HATI YANG TERSENTUH UNTUK BERKORBAN

Di hari kelahiran buah hatiku yang kedua, aku putuskan untuk membeli beberapa nasi box lengkap. Dengan amplop berisikan uang yang dimasukkan ke dalam kantong, aku mengajak suami dan buah hatiku untuk berkeliling seputar Jakarta untuk membagikan kantong-kantong itu.

“Ya Allah, kami berniat untuk membagikan nasi box dan uang sekedarnya. Pertemukan kami dengan orang-orang yang benar-benar membutuhkan ini,” pintaku dalam doa. “Aamiin!” teriak buah hatiku menutup doaku.

Pukul 8 pagi setelah berdoa, mereka berangkat menyusuri jalan-jalan kota Jakarta. “Itu ada tukang sapu jalanan di depan!” ujar suamiku. “Ituu!” teriak buah hatiku mengikuti ayahnya sambil menunjuk tukang sapu jalanan yang terlihat di depan.

“Tukang sapu jalanan masih mendapatkan upah. Yang harus kita cari orang yang tinggal di jalanan, yang tidak punya apa-apa. Nanti kalau masih ada sisa, baru kita bagikan ke tukang sapu jalanan, ya.” Begitu penjelasanku.

Lima belas menit berlalu, 30 menit berlalu. Setelah hampir 1 jam, dari kejauhan aku melihat seorang bapak yang sedang duduk termenung di salah satu pojokan di dekat stasiun Gambir. “Itu! Di situ ada bapak yang sedang termenung sendiri. Ayo coba kita ke situ!” ujarku.

“Ayo, ikut Mama kasih ini untuk bapaknya,” ajakku pada buah hatiku. Buah hatiku langsung mengulurkan tangannya untuk minta digendong. Sambil berjalan menghampiri bapak itu, aku berujar pada anakku, “Kasihan, ya, bapaknya. Bapaknya tidur di lantai, nggak pake baju, sendirian. Bapaknya sudah makan atau belum, ya?” Buah hatiku menimpali, “Kasihan, Ma.”

“Assalamualaikum, Bapak. Bapak, ini kami bawakan makanan, minum, dan ada sedikit uang untuk Bapak. Diterima ya, Bapak,” ujarku sambil memberikan kantong yang kubawa.

Bapak itu menatap kami dengan mata berkaca-kaca, menerima kantong yang diberikan, mendekapnya lalu mulai menangis sambil menengadahkan tangannya ke langit. Ia lalu mulai berdoa mengucap syukur pada Allah SWT.

Setelah itu bapak itu kembali memandangi aku dan anakku sambil berucap, “Terima kasih banyak, Dik. Biar Allah SWT yang akan membalas kebaikan kalian. Semoga kalian selalu sehat dan diberikan rizki yang banyak.”

Sambil berjalan kembali ke mobil, buah hatiku masih terus memandangi bapak itu. “Ma, nanti malam bapaknya makan apa ya, Ma? Nanti malam kita kesini lagi ya, Ma. Kasih bapaknya makan lagi,” ujarnya.

“Nanti malam bapaknya kan bisa beli makan pakai uang yang ada di amplop yang kita kasih juga tadi.” Begitu penjelasanku untuk menenangkan buah hatiku.

Lalu kami kembali menyusuri jalanan ibu kota mencari orang-orang yang betul-betul membutuhkan kantong yang telah kami persiapkan. Alhamdulillaah, pada pukul 4 sore semua kantong telah terbagikan pada orang-orang yang membutuhkannya.

Untuk hari kelahiran buah hatiku yang ketiga, aku menyiapkan kantong-kantong yang berisikan tas sekolah, dan alat tulis juga buku cerita anak. Aku juga memesan nasi tumpeng dan kue ulang tahun, membeli beras, susu dan beberapa makanan ringan untuk kami bawa ke panti asuhan.

“Selamat pagi! Kita doa dulu, yuk! Setelah itu kita mandi dan sarapan. Hari ini kita akan ke panti asuhan, ya! Di sana nanti banyak anak-anak yang tidak seberuntung kamu. Kamu punya Papa, Mama, rumah beserta isinya. Mereka tidak punya itu semua, makanya mereka tinggal di panti asuhan. Jadi jangan lupa mengucap syukur dalam doanya, ya!” Begitu aku mengawali hari bersama buah hatiku.

Sesampainya kami di sana, anak-anak di panti terlihat begitu senang dan tidak sabar untuk mendapatkan kantong-kantong yang kami bawa. Setelah beramah tamah, bermain bersama, doa bersama, kami makan bersama dan dilanjutkan dengan potong kue dan pembagian kantong yang kami bawa.

Pukul 4 sore ketika kami berpamitan pulang, anak-anak panti berebut mengucapkan terima kasih sambil berpesan agar kami datang lagi.

Di usia keempat tahun buah hatiku, kembali kami merayakannya di panti asuhan. Namun kali ini kami ajak teman-teman sekelas buah hatiku yang ada di sekolahnya. Di panti asuhan ini hanya ada beberapa anak yang berusia di atas 2 tahun. Dan sebagian besar mereka masih bayi di bawah 1 tahun.

Kedatangan kami disambut dengan hangat oleh ibu-ibu pengurus dan para perawat. Ketika bingkisan berisikan mainan, buku cerita anak, susu, dan makanan ringan lain yang kami bawa untuk anak-anak diletakkan, anak-anak serentak mendekati bingkisan-bingkisan itu.

Ibu kepala pengurus memberikan sambutan dan memimpin doa dan setelah itu kami membagikan bingkisan yang berisikan mainan dan buku cerita anak. Dengan ceria, buah hatiku bersama teman-temannya membagikan bingkisan dan membantu anak-anak membuka bingkisan yang kami bawa. Mereka bermain dan membacakan buku untuk anak-anak panti.

Tangisan bayi-bayi di ruangan lain seolah menyadarkanku akan keberadaan mereka. Aku berjalan mengikuti suara tangisan mereka. Masya Allah! Ada 9 bayi yang terbaring di dalam box-box, menangis serentak seolah ingin bermain bersama anak-anak di luar yang tertawa karena candaan buah hatiku.

Ketika aku mendekat, beberapa dari mereka yang yang sudah dapat berdiri, berdiri sambil mengulurkan tangan minta untuk digendong. Kudekati salah satu anak dan kugendong, anak itu berhenti menangis seraya memelukku erat. Kudekap erat anak itu sambil membelainya.

Tak kuasa aku membendung air mataku, tangisku pecah seketika. Ya Allah, di mana ibu mereka? Bagaimana mungkin mahluk kecil suci tidak berdosa ini ditinggalkan oleh ibu mereka?

Dalam keadaan berurai air mata, ternyata buah hatiku dan teman-temannya telah berada di belakangku. “Ma, Mama kenapa? Kenapa ikut nangis, sih, ma?” tanya buah hatiku. Pertanyaannya membuat aku tersenyum. “Tante kenapa? Kok, nangis?” tanya salah satu teman buah hatiku.

“Kalian sangat beruntung. Kalian punya ibu dan bapak. Coba lihat mereka! Mereka tidak punya ibu dan bapak, mereka butuh kasih sayang. Masih ada 8 anak yang ada di dalam box lain. Bagikan kasih kalian pada mereka juga, ya. Dekati mereka, ajak mereka main juga, ya.”

Satu persatu dari mereka mendekati box bayi-bayi panti dan mulai berbicara dengan celotehan-celotehan mereka. Bayi-bayi itu berhenti menangis, seperti menikmati keberadaan buah hatiku bersama teman-temannya.

Tak terasa waktu menjelang sore, kami pun berpamitan. Ketika kami meninggalkan ruangan, bayi-bayi itu serentak menangis. Tak terasa kami pun semua ikut menitikkan air mata meninggalkan mereka.

Ternyata, momen-momen berbagi ini, yang kuajarkan kepadanya sejak kecil, begitu berkesan bagi buah hatiku. Saat lawatan sambil belajar yang diadakan di Jogja, buah hatiku sudah menginjak kelas 4 SD. Tiap anak diijinkan membawa bekal uang maksimal 200 ribu.

Ketika aku menjemputnya sepulang ia dari Jogja, wajahnya tampak sedih. Sepanjang perjalanan pulang ia membisu. Setelah tiba di rumah ia memperlihatkan sebuah mobil-mobilan sederhana yang terbuat dari potongan kayu seadanya.

Sambil memelukku dia berkata, “Ma, maaf ya, Ma, aku gak beliin Mama oleh-oleh. Aku cuma beli mobil ini, harganya 15 ribu. Yang jual anaknya lebih kecil dari aku, jadi aku kasih dia 50 ribu. Tadi waktu mampir ke tempat beli oleh-oleh, pas turun dari bis, aku lihat ada bapak yang lagi tidur di pinggir jalan. Bapaknya tiduran sambil meringkuk memegangi perutnya. Jadi roti sarapan, minum, sama semua uang yang ada di kantong aku kasih sama bapaknya. Maaf ya, Ma!”

Alhamdulillaah! Terima kasih, ya, Allah atas karunia hati yang baik yang mudah tersentuh dan jiwa yang mau berkorban yang telah Kau semai pada buah hatiku.

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma (r.a), Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Saw) bersabda: “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599)

Visits: 66

Karina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *