
Belajar Bersyukur dari Bahu Bungkuk Kakek Penjual Lemari Kayu
Siang yang cukup terik. Terlihat seorang Ibu muda tergesa-gesa keluar dari rumah. Pakaiannya rapi, bersepatu dan menjinjing tas. Jelas sekali, dia hendak bepergian. Namun, wajahnya terlihat masygul. Cepat dia berjalan menuju ke jalan raya.
Di ujung jalan, tiba-tiba melintas seorang kakek. Berperawakan kurus, kulit legam, rambut tipis hampir seluruhnya memutih, tulang pipi nampak jelas terlihat. Sang Kakek, berhenti persis di samping Ibu muda tadi. Nafasnya tersengal. Keringat bercucuran. Tangannya melepaskan kayu panggulan yang sedari tadi bertengger di bahunya, kemudian bersimpuh di trotoar jalan. Tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata, bagaimana rasa lelah yang mendera. Sejenak mengatur irama napasnya, dan membiarkan keringat meliuk-meliuk menyusuri lengkung tulang pipinya. Ya, dialah kakek tua penjaja lemari kayu. Entah siapa namanya.
Demi melihat pemandangan di hadapannya. Tiba-tiba air mata Ibu muda tadi mengalir deras. Sejurus kemudian terlihat dia mengeluarkan tissu dari tas dan menyeka air matanya. Setengah ragu, dipandanginya kakek yang tengah duduk itu. Makin trenyuh hatinya melihat tubuh ringkih duduk tertunduk dalam letih yang teramat sangat. Dan sang Kakek, seperti sadar sedang diperhatikan, lantas berdiri dan sedikit bergerak mendekat.
Ramah sekali Kakek itu bicara. “Neng, barangkali memerlukan lemari kayu ini. Untuk simpan buku atau makanan juga bisa, bahannya bagus,” ucapnya penuh harap. Si Ibu muda tak lantas menjawab. Dia malah menarik napas dalam, agar air matanya tak lagi tumpah. Kemudian menjawab, “Pak, maaf ya. Saat ini saya tidak memerlukan lemari yang Bapak jual,” ucapnya dengan sangat hati-hati. Sungguh tak ingin mengecewakan Kakek tadi. Jika bisa lemari kayu itu akan dibelinya. Tapi untuk apa? Dia benar-benar tidak memerlukannya.
Tak ada raut kesedihan, tak ada raut kecewa di wajah Kakek penjual lemari kayu. Bibirnya mengulum senyum. “Ya nggak apa-apa Neng. Belum rezekinya Abah, belum berjodoh dengan pembeli. Anak-anak kobong belum semuanya datang ke Pesantren. Santri yang ada rata-rata santri lama yang sudah pada punya lemari,” ucapnya lagi. Rupanya Kakek ini baru mendatangi sebuah pesantren yang bangunannya bisa terlihat dari tempat ini untuk menawarkan lemari kayunya.
Jawaban Kakek ini seperti buliran peluru menghunjam batinnya. Sejenak dia memalingkan wajah dan lagi-lagi menyeka air mata. Dia memaki dirinya sendiri. Bagaimana tidak? Kehidupannya yang baik-baik saja, hanya sekali-kali ditimpa masalah, namun rutukannya sudah sangat panjang. Marah pada keadaan, tak terima kenyataan. Sementara Kakek tua ini, begitu sabar dan ikhlas dengan kehidupannya.
Selesai menenangkan gejolak batinnya, dia bertanya, “Bapak di mana rumahnya?” Kakek menjawab dengan menyebut nama satu tempat yang jaraknya sangat jauh dari tempat kami berbincang. Untuk sampai ke tempat itu, harus menempuh jalan yang sangat menanjak. Tidak terbayangkan betapa lelahnya. Apalagi dengan memikul 2 lemari kayu. Lemarinya memang kecil, biasa dipakai anak-anak kost atau para santri di kobong. Namun, jelas bukan beban ringan untuk dipanggul oleh seorang Kakek dengan jarak tempuh begitu jauh.
“Abah berjualan lemari kayu ini sampai mana?” tanya Ibu muda tadi. Kini dia tidak segan memanggil Abah karena Kakek penjual lemari kayu pun senang dipanggil Abah ketimbang sebutan Bapak seperti awal perbincangan tadi. Lagi-lagi, sang Kakek memberikan jawaban yang menohok. Di umurnya yang begitu senja, dimana seharusnya sedang duduk di rumah dan bercengkrama dengan cucu, tapi malah masih harus dijalani dengan perjuangan berat demi sebuah nafkah. Berjalan dengan jarak puluhan kilometer sambil memikul lemari kayu yang cukup berat. Getir terasa. Perjuangan hidup begitu keras dilalui sang Kakek.
“Abah kenapa tidak numpang mobil bak terbuka? Biar nggak terlalu capek,” Ibu muda tadi nampak begitu bersimpati. “Ah Neng, Abah sudah biasa jalan kaki. Lagipula tidak ada yang mau membawa Abah. Abah juga tidak punya ongkos. Belum ada lemari yang terjual. Abah pergi tadi jam 7 pagi dari rumah, sampai sekarang belum ada yang beli lemari ini. Tapi Abah nggak apa-apa, sudah biasa,” ucap Kakek.
Lagi-lagi, Kakek penjual lemari dapat seikhlas itu. Menerima kenyataan hidup yang mungkin bagi kebanyakan orang akan dianggap tidak adil, tidak berpihak pada Kakek tua yang bahu sebelah kanannya terlihat lebih bungkuk. Bahu bungkuk inilah saksi perjuangan hidupnya dari tahun 1972 hingga saat ini terus-menerus memikul lemari kayu.
Tiba-tiba sebuah ojek online datang. Rupanya Ibu muda tadi sudah memesannya sejak dari rumah. Namun, kemacetan menghalangi ojek online ini sehingga sampai dengan begitu lama. Sambil mengucap pamit disisipkan beberapa lembar uang puluhan ribu ke tangan Kakek penjual lemari kayu itu. Sang Kakek menerimanya dengan terkaget-kaget. Bibirnya lirih mengucap Alhamdulillah, air mata menggenang di pelupuk matanya, berkali-kali mengucap terimakasih dan nampak berkomat-kamit entah melafalkan doa apa.
Sepanjang perjalanan hingga sampai di sebuah Anjungan Tunai Mandiri, menarik dana tunai dan menghitung jumlah uang yang begitu mudah dia dapatkan, dia tak henti menyeka air mata. Dirinya dipenuhi penyesalan dan rasa bersalah atas rapuhnya rasa syukur, atas tipisnya kesabaran yang dimilikinya, atas dangkalnya kata ikhlas menjalani hidupnya. Sedari pagi, waktunya sudah dihabiskan dengan kekecewaan atas satu hal, yang sesungguhnya tidak ada artinya jika dibandingkan dengan peliknya hidup Kakek penjual lemari kayu tadi.
Inilah cara Tuhan memberi pelajaran. Datangnya Kakek penjual lemari kayu dan ojek online yang terlambat adalah cara indah-Nya dalam memberi ingat. Mengembalikan lagi kewarasan dalam cara pikir dan tindak Ibu muda tadi. Jika kemurahan-Nya tidak hadir, belum tentu dia menyadari semua ini. Mungkin hari-harinya akan terus dinaungi awan kekecewaan dan terus meradang atas keadaan.
Maka sungguh benar sabda Rasulullah SAW, ” Barangsiapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad)
Sudahkah kita bersyukur hari ini?
Visits: 365