
Memilih untuk Bersyukur
Ketika Allah Ta’ala mengutus Nabi Adam a.s., seorang manusia biasa, untuk menjadi khalifah di bumi, para malaikat bertanya. Mengapa harus manusia? Bukankah manusia justru mampu menghadirkan kekacauan dan kerusakan di muka bumi? Allah pun menjawab pertanyaan itu dengan kalimat jitu, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”[1]
Berbeda halnya dengan malaikat yang memang diciptakan untuk mematuhi dan menjalankan segala perintah Allah Ta’ala, manusia dikaruniai kebebasan untuk memilih dan memiliki keputusannya sendiri, apakah dia mau meyakini dan taat kepada Allah Ta’ala atau tidak. Bila potensi ini digunakan dengan sebaik-baiknya, manusia mampu mencapai derajat kemuliaan yang melebihi semua ciptaan Allah Ta’ala. Tetapi, bila digunakan untuk keburukan, memang manusia bisa menghadirkan kekacauan dan kerusakan yang juga sangat menghancurkan.
Kebebasan untuk memilih dan memutuskan inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling istimewa. Kebebasan ini mendapat dukungan Allah Ta’ala dengan menyatakan bahwa Dia tidak akan mengubah keadaan suatu kaum selama mereka tidak mengubah keadaannya sendiri[2].
Kekacauan dan kerusakan yang dihadirkan manusia seringkali berdasar pada sikap egois dan tamak yang menguasai diri. Padahal, Allah Ta’ala mengingatkan berkali-kali bahwa keinginan untuk memiliki harta sebanyak-banyaknya dan kekuasaan sebesar-besarnya tidak akan membawa kebahagiaan sejati. Meskipun fitrah itu ada pada diri manusia, sesungguhnya kita tetap diberikan kuasa dan kebebasan untuk bisa mengendalikan diri sendiri.
Lucius Annaeus Seneca, salah seorang filsuf Romawi yang hidup pada tahun 4-65 Masehi, pernah mengatakan, “Manusia tidak punya kuasa untuk memiliki apapun yang dia mau, tetapi dia memiliki kuasa untuk tidak mengingini apa yang dia belum miliki, dan dengan gembira memaksimalkan apa yang dia terima.”
Seneca mengajarkan bahwa manusia sesungguhnya tidak punya kekuasaan tak terbatas dalam genggamannya. Sekadar memiliki semua yang diinginkannya, manusia tak punya kuasa untuk itu. Tapi manusia punya kekuasaan untuk merasa cukup dengan tidak menginginkan apa yang belum atau tidak dia miliki. Dan, mensyukuri apa yang dia miliki dengan memaksimalkannya dengan perasaan gembira.
Salah satu kunci kebahagiaan sejati adalah merasa cukup dan selalu bersyukur. Tidak saja mensyukuri apa yang dimiliki, tetapi juga mensyukuri apa yang belum dan tidak dimiliki. Karena sesungguhnya, bila manusia mau merenung, apa yang dia inginkan tidak semuanya baik untuknya. Bahkan bisa jadi, apa yang diinginkannya akan membahayakan dirinya.
Bila manusia mau menyadari dan mensyukuri apapun dalam hidupnya, selain ia akan merasakan kebahagiaan sejati, ia pun akan mampu memaksimalkan potensi diri untuk melakukan segala kebaikan. Yang tentu saja manfaatnya tidak hanya dirasakan orang lain, lebih besar lagi, kebaikan-kebaikan ini bisa membantu terciptanya kehidupan bersama yang lebih baik.
Harus kita sadari bahwa dampak kebaikan sebesar itu berawal dari sesederhana memilih dan memutuskan untuk mengelola keinginan dalam diri sendiri. Sesederhana memilih dan memutuskan: mau bersyukur? Atau tenggelam dalam ketamakan yang pada akhirnya hanya menghasilkan kesia-siaan dan kehancuran?
Referensi:
[1] QS. Al-Baqarah: 31
[2] QS. Ar-Ra’d:12
Visits: 208
Masya Allah, jazakillah artikelnya. Bahasanya sangat gamblang dan mudah dimengerti. semoga lebih banyak lagi yang membaca artikel ini agar selalu berhati-hati dalam memilih keputusan.