MENULISLAH, NANTI KAU AKAN TAHU SEBERAPA BESAR KEKUATANNYA
Namanya Supriatin. Akrab dipanggil Bu Atin. Ia cukup rajin mengirimkan artikel ke website yang kami kelola yakni islamrahmah.id. Kebanyakan tulisannya adalah cerita yang diramu dengan gaya feature, yang suka mengiris-iris nurani pembaca.
Aku baru tahu ia hanya lulusan SD. Meski apa yang ia tulis menyimpulkan berbeda. Tapi memang, setiap orang bisa mengekspresikan apapun yang ada dalam otak dan hatinya.
Menulis bukan cuma soal latar belakang pendidikan. Menulis adalah soal bagaimana cara kita menyalurkan keresahan kita. Menjadi sebuah pesan kuat yang bisa dinikmati, dipahami bahkan ditangisi pembaca.
Tadi malam aku baru tersadar. Bahwa menulis bukan cuma pekerjaan melemparkan satu wacana dan perasaan kita kepada orang lain. Menulis bisa lebih dari itu.
Menulis bukan cuma mampu mengiris perasaan pembaca. Bukan cuma membuat mereka menitikkan air mata. Tapi tulisan mampu membuat orang bergerak.
Tulisan pada akhirnya bisa menjadi solusi konkret atas sebuah permasalahan.
Bu Atin kemarin menulis sebuah kisah yang menyisahkan keperihan dalam nurani pembacanya. Istri dari seorang pengemudi ojek online (ojol) ini menceritakan bahwa sebuah story whatsapp beberapa teman istri ojol membuatnya resah.
Ia memutuskan untuk melihat langsung ke rumahnya. Ia dapati temannya beserta empat anaknya yang masih mungil-mungil menangis. Uang tak ada. Tak ada yang bisa dimasak. Narik cuma dapat empat ribu perak. Cukup buat beli sarimie jumbo isi dua untuk enam kepala.
Padahal malamnya, mereka melewati malam dengan lapar. Entah bagaimana cara keempat anak mungil yang belum tahu bagaimana caranya menahan lapar menghabisi malam dengan kelaparan?
Batin ibu lima anak itu sungguh terguncang. Diraihnya sang ibu. Dipeluknya sekuat-kuatnya, meski ia tahu betapa rapuhnya mereka sekarang. Digendongnya di bungsu yang kini tengah belajar, betapa kerasnya kehidupan.
Ia mencoba menahan sekuat mungkin air mata yang hendak menetes. Mencoba untuk menjadi kuat. Meski ia tahu, ia tak lebih kuat dari mereka menghadapi wabah corona ini.
Bu Atin pamit pulang ke rumah. Mengambil segala yang bisa ia bawa untuk temannya. Beras, minyak, telur. Ia tahu, ia juga butuh semua itu. Tapi ada yang lebih membutuhkan sekarang.
Pikirnya, ini baru satu orang. Bagaimana dengan yang lain?
Mereka tentu tidak dalam keadaan baik-baik saja. Mereka tentu merasakan kepedihan yang sama. Apa yang bisa aku lakukan, tanyanya dalam hati. Hanya doa yang paling dapat diandalkan saat itu.
Akhirnya, ia putuskan untuk mengadakan penggalangan dana. Ia ceritakan kisahnya kepada teman-teman sekolahnya. Juga kepada komunitas senamnya. Juga kepada tetangga-tetangganya. Dan menuliskan kisahnya di sebuah komunitas menulis yang bernama “Free Writing” yang akhirnya dimuat dalam website kami.
Sebagai editor, seperti biasa aku meng-edit semaksimal mungkin tulisan yang masuk. Mendandaninya agar para penulis bisa belajar dari hasil editanku.
Tapi. Ada sebuah energi yang berbeda dari tulisan Bu Atin. Energinya mampu menarik nurani kemanusiaan setiap mereka yang baca.
Tulisan tersebut bukan cuma berhasil membuat pembacanya berkaca-kaca matanya. Tapi juga mampu menarik empati dalam bentuk bantuan nyata kepada para keluarga ojol temannya.
Beberapa orang dari teman sekolahnya. Beberapa orang dari komunitas senamnya. Beberapa orang tetangganya. Dan beberapa orang dari komunitas menulisnya. Semua menggalang kekuatan untuk sedikit meringankan beban mereka.
Tidak banyak memang ia bisa ia kumpulkan. Tapi ia berhasil memberikan satu pelajaran kepada kita bahwa harapan itu selalu ada.
Untuk itu, jangan pernah lelah berharap dan berdoa kepada-Nya, Rabb Yang Maha Kuasa. Sebab, kita tidak pernah tahu dari jalan mana pertolongan-Nya hadir.
Lihatlah, betapa sebuah tulisan mempunyai kekuatan menyihir yang begitu kuat.
Visits: 49