Meraih Kedamaian Hati dengan Sifat Qana’ah

Pada satu saat, mungkin kita akan menjumpai seseorang yang hampir seluruh hidupnya dipenuhi dengan keluh kesah tak berkesudahan, seolah diri dan kehidupannya ditakdirkan begitu menderita. Padahal secara kasat mata kehidupannya baik-baik saja, dikaruniai kecukupan dalam harta benda dan segala hal. Namun, dari mulutnya selalu terdengar ucapan-ucapan yang jauh dari rasa syukur.

Di tempat lain, mungkin kita akan menyaksikan seseorang yang begitu terpana dengan daya tarik dunia. Gelar, harta, jabatan dan status sosial berada di atas segalanya. Hingga untuk meraih semua itu, tak jarang menghalalkan segala cara. Hingga terjebak dalam untaian riba, lilitan utang, suap, penipuan dan tindak kebodohan lainnya demi sebuah gengsi. 

Di masa lampau, banyak kisah yang dapat diambil hikmahnya. Selain kisah Qarun yang terdapat dalam Al-Qur’an, terdapat kisah lainnya. Seseorang bernama Syalabah meraih limpahan rahmat Allah Ta’ala berupa kelapangan harta benda, kebun-kebun yang luas, binatang peliharaan yang begitu banyak dan para abdi yang siap melayani segala keperluannya. Namun, kekayaan tersebut telah membutakan hati nuraninya. 

Syalabah telah menjadi manusia kikir, sering menghardik fakir miskin dan anak yatim, enggan membantu saudara-saudaranya serta merasa harta yang dimiliki adalah hasil kerja kerasnya sendiri dan kehadiran orang-orang miskin yang meminta sedekah adalah sesuatu yang merepotkannya. Tatkala Hadhrat Abu Bakar r.a. menasehati Syalabah atas titah Rasulullah SAW, dia tidak segan memerintah Hadhrat Abu Bakar untuk diam dan meninggalkan dirinya yang akan kembali sibuk bekerja menambah pundi-pundi kekayaan.

Tak jauh berbeda dengan akhir kehidupan Qarun yang tragis, Syalabah pun menemui ajalnya dalam sakit berkepanjangan, meratapi harta bendanya yang hilang karena Allah Ta’ala menimpakan hukuman berupa kemusnahan kebun-kebun, matinya hewan-hewan ternak serta para pelayan yang meninggalkannya.

Lain kisah Qarun dan Syalabah, lain pula kisah seorang sahabat bernama Abdurrahman Bin Auf. Seorang sahabat yang memiliki kekayaan melimpah dan dihiasi hati yang tulus suci serta dermawan. Abdurrahman Bin Auf menjadi penyandang dana dalam banyak peperangan, menjadi penyantun para veteran perang Badar dan seseorang yang diberi tugas memastikan tercukupinya kebutuhan para istri Nabi. 

Sama seperti Syalabah, menjelang akhir hayatnya Abdurrahman Bin Auf meratapi harta bendanya, namun bukan ratapan ketakutan hilangnya harta benda, melainkan jerit tangis penuh kegelisahan jikalau kelak di hadapan Allah Ta’ala dia akan ditinggalkan oleh sahabat lainnya karena hisab yang lebih lama berkenaan dengan hartanya.

Lantas, bagaimana kehidupan Rasulullah SAW sendiri berkenaan dengan kehidupan dunia? Dalam satu riwayat dapat kita baca kisah menyentuh kalbu di mana Hadhrat Umar bin Khattab datang ketika Rasulullah sedang tidur di atas tikar yang membuat bekas pada kulit beliau di bagian sisi. 

Sontak Hadhrat Umar berkata, “Wahai Nabi Allah! Andaikan engkau menggunakan permadani tentu lebih baik dari tikar ini”. Maka beliau SAW bersabda: “Apa urusanku terhadap dunia? Permisalan antara aku dengan dunia bagaikan seorang yang berkendaraan menempuh perjalanan di siang hari yang panas terik, lalu dia mencari teduhnya di bawah pohon beberapa saat di siang hari, kemudian dia istirahat di sana lalu meninggalkannya.” (HR at-Tirmidzi 2/60, al-Hakim 4/310, Ibnu Majah 2/526)

Pada peristiwa lainnya, Hadhrat Abu Bakar menangis tersedu-sedu demi mendapati pernikahan Fatimah puteri kesayangan Rasul dan Hadhrat Ali Bin Abi Thalib yang teramat sederhana. Saat itu Rasulullah SAW hanya menyiapkan gandum yang telah digiling, kulit binatang yang disamak, cerek dan sebiji pinggan. Fatimah keluar dari rumah dengan memakai pakaian pengantin yang cukup bagus, tetapi mempunyai 12 tambalan, tanpa perhiasan yang berharga mahal.

Inilah ajaran sejati Rasulullah SAW. Suatu perwujudan paripurna dari sifat Qana’ah. Qana’ah berarti merasa cukup, merasa puas atas apa yang diterimanya, menerima ketentuan Allah dengan sabar dan ridha serta menarik diri dari kecintaan berlebihan kepada dunia. 

Rasulullah SAW dalam segala tindak kesehariannya, dalam berbagai urusan dan kepentingan, selalu menunjukkan kesederhanaan dan sifat qana’ah (puas hati). Rasulullah SAW bersabda, “Kekayaan yang hakiki adalah kekayaan iman dan dicerminkan dalam sifat qana’ah dan qana’ah adalah harta yang tidak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap.”

Sifat Qana’ah bukan berarti manusia hanya berdiam diri menunggu apa yang akan diterimanya, melainkan mengupayakan dengan kesungguhan dan kemudian ridha atas apa yang diperolehnya serta merasa cukup. Dari sinilah akan muncul rasa syukur atas segala nikmat yang Allah SWT karuniakan. Baik dirinya mendapat karunia berkecukupan maupun sebaliknya, tidak akan menjadikan orang tersebut berpaling dari Allah SWT. 

Hadirnya sifat Qana’ah dalam diri seseorang, akan menjadikan hidupnya penuh ketenangan dan kedamaian. Jauh dari keluh kesah saat susah. Terhindar dari iri hati saat orang lain mencapai keinginannya. Mampu mengendalikan ambisi duniawi yang menjerat sangat kuat. Pergolakan dan persaingan dalam kemewahan tidak akan mengalahkannya. Pada akhirnya, tidak akan ada ruang tersisa untuk nafsu keserakahan karena seluruh ruang hidupnya dipenuhi dengan rasa syukur. Dan satu keyakinan yang semestinya ditanamkan dalam sanubari bahwa “Siapa yang merasa cukup, maka Allah akan mencukupinya” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Visits: 2225

Ai Yuliansah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *