi hingga petang. Kami juga berusaha untuk tidak mengabaikan anak perempuan pertama kami yang saat itu masih SD. Kami tetap harus bisa berbagi perhatian memenuhi haknya sebagai kakak yang mempunyai adik berkebutuhan khusus.

Pada akhirnya setelah 1 tahun kami melakukan terapi-terapi di atas, kami terpaksa harus memilih. Fisik kami mulai menurun karena kelelahan dan suamiku juga kembali harus bertugas ke Iran dan Turki selama hampir 1 tahun.

Kami tetap melanjutkan terapi hanya di Total System karena ternyata metode yang dipakai paling tepat untuk Rey yang mampu secara akademik untuk persiapan sekolahnya nanti. Metode lovaas melatih kepatuhan anak untuk disiplin selama 2 jam belajar menerima berbagai instruksi seperti mengenal warna, huruf, dan angka. Dan ajaibnya, Rey yang berusia 3 tahun mampu membaca kata-kata sederhana.

Selain itu juga kami kembali memanggil terapis wicara ke rumah karena Rey, walaupun sudah pandai membaca, belum juga mampu bicara. Suaranya hanya keluar saat dia bicara. Terapi kami lakukan selama 8 tahun dengan luar biasa berpeluh kami mendampinginya dan dana yang tak bisa dihitung jumlahnya. Tapi Alhamdulillah, Allah memudahkan rezeki kami, MasyaAllah!

Tahun kedelapan akhirnya Rey kami pegang sendiri berbekal banyaknya ilmu yang telah kami serap dari para terapis. Kami memiliki keyakinan kuat bahwa terapis terbaik bukanlah orang lain, tetapi adalah kami keluarganya, terutama ibu.

Visits: 172

Yessy Mugi Utomo

1 thought on “Anak Istimewa Itu adalah Anugerah Besar Bagiku (Bagian 1)

  1. Ibu yg sangat luar biasa..
    Sesuatu yg diawali dg kesulitan & membutuhkan kekuatan, kesabaran & keimanan, Insya Allah pd akhirnya akan membuahkan hasil yg Indah pd waktunya.
    Tetap Semangaat.. demi anak kita tercinta. ❤

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *