
Menelusuri Jalan Sunyi antara Langit dan Bumi
Judul: Haqiqatul Wahy
Penulis: Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad
Tebal: xxiv + 750 halaman
Penerbit Edisi Indonesia: Jemaat Ahmadiyah Indonesia (2018)
Pertama Terbit: 1907 (dalam bahasa Urdu)
Masih mungkinkah manusia berbicara dengan Tuhan di zaman modern ini? Atau wahyu hanyalah cerita usang dari kitab-kitab kuno?
Dua pertanyaan di atas bisa mewakili poin penting yang dibahas dalam buku Haqiqatul Wahy. Pertama tentang perjumpaan dengan Tuhan. Kedua, tentang wahyu itu sendiri sebagai “kalimat” dalam percakapan Tuhan dengan hamba-Nya.
Tentang Perjumpaan dengan Tuhan
Ini adalah buku yang membuat seseorang bergerak untuk sampai kepada Tuhan. Lebih dari hanya menemukan keberadaan-Nya, tapi ia juga melangkah mencari, bertemu dan berbicara dengan Tuhan. Sebuah perumpamaan yang dipakai adalah seseorang yang berada dalam kondisi kedinginan dan berusaha mencari api (kehangatan).
Seseorang yang sangat kedinginan – dan bisa saja mati karena membeku – akan selamat jika ia mencari kehangatan (api) dan menuju ke arahnya. Sayangnya, tidak semua manusia melakukan hal tersebut.
Pada kondisi pertama, manusia berada dalam kedinginan yang sangat, ia membutuhkan api tetapi ia tidak melihatnya. Jangankan cahayanya, bahkan asapnya pun tidak terlihat oleh kelompok manusia ini. Maka tentu mustahil ia tahu asal api itu di mana, sehingga kebingungan juga untuk melangkah ke arah mana.
Kondisi kedua adalah ketika manusia tahu bahwa ia membutuhkan api untuk menghangatkan tubuhnya. Tetapi ia hanya mengamatinya saja dari jauh, berharap (atau berpikir) nyala api dan kehangatannya bisa sampai dengan sendirinya ke tubuhnya yang membeku. Ia hanya memanfaatkan cahayanya sebagai penunjuk jalan dan menghalau serangan binatang buas yang mungkin muncul. Artinya, hanya sesekali saja ia memanfaatkan keberadaan cahaya dan kehangatan api tersebut.
Sementara kondisi ketiga adalah ketika manusia benar-benar ingin menghindari kematian karena kedinginan. Sehingga kebutuhan untuk mencari, mendekat dan melebur dalam kehangatan api tersebut menjadi sebuah keharusan. Bersama kehangatan ini ia merasa tidak akan lagi mati membeku, tidak juga ia akan terlalu diganggu binatang buas karena ia berada di tempat yang terang.
Tentang Wahyu
Sebagaimana kita tahu bahwa ma’rifatullah tidak akan tercapai jika masih ada penghalang berupa kekotoran hati, maka kesempatan untuk berjumpa dan berbincang juga belum terwujud sempurna, bahkan, jika manusia hanya berhenti pada kondisi kedua di atas.
Pembahasan ini menjadi menarik, karena tak sedikit manusia yang telah terjebak delusi atau keyakinan yang keliru, karena self-proclaim telah ber-mukālamah dan ber-mukhātabah secara sempurna dengan Sang Pencipta.
“Di antara mereka ada yang menceritakan mimpi-mimpi dan ilham-ilham mereka hanya untuk kesombongan dan meninggikan diri mereka saja.” (Haqiqatul Wahy, hlm. 5).
Kalau sekadar mimpi, Banyak orang yang jauh dari Tuhan, bahkan non-muslim yang anti-Islam—pun bisa mendapatkan mimpi yang benar terjadi. Tapi itu bukan wahyu yang membawa kedekatan, melainkan hanya sebagai contoh atau potensi dasar dalam fitrah manusia. Ia mengira dirinya istimewa, padahal hanya sedang mengalami fenomena psikis biasa.
Hadhrat Masih Mau’ud as. mengajak kita untuk tidak tertipu oleh keindahan mimpi atau kedalaman kata-kata, melainkan lihat siapa yang menerimanya atau siapa yang berbicara. Apakah hidupnya mencerminkan kehadiran Tuhan? Apakah ucapannya memberi ketenangan atau justru membingungkan umat?
Analisis Buku
Haqiqatul Wahy bukan buku teologi biasa. Ia bukan sekadar risalah keimanan, tapi sebuah testimoni langsung dari seseorang yang mengklaim hidup dalam dialog dengan Sang Khalik. Buku ini menyajikan 208 tanda rohaniah—berupa ilham, mimpi, dan nubuatan—yang didokumentasikan secara sistematis dan dilengkapi data historis dan kontekstual. Lebih dari sekadar penceritaan, ini adalah upaya serius untuk membuktikan bahwa Tuhan masih berbicara.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. tidak hanya berbicara tentang teori wahyu, ia menyusunnya dalam empat bab yang menggambarkan tiga tingkatan manusia dalam menerima wahyu dan satu bab khusus untuk menjelaskan posisinya sendiri—sebagai penerima wahyu tingkat tertinggi.
Buku ini menggunakan gaya penulisan klasik khas awal abad ke-20, padat dengan dalil atau firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, syair Parsi dan juga bahasa religius yang puitis. Meski demikian, versi terjemahan Indonesia cukup membantu memperjelas maksudnya. Bagi pembaca akademis, ini adalah harta karun sumber primer tentang konsep kenabian, wahyu, dan epistemologi spiritual. Namun bagi pembaca awam yang tekun, ini akan jadi pengalaman batin yang menggugah.
Di tengah gelombang materialisme, nihilisme, dan sekularisme yang mengikis nilai spiritualitas, Haqiqatul Wahy hadir sebagai seruan tajam: “Tuhan itu masih hidup, dan masih berbicara.” Buku ini mengangkat tema-tema seperti: Perbedaan antara wahyu sejati dan bisikan setan, Argumentasi logis dan spiritual menentang ateisme, Eksistensi Tuhan melalui pengalaman personal, Bukti-bukti empiris dari nubuat yang tergenapi, serta Dialog terbuka terhadap Kristen, Hindu, dan umat Islam sendiri.
Membaca Haqiqatul Wahy bukan seperti membaca narasi fiksi atau khotbah biasa. Ini seperti menyimak seseorang yang dengan percaya diri berdiri di hadapan sejarah, agama, dan dunia—menantang mereka semua untuk membuktikan kebalikannya.
Resensator merasa buku ini bukan hanya untuk kalangan Ahmadi, melainkan untuk siapa pun yang masih gelisah mencari “suara Tuhan” dalam hidupnya. Ini bukan buku untuk diselesaikan dalam satu duduk, tapi untuk direnungi dalam banyak malam.
Apakah Anda berani membuka kemungkinan bahwa komunikasi dengan Tuhan bukan hanya milik orang-orang di masa lalu?
Jika iya, maka Haqiqatul Wahy adalah buku yang layak dibaca. Bukan untuk meyakinkan Anda secara dogmatis, tetapi untuk mengajak Anda menjelajah kemungkinan ilahiah yang mungkin telah lama Anda abaikan.
Resensator: Rahma Roshadi
Visits: 66