
Merangkai Asa, Melawan Putus Asa
Percayakah Anda jika putus asa itu dosa? Rata-rata akan menganggukan kepala. Dan mau tidak mau kita memang harus percaya karena hal ini dengan tegas dijelaskan dalam Al-Qur’an suci:
“Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Maha Pengampun, Dia Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa. Sesungguhnya Maha Penyayang.” (Az-Zumar: 54)
Namun pada kenyataannya putus asa itu pernah ada, kata menyerah sering menghinggapi jiwa, mengacak-acak logika dan menjungkirbalikan keimanan. Beruntung, Allah Ta’ala Maha Baik, memberikan satu jurus peredam yang jitu, Istighfar. Sehingga dalam kondisi terpuruk, kita bisa kembali menemukan jati diri.
Apa yang dimaksud dengan putus asa?
Dikutip dari hellosehat.com, putus asa adalah emosi atau perasaan yang ditandai dengan kurangnya harapan, optimisme, dan gairah. Seseorang yang mengalami kondisi ini seringkali tidak memiliki harapan dalam hidup, atau sudah menyerah dengan keyakinannya untuk berubah menjadi lebih baik atau sukses di masa depan.
Sebagai Muslim, bagaimanakah cara kita dalam mengobati sikap putus asa ini?
Jawaban terbaiknya hanya akan ditemukan pada diri junjungan alam, Rasulullah Muhammad SAW. Lihatlah, bagaimana pelajaran agung dari kisah perang Khandaq. Saat kaum muslimin berada di ujung rasa putus asa dan kecemasan menghadapi serangan pasukan koalisi kaum kufar dan pengkhianatan kaum Yahudi, Bani Quraiza yang mengingkari perjanjian dengan cara licik.
Di tengah badai ini, hadir sahabat Salman Al-Farisi yang memberikan ide cemerlang, menyampaikan strategi tercanggih untuk perang di zaman itu, yang tidak pernah terpikirkan oleh kaum kufar dan membuat kondisi jadi berbalik. Kaum kufar tercengang dan kehabisan akal. Pasukan mereka dalam jumlah puluhan ribu dan persenjataan lengkap tidak mampu menembus bentangan parit yang mengelilingi kota Madinah.
Para pemimpin perang dari kaum kufar tidak dapat menemukan cara untuk menembus pertahanan ini. Berhari-hari mereka mencoba menyerang, hasilnya nihil. Ketika salah seorang komandan perang mereka berhasil menembus parit, Hadhrat Ali bin Abi Thalib ra. tampil perkasa menghadangnya dan dalam pertempuran sengit, komandan itu pun tewas.
Strategi perang parit yang di kemukakan oleh sahabat Salman Al-Farisi dan disetujui oleh Rasulullah SAW., telah membuktikan bagaimana dahsyatnya sebuah keyakinan, keteguhan hati dan keikhlasan dalam melawan kekhawatiran, kecemasan dan rasa putus asa. Di bawah perintah Rasul, para sahabat bahu-membahu menggali parit. Dalam kondisi cuaca ekstrim saat itu, sama sekali tidak ada penolakan dan keraguan.
Sementara para sahabat menggali parit, Rasulullah SAW. terus larut dalam doa-doa beliau di dalam sebuah bangunan batu yang hingga kini jejaknya masih bisa ditemukan di kota Madinah. Dan kemenangan menjadi milik kaum muslimin yang jumlahnya sangat sedikit dibandingkan pasukan kafir Mekkah yang terpaksa pulang dengan tangan hampa, hanya membawa jenazah komandan perang mereka.
Ini salah satu contoh luarbiasa dari perjalanan sejarah. Bagaimana dalam kondisi teramat sulit sekalipun, selalu ada jalan dan peluang. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Hadhrat Ali bin Abi Thalib ra., “Seseorang yang putus asa melihat kesulitan dalam setiap kesempatan, tetapi orang yang optimis melihat peluang dalam setiap kesulitan.”
Daftar Literasi :
Dewan Naskah Jemaat Ahmadiyah Indonesia. 2014. Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Singkat Bahasa Indonesia, Edisi Kelima. Bandung: Neratja Press.
Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad ra. 2017. Riwayat Rasulullah SAW, Cetakan Keempat. Bandung: Neratja Press.
https://www.google.com/amp/s/hellosehat.com/mental/mental-lainnya/putus-asa/
Views: 200