PENGORBANAN HARTA YANG MENAKJUBKAN SEORANG PENJUAL SURAT KABAR

Dalam tulisan ini izinkan saya yang sangat lemah, menggoreskan tinta untuk sekedar berbagi pengalaman rohani yang sungguh dahsyat nikmatnya. Dua puluh tahun sudah saya menikmati pengkhidmatan sebagai juru pungut atau muhasil untuk Kelompok Sukajadi Bandung. Selama itupula saya belajar dan mengenal berbagai karakter anggota.

Mulai dari kalangan hartawan, sampai kalangan yang hidupnya pas-pasan. Saya melihat dengan mata kepala sendiri ketaatan dan keikhlasan mereka untuk berkorban harta melalui candah-candahnya.

Namun dari berbagai karakter dan keadaan ekonomi setiap anggota, ada satu anggota yang membuat saya tak tahan untuk menuliskannya dikarenakan ketaatan dan kesabarannya dalam pengorbanan harta.

Namanya Untung Suyono. Ia memiliki dua belas anak. Pekerjaan sehari-harinya sebagai penjual surat kabar. Ia berbaiat kepada Jemaat disertai istri dan dua orang anaknya melalui (alm) Bapak Mertua saya. Ia berjualan di sebuah lapak di RS Hasansadikin atas kebaikan seorang dokter yang merasa iba akan kondisinya.

Meskipun perekonomiannya pas-pasan, Pak Untung Suyono selalu membayar candah tepat waktu di awal bulan.

Suatu saat ketika hujan disore hari, setelah pulang berjualan. Ia mampir ke rumah saya untuk setorkan candahnya. Dengan menggendong tas ransel di pundaknya. Kresek hitam terlihat membungkus kepalanya. Sepertinya habis berhujan-hujanan di jalan. Pemandangan ini membuat saya amat terharu.

Setelah masuk di ruang tamu, beliau mengeluarkan sejumlah uang dari saku celananya. Uang dua ribuan dikeluarkan semuanya di kursi tamu kala itu. Saya membantunya untuk merapikan tumpukan uang dua ribuan yang sudah lusuh hasil berjualan hari itu, agar mudah menghitungnya.

Dan akhirnya sejumlah uang sebanyak seratus lima puluh ribu terkumpul dan beliau serahkan untuk membayar candahnya. Dapat dibayangkan bukan setebal apa jadinya saat dikumpulkan. Sungguh pemandangan yang membuat saya mengharu biru.

Bisa jadi uang-uang itu tengah ditunggu oleh para anggota keluarga di rumahnya. Tapi bagi Pak Suyono yang paling utama adalah mempersembahkan pengorbanan harta kepada Allah Ta’ala. Baginya, kebutuhan rumah tangga adalah nomor dua.

Ia berujar dengan senyum sumringah, seperti baru mendapat satu bentuk ketenangan, “Bisi kacoceng hak Allah Ta’ala dan biar jongjon oge udah memenuhi kewajiban ka Allah Ta’ala.”

Kalau diartikan, “Takut terpakai hak Allah Ta’ala, agar tenang juga sudah memenuhi kewajiban kepada Allah Ta’ala.”

Beriringnya waktu, dan roda kehidupan pun turut berputar pula, kondisi tubuh yang dirasa kuat jadi lemah dan usia tua pun tiba. Begitupula kondisi Bapak penjual surat kabar inipun harus berhenti dari usahanya. Tapi pengorbanan candahnya masih tetap berjalan tidak terputus mungkin nominalnya tidak sama waktu dulu ketika masih kuat sebagai penjuang rupiah untuk keluarganya.

Akhirnya saya dapat mengambil pelajaran hidup bahwa “Rezeki dari Allah Ta’ala itu bukan materi yang berlimpah saja, tapi kestabilan iman, kestabilan pengorbanan dan kestabilan kesehatan. Itu semua merupakan bagian dari rezeki Allah yang sesungguhnya.”

Dalam Surah Ali-Imran ayat 93 dikatakan, “Kamu tidak akan meraih kebajikan sejati selama kamu belum membelanjakan sebagian harta bendamu yang sangat kamu cintai.

Dan sabda Hazrat Masih Mau’ud as, “Biasanya orang- orang menganggap rezeki sebagai hal-hal yang bisa dimakan dan minum. Ini tidaklah benar. Sebab apa-apa yang dianugerahkan kepada manusia demi pembangunan potensinya juga ialah rezeki.

Semoga goresan tinta ini bermanfaat dan menjadi penyemangat dalam memberikan pengorbanan terbaik kepada Allah Ta’ala.

Visits: 67

Euis Mujiarsih

2 thoughts on “PENGORBANAN HARTA YANG MENAKJUBKAN SEORANG PENJUAL SURAT KABAR

  1. Subhanallah… sungguh mengharukan.
    Ketika nikmatnya berkorban merasuki jiwa, segala kesulitan dunia tak ada artinya lagi.
    Ibaratnya, jika dengan berkorban di jalan Allah bisa melapangkan jiwa dan hati seluas samudera, dan jika masalah hidup adalah segenggam garam, maka apalah artinya segenggam garam yang ditaburkan di atas air seluas samudera? Sungguh tidak akan terasa.
    Berbeda jika jiwa dan hati kita seperti air dalam gelas, tentu saja segenggam garam akan sangat terasa.
    Jadi, ingin tak merasakan masalah? Perbaikilah pengorbanan kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *