
MENJADI RELAWAN DONOR DARAH DI TENGAH PANDEMI
Menurut informasi dari Humanity First Indonesia, dampak dari pandemi Covid-19 ini dialami berbagai sektor kehidupan, termasuk stok darah di PMI. Kebutuhan darah yang semakin meningkat, diikuti dengan stok darah PMI yang menipis, menyulitkan masyarakat yang membutuhkan darah di tengah pandemi.
Tak biasanya, saat itu sungguh sulit bagi saya untuk memutuskan menjadi relawan donor darah. Karena saat itu kita sedang menjalani puasa di bulan Ramadhan dan di tengah pandemi pula.
Kekhawatiran dan kecemasan menghantui diri yang lemah ini, untuk datang ke PMI. Selain cemas takut tidak diterima darahnya karena tensi dan HB rendah dalam kondisi setelah berpuasa, yang paling ditakutkan lagi adalah akan keamanan tempat donor dan kekhawatiran tertular Covid-19.
Kemudian saya membaca himbauan serta ajakan melalui gerakan HF Peduli Senyummu, Berbagi Darah di Masa Pandemi. Saya juga membaca penjelasan bahwa pihak PMI telah membuat standar keamanan tersendiri bagi pendonor dan memastikan para pendonor tetap aman untuk mendonorkan darah.
Setelah mendapat penjelasan-penjelasan tersebut, juga motivasi dari pasangan, butuh waktu 3 hari bagi saya untuk kemudian memberanikan diri dan membulatkan tekad untuk datang ke PMI dan menjadi relawan donor darah di bulan Ramadhan.
Ternyata sekedar niat dan tekad kuat belum cukup. Jalan menuju ke gedung PMI tidak semulus jalan tol. Saya dan suami harus menghadapi beberapa rintangan. Pertama, saya dan suami harus membujuk rayu putra bungsu kami yang masih balita agar mau dititipkan di rumah eyangnya. Kebetulan rumah beliau bertetangga dengan kami, hanya berjarak sekitar 200 meter.
Tidak mudah untuk membujuknya karena si bungsu ini tak pernah kami tinggalkan. Dia selalu diajak kemanapun kami pergi bahkan saat donor darah sekalipun. Drama pun tak dapat dihindari, dia merengek tak ingin lepas dari pangkuan ibundanya.
Kesabaran saya pun diuji. Tak tega rasanya melihat si bungsu terus menangis. Nyaris saja batal niat saya untuk berangkat ke PMI. Tapi, saat sholat Ashar sebelum berangkat, kami berdoa supaya hati anak bungsu kami dapat luluh dan mau untuk ditinggal.
Ditemani hujan rintik-rintik saya antarkan anak-anak ke rumah eyangnya. Alhamdulillah, rintangan pertama dapat dilewati dengan senjata yang paling ampuh berupa doa. Juga sejenis permen yang sering dilarang oleh kami yang terpaksa kami keluarkan sebagai senjata jitu untuk putra bungsu kami.
Ini merupakan pertama kalinya kami ke luar kampung dengan mengikuti protokol kesehatan, menggunakan masker dan tak lupa membawa hand sanitizer. Sepanjang jalan, bibir tak henti-hentinya berzikir melihat kondisi di luar. Kendaraan di jalan ramai, toko-toko pakaian tetap buka, begitupun orang berlalu lalang. Pedagang kaki lima tak ketinggalan meramaikan sepanjang jalan raya seperti tidak adanya wabah. Sampai suami mengatakan, “Seperti ayam yang baru keluar kandang.”
Ya, memang benar. Dua bulan sudah setelah diberlakukannya instruksi pemerintah untuk di rumah saja. Dan ketika aturan PSBB dilonggarkan, orang-orang beramai-ramai keluar melihat dunia luar, berisik seperti ayam betina yang sedang berkotek.
Rintangan kedua, kami harus melewati 2 check points pemeriksaan karena jarak dari rumah ke PMI lumayan jauh, sekitar 18 KM melewati perbatasan kabupaten dan kota. Sepanjang jalan saya pun tak henti-hentinya berdoa meminta perlindungan supaya terhindar dari wabah ini. Juga berdoa dan berdzikir supaya saya lolos dari rangkaian pemeriksaan saat akan mendonorkan darah nanti.
Akhirnya tibalah kami di gedung PMI. Tempat ini memanggil saya karena rasa kemanusiaan yang telah terpatri di dalam hati, yaitu untuk menjadi relawan donor darah. Memang tak bisa serutin kaum adam yang bisa tepat waktu, karena keterbatasan sebagai wanita yang secara alamiah tidak dapat dihindari.
Sampai di sana bertepatan dengan adzan Maghrib. Kami pun berbuka puasa terlebih dahulu dengan bekal yang kami bawa, amunisi yang sudah disiapkan dari rumah sebagai senjata untuk menguatkan tubuh. Setelah membatalkan puasa kami pun sholat berjamaah.
Ternyata rintangan belum berakhir. Jam operasional baru dibuka pukul 19.00 dan kesabaran pun diuji kembali. Kami harus rela bersabar dengan menunggu antrian yang panjang. Belum lagi diselingi penyemprotan 2 kali selama 30 menit.
Kami kira, PMI saat bulan Ramadhan di tengah Pandemi seperti ini pasti sepi. Di luar dugaan, ternyata banyak orang datang ke gedung ini. Bukan untuk donor darah sukarela tetapi untuk donor darah pengganti dari keluarga pasien yang saat ini banyak membutuhkan darah. Untuk menghindari kerumunan serta penerapan sosial distancing kami pun menunggu di dalam mobil sambil beristirahat.
Tibalah pukul 21.30, tepat 3 jam setelah sabar menunggu, akhirnya tiba giliran kami dipanggil untuk mengikuti serangkaian pemeriksaan. Mulai dari administrasi hingga pemeriksaan darah sampai akhirnya darah kami diambil.
Benar saja, PMI saat ini membutuhkan sekali stok darah karena banyaknya permintaan dari masyarakat. Terutama dari keluarga pasien yang saat ini sedang terbaring lemah di rumah sakit. Saat mengisi formulir, petugas bertanya, “Donor sukarela atau pengganti?” Saya langsung mengatakan, “Sukarela.”
Kemudian petugas memberitahukan dan meminta persetujuan saya, “Darah Ibu akan digunakan untuk pasien bernama Ny. Rini Dewi S.” Tanpa berpikir dua kali, saya pun langsung mengiyakannya.
Darah yang akan saya donorkan ini benar-benar sangat dibutuhkan oleh pasien yang sedang terbaring lemas di salah satu rumah sakit swasta di kota kami.
Sambil menunggu pemeriksaan kedua, saya membayangkan bagaimana kalau saya atau keluarga saya berada di posisi yang sakit dan membutuhkan darah segera. Dorongan yang sangat kuat mendesak kalbu saya untuk terus berdoa dan mensugesti diri bahwa saya pasti bisa dan berhasil mendonorkan darah saya.
Denyut jantung terus berdebar saat menuju ruang pemeriksaan dokter. Saya terus berdzikir supaya tensi normal. Dokter memeriksa tensi saya sampai 2 kali untuk memastikan aman tidaknya saya mendonorkan darah. Kemudian pemeriksaan dilanjutkan dengan pengecekan suhu tubuh. Alhamdulillah dalam hasil pemeriksaan keduanya, saya dinyatakan lolos.
Denyut jantung masih dag dig dug, karena saya belum merasa tenang menghadapi pemeriksaan terakhir. “Bismillah! Ya Allah, semoga saat pemeriksaan darah, HB-nya normal,” gumamku dalam hati.
Saya perhatikan petugas memeriksa golongan darah saya dengan memasukkan beberapa tetes darah ke dalam mesin untuk menentukan HB rendah atau tidaknya. Saat melihat petugas menandatangani formulir menyatakan saya aman untuk donor, lega rasanya hati ini. Jantung pun berdenyut normal kembali.
Saat memasuki ruangan untuk proses pengambilan darah, saya tak perlu menunggu lama. Hanya 4 menit saja, darah selesai dikeluarkan. Kemudian darah saya yang telah terambil, dimasukkan ke dalam box untuk segera diolah dan diberikan kepada pasien yang telah menunggu.
Siapa pun itu yang menggunakan darah tersebut, semoga mendapat karunia-Nya agar lekas disembuhkan dari sakitnya. Semoga beliau segera dapat tersenyum manis kembali sesuai dengan slogan, #Hfpedulisenyummu.
Hari itu merupakan hari yang sangat bersejarah dan menjadi kenangan berkesan bagi kehidupan kami. Di saat Ramadhan di tengah Pandemi, kami dapat menjadi relawan donor darah. Alhamdulillah kami bisa mengabdi pada negeri ini dengan hanya mengorbankan apa yang dapat bermanfaat di dalam raga ini.
Walaupun tidak sesulit dan serumit para relawan kita yang berada di garda terdepan, tim paramedis, dalam melawan covid19.
Berbagi tidak harus dengan harta yang kita miliki saja. Berbagi juga bisa dengan apapun yang kita mampu asalkan bermanfaat bagi seluruh umat di dunia. Cerita ini pun kami jadikan teman pengantar tidur anak-anak kami.
Yuk, siapa lagi yang akan menemani kami sebagai relawan donor darah di tengah pandemi ini? Ayo, semangat teman-teman! Kamu dan kita semua bisa kita mensukseskan program “HF Peduli Senyummu-Berbagi Darah di Masa Pandemi”
.
.
.
editor: Lisa Aviatun Nahar
Visits: 72