Bertemu Sang Imam Zaman

Sungguh tak pernah hadir dalam bayanganku, bahwa di hari itu, aku tiba-tiba menjadi lumpuh, dari pinggang sampai kaki. Vonis secara medis itu datang, aku mengidap penyakit langka—tidak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia—Multiple Sclerosis. Penyakit ini menyerang batang tenggorokan dan batang otakku. Konon penyakit ini belum diketahui jelas penyebabnya dan belum ada obatnya.

Penyakit ini membuat memoriku terganggu. Ayat-ayat pendek yang biasa kuzikirkan menjadi hilang tak bersisa. Aku hanya mampu menyebut nama-Nya, “Allah, Allah, Allah.”

Setelah 2 minggu dirawat di rumah sakit dan dapat kembali berjalan, aku diizinkan pulang. Ini adalah rasa yang aneh, aku seperti ada di sini tapi tidak ada di sini. Ragaku hadir di sini tapi jiwaku entah pergi ke mana. Aku ingin sholat, tapi tidak ada satu pun bacaan yang aku ingat.

Kutanyakan pada suamiku surat Al-Fatihah. Setelah dituntunnya dan berhasil kuhafalkan, kuzikirkan terus surat ini. Sampai kemudian aku teringat di masa SMA dulu, salah satu sahabatku pernah menuliskan dalam selembar kertas cara shalat berikut bacaannya.

Kucoba untuk mencarinya dalam file yang kusimpan. Dan setelah berhasil menemukannya, kuletakkan kertas itu di sajadah di depanku. Dan mulailah aku shalat kembali dengan tuntunan kertas itu sampai aku hafal kembali semua bacaan shalat.

Satu waktu dalam sujud terakhirku, permohonan yang kuajukan adalah, “Ya Allah, bicaralah padaku sesuai dengan kebutuhan jiwaku. Beri aku petunjukmu.” Lalu setelah selesai shalat, kudekap Al-Qur’anku sambil berdoa. Sekali lagi dengan doa yang sama.

Setelah itu kubuka saja Al-Qur’anku sesuai dengan keinginan jari-jemariku. Kubaca tiap kata yang ada pada halaman yang terbuka. Subhanallah! Dia seperti ada di hadapanku dan berbicara kepadaku.

Setelah beberapa minggu, aku berkunjung ke rumah paman dan bibiku. Keduanya yang adalah sepasang Ahmadi. Entah mengapa aku ingin membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang aku dapat setelah shalat Subuh pagi itu di Al-Qur’an milik paman dan bibiku. Konon katanya, Al-Qur’an terbitan Ahmadiyah itu berbeda dengan Al-Qur’an umat Islam lainnya.

Aku tidak mudah percaya, harus kubuktikan sendiri. Setelah membaca halaman yang terbuka berikut arti, tafsir, dan semua ayat turunannya bersama, pamanku bertanya, “Dari mana kamu dapat ayat itu?” Lalu kujawab, “Dari Allah.”

Lalu pamanku berkata, “Jangan main-main kamu!” Sungguh aku hanya berdoa dan setelah itu membuka Al-Qur’an. Dan setelah itu, setiap minggu aku datang berkunjung untuk membaca Al-Qur’an Ahmadiyah bersama paman dan bibiku.

Sampai akhirnya di suatu saat, aku diajak paman dan bibiku untuk shalat Jum’at di masjid mereka. Lagi-lagi yang konon katanya syahadat dan shalat mereka berbeda, ternyata semuanya sama saja.

Di lain kesempatan aku diajak bersilaturahmi dengan mubaligh yang bertugas di masjid mereka. Aku datang bersama suami, anak, adik, dan keponakanku. Pembicaraan kami hanya seputar hal-hal umum tentang Islam. Suami, adik dan keponakanku mengajukan beberapa pertanyaan yang dijawab oleh Bapak Mubaligh juga dengan umum. Bapak Mubaligh pun sama sekali tidak berbicara tentang Ahmadiyah.

Suatu hari, aku menemukan diriku berdiri menginjak tanah pemakaman untuk berziarah ke makam almarhum Ayah. Seperti magnet yang menarik, pandanganku menyapu seluruh pemakaman. Sampai di satu titik aku melihat sosok seorang laki-laki yang penampilannya sudah tidak muda lagi, menggunakan sorban, blazer dan sarung, sedang duduk di pinggir salah satu makam sambil menatapku dengan senyuman yang sangat menyejukkan.

Sambil berjalan menuju makam almarhum Ayah, sesekali aku melihat lelaki itu. Lelaki itu terus menatapku sambil tersenyum. Siapa dia? Rasanya, kok, seperti kenal. Tapi siapa dia? Untuk sampai di makam almarhum Ayah, aku harus melewatinya. Dan sesampainya aku di hadapan lelaki itu, beliau tersenyum sambil membungkukkan badannya. Akupun membungkukkan badanku mengikutinya.

Dan ketika mata kami bertemu, tak terasa kupejamkan mata sambil menikmati sensasi angin sejuk yang menerpa wajahku. Sekujur tubuhku tiba-tiba terasa sangat ringan. Seolah tatapannya mengangkat semua beban berat yang sebelumnya kurasakan.

Ketika berjalan pulang pun, sampai masuk ke dalam mobil, lelaki itu masih tetap tersenyum sambil menatapku. Kemudian bunyi klakson mobil antrian menjemput di sekolah anakku menyadarkanku. Aku seperti bermimpi, tapi aku sadar, tapi mengapa semua terasa begitu nyata?

Di minggu berikutnya aku mendapatkan pesan yang berbunyi, “Kamu ingin tahu dan sekarang kamu sudah tahu. Lalu apa?” Setelah merenung beberapa saat mencoba mencerna pesan itu, aku menelpon bibiku. Kukatakan pada bibiku, aku mau baiat. Dua jam kemudian berbaiatlah aku ke dalam Jemaat Muslim Ahmadiyah di masjid mereka.

Dan setelah itu, ketika aku melihat buku-buku karya pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah, Hadhrat Masih Mau’ud Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., aku sadar bahwa lelaki yang kulihat di makam almarhum ayahku saat itu adalah sang Imam Zaman. Isa yang kedatangannya telah ditunggu-tunggu oleh semua jiwa.

Masya Allah! Begitu jelas petunjuk yang diberikan-Nya kepadaku. Aku mau mati dalam keadaan Islam yang murni, dan Allah Ta’ala mempertemukanku dengan Imam akhir zaman di pemakaman almarhum ayahku. Maha Besar Engkau ya, Allah!

Visits: 59

Karina

1 thought on “Bertemu Sang Imam Zaman

  1. Beautiful story of faith and very well written ❤️ amen amen amen 🙏🏻😊

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *