Doa Abah yang Terkabulkan

Masih tersimpan dalam ingatan saya akan ucapan Abah tiga puluh empat tahun yang silam. Dan Subhanallah ucapan Abah yang mungkin sebuah doa terkabulkan saat ini.

Ayah saya, biasa dipanggil Abah Suparman, adalah termasuk salah seorang awwalin di Jemaat Sukasari. Sehingga rumah Abah menjadi tempat shalat berjamaah para anggota. Anak-anak belajar mengaji Al-Qur’an hingga tidur ngampar berjamaah di tengah rumah.

Saat itu, tiap malam emak saya ngukus ubi singkong untuk cemilan anak-anak yang belajar mengaji di rumah. Bahkan sering saya melihat Emak mencuci tikar di pagi harinya karena ada anak yang mengompol. Betapa sabarnya Emak, sampai tak terasa air mata menetes mengingat kebaikan dan kesabaran Emak saat itu.

Mubaligh yang sering berkunjung dan menginap di rumah Abah saat itu adalah Bapak Asep Jamaludin. Rupanya beliau berasal dari kampung yang sama dengan suami saya di Parakansalak, Sukabumi.

Abah terlihat begitu senang dan bahagia, terlihat dari pancaran raut wajah Abah yang ceria setiap kedatangan Mubaligh ke rumah. Bagi beliau, kedatangan Mubaligh adalah rezeki rohani dari langit yang penuh berkat.

Di suatu hari, saat Abah sedang berdiri di pintu, dengan saya beserta Emak ada di dalam, tiba-tiba Abah bergumam, “Cik, atuh, boga anak awewe teh hiji mah aya nu nikah ka Mubaligh (Coba, punya anak perempuan, satu ada yang menikah dengan Mubaligh).” Terdengar dengan jelas ucapan Abah yang begitu lirih penuh harapan.

Rupanya itu adalah ungkapan doa yang keluar dari lisan Abah. Saat itu saya mempunyai dua kakak perempuan yang sudah berumah tangga, sementara saya masih berusia 14 tahun dan baru masuk sekolah SMP. Apakah doa itu ditujukan untuk saya?

Setelah 34 tahun berlalu, rupanya doa Abah tersebut dikabulkan Allah Ta’ala. Walaupun pengabulannya membutuhkan waktu yang begitu lama dan saya menjalani lika-liku kehidupan yang rasa-rasanya tidak mungkin doa tersebut terkabulkan.

Setahun yang lalu, di saat saya dalam status single parent, tiba-tiba datang ke rumah seorang Lajnah yang saya kenal dekat. Rupanya beliau membawa amanat dari seorang duda Anshar yang sedang mencari Lajnah yang siap menikah. Ternyata Anshar tersebut seorang Mubaligh yang masih bertugas dan telah ditinggal wafat isterinya.

Betapa kagetnya saya, setengah tidak percaya saya teringat akan ucapan Abah 34 tahun yang lampau. Apakah ini pengabulan dari doa dan harapan Abah? Yang jelas, alhamdulillah saya bersyukur karena bisa menyaksikan dan merasakan ketulusan doa dari seorang ayah.

Alhamdulillah tsumma alhamdulillah sudah 13 bulan saya mendampingi seorang Mubaligh sebagai pendamping hidupnya. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada hamba yang lemah ini untuk tetap bisa berkhidmat kepada Jemaat Ilahi ini. Aamiin.

Visits: 42

Euis Hermawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *