Jejak Langkah Sang Murabbi Menghadapi Para Penentang Kebenaran (Bagian 2)

Pada masa permulaan Ayah, alm. Mualim Abidin bin Ma’sum, masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah, para tetangga di sekitar tempat tinggal begitu ramai membicarakan Ayah dan keluarga saya. Bahkan kebencian begitu terlihat dari sikap para tetangga yang mencibir dan tidak suka kepada keluarga kami karena mereka menganggap Ayah telah masuk ke dalam ajaran sesat karena telah mengimani Hadhrat Imam Mahdi a.s.

Setelah Ayah keluar dari tempat kerja di pabrik karet yang sudah hangus terbakar tersebut, beliau pun beralih profesi menjadi seorang pedagang keliling. Pada saat itu, Ayah mempunyai seorang teman yang mempunyai usaha di bidang penjualan minyak goreng dan tikar anyaman. Mereka sudah merasa menjadi sahabat karib.

Pada suatu hari, teman Ayah tersebut—didorong rasa was-was dan khawatir ketahuan para tetangga di sekitar rumah kami—dengan cara sembunyi-sembunyi main ke rumah tujuannya untuk silaturahmi dan membicarakan soal bisnis mereka. Pada saat mereka sedang asyik mengobrol di teras rumah, ternyata ada satu orang tetangga Ayah, seorang tukang delman yang memang benci dan fanatik terhadap Ahmadiyah, mengawasi ke dalam rumah kami. Dia mungkin curiga bahwa Ayah saya sedang bertabligh menyampaikan ajaran Islam Ahmadiyah kepada temannya tersebut.

Dengan sikap kebencian yang terpancar di wajahnya, dia melihat dan mondar mandir memperhatikan Ayah dan temannya tersebut yang sedang asyik mengobrol. Dia bolak-balik ke musola hendak shalat Zuhur. Setelah dia kembali dari musola setelah shalat Ashar, dilihatnya Ayah dan temannya tersebut sampai sore masih ada dan asyik mengobrol, sehingga meluaplah rasa kebencian dia. Dia masuk ke dalam rumahnya dan keluar lagi dengan memegang satu buah golok untuk diasah di depan rumahnya.

Karena rasa curiga yang begitu besar terhadap Ayah yang sedang mengobrol sama temannya tersebut, karena dia menganggap Ayah sedang mempengaruhi temannya agar masuk ke dalam Jemaah Ahmadiyah, dengan penuh kebencian dia berteriak dengan suara yang sangat tinggi lalu mengacungkan goloknya. Semua tetangga di sekitar rumah terkejut dibuatnya.

Dengan suara keras dia berkata, “Hey, kamu! Ngapain ngobrol sama Abidin dari pagi sampai sore? Awas! Nanti kamu terpengaruh dengan ajaran Ahmadiyah yang gurunya pincang! Nanti kamu ketularan! Abidin juga akan aku buat pincang kakinya dengan golok ini agar semua kakinya pada pincang sama dengan gurunya!” Begitulah ancaman yang disampaikan oleh tukang delman tersebut.

Mendengar teriakan tersebut, teman Ayah merasa kaget dan ketakutan, khawatir terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Kemudian dia pamit dan cepat-cepat pulang. Namun ayah saya tetap bersikap tenang dan tidak melawan terhadap ucapan tetangga tersebut. Ayah masuk ke dalam rumah begitu saja.

Seminggu kemudian setelah kejadian tersebut, ramailah terdengar kabar bahwa tetangga Ayah, tukang delman yang mau membuntungi kaki Ayah tersebut, ditendang oleh kuda peliharaannya sehingga berdarah dan kakinya mengalami infeksi, membusuk dan tidak sembuh-sembuh. Akhirnya keluarganya membawa dia ke Rumah Sakit Bunut di Sukabumi.

Setelah dirawat di rumah sakit, dokter memutuskan bahwa kakinya terkena infeksi dan harus diamputasi, sehingga kakinya menjadi buntung. Selama dia dirawat di rumah sakit, tidak ada seorang pun yang menengoknya. Kebetulan ayah saya mengikuti acara majelis syuro di Sukabumi. Karena Ayah mendengar tetangganya tersebut dirawat di rumah sakit, Ayah memutuskan pulang dari acara majelis syuro, beliau mampir ke rumah sakit untuk menengok tetangga tersebut.

Setelah dia sadar bahwa ayah sayalah satu-satunya yang menengok dia, akhirnya dia pun memeluk Ayah dengan erat dan menangis tersedu-tersedu memohon maaf kepada Ayah atas sikap dan kebencian dia selama ini. “Abidin, tolong maafkan saya atas segala kesalahan saya sama kamu selama ini. Saya sudah banyak dosa kepada kamu,” ucapnya sambil menangis dan memeluk Ayah.

Lalu Ayah menjawab, “Tidak apa-apa, saya maafkan. Karena memang kita manusia tidak luput dari salah dan dosa. Yang penting sekarang kita saling memaafkan dan semoga cepat sembuh.” Tidak sedikitpun ada rasa benci dalam hati Ayah walaupun hinaan dan ancaman selalu ditunjukan oleh tukang delman itu kepadanya. Setelah sembuh, alhamdulillah dia dan keluarganya menjadi baik dan sangat perhatian kepada keluarga kami.

Tapi ternyata hinaan, cacian, dan ancaman kepada Ayah tidak berakhir sampai di situ. Pada suatu hari Ayah berjualan tikar anyaman kepunyaan sahabatnya di sebuah kampung. Kebetulan di kampung tersebut banyak saudara dari ayah saya. Hampir setiap Minggu Ayah berjualan keliling ke kampung tersebut, namun sambil berjualan Ayah selalu semangat bertabligh kepada saudaranya menyampaikan bahwa Imam Mahdi sudah datang. Dan berterus terang bahwa Ayah sudah masuk ke dalam golongan Jemaat Ahmadiyah.

Tentu saja saudara-saudara yang berada di kampung tersebut menjadi heboh membicarakan Ayah dan melaporkannya kepada seorang tokoh sesepuh di kampung tersebut, yang secara kebetulan tokoh tersebut adalah paman Ayah sendiri. Karena banyak menerima laporan dari masyarakat tentang Ayah yang berdagang sambil menyebarkan ajaran Ahmadiyah, maka pamannya tersebut besoknya memanggil Ayah untuk disidang.

Setelah Ayah sampai ke rumah pamannya, betul saja sikap yang diperlihatkan oleh pamannya kepada Ayah seolah penuh dengan kebencian. Lalu dia berkata, “Abidin, Paman sudah banyak menerima laporan dari masyarakat sampai panas kuping Paman mendengarnya! Sekarang begini, kalau kamu masih mau tetap berjualan di kampung ini, kamu tidak boleh menyebarkan ajaran Ahmadiyah. Tapi kalau kamu masih tetap menyampaikan ajaranmu yang bertolak-belakang dengan ajaran Islam, maka terpaksa Paman akan mengusir kamu agar tidak berjualan lagi di kampung ini!”

Tapi kejadian tersebut tidak menyurutkan semangat Ayah untuk terus bertabligh. Hingga pada suatu hari, ketika Ayah berjualan terdengarlah kabar bahwa pamannya yang mengancam tersebut sakit parah dan tidak bisa diobati. Akhirnya anak dari pamannya memanggil Ayah untuk menengok ke rumahnya, karena ada pesan bahwa pamannya ingin bertemu dengan Ayah.

Pada saat Ayah menengok pamannya, terlihat beliau sedang terbaring sangat lemah karena penyakitnya. Ketika tahu Ayah datang, beliau menangis dan memeluk Ayah. Lalu, pamannya itu berkata, “Abidin, Paman sekarang sadar dan yakin apa yang telah disampaikan oleh kamu mengenai ajaran Ahmadiyah. Oleh karena itu, Paman minta maaf sama kamu atas segala kesalahan selama ini. Paman titip istri dan anak-anak untuk diajak masuk ke dalam Ahmadiyah!”

Itulah amanah yang disampaikan oleh paman Ayah kepadanya. Keesokan harinya, tibalah maut menjemput paman Ayah tersebut.

Dengan berbagai halangan dan rintangan yang selalu menghadang, Ayah selalu yakin dan tetap tegar dalam keimanannya kepada Hadhrat Imam Mahdi a.s. Ayah tak gentar menyebarkan ajaran Islam sejati ini, karena Allah Swt telah menjanjikan keteguhan dan keselamatan bagi orang-orang yang menolong agama Allah.

Seperti firman-Nya dalam QS. Muhammad, ayat 8: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, Dia pun akan menolong kamu dan akan meneguhkan langkah-langkahmu.”

Semoga kisah ini menjadi inspirasi. Walaupun halangan dan rintangan akan menghadang, namun yakinlah Allah SWT akan selalu menolong hamba-Nya yang berusaha menolong agama-Nya.

Visits: 152

Dede Nurhasanah

2 thoughts on “Jejak Langkah Sang Murabbi Menghadapi Para Penentang Kebenaran (Bagian 2)

  1. Sungguh kisah yang teramat inspiratif, tak terasa air mata mengalir membaca rangkaian peristiwa yang terjadi, semoga Allah Ta’ala memberikan tempat terbaik di surga keridoanNya krn Beliau telah menunjukkan keteguhan iman sekaligus penggenapan Firman Allah Ta’ala ,janji pertolongan-Nya bagi hamba yang beriman.Jazakumullah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories