Pengorbanan yang Mencukupkan Kebutuhan

Sepasang suami istri, Rahmat Suwandhi (almarhum) dan sang istri, Euis Dedeh Baedah, memutuskan untuk merantau dari Pulau Jawa, tepatnya Jakarta di tahun 1980. Mereka merantau ke Provinsi Lampung untuk memenuhi panggilan dari sesepuh jemaat Lampung, MA. Mochtar, yang tak lain adalah ayahanda dari Rahmat Suwandhi.

Rahmat Suwandhi dan Euis Dedeh Baedah, mempunyai lima orang buah hati: empat perempuan dan satu laki-laki. Mereka bertujuh tinggal di komplek perumahan subsidi di daerah Way Halim Bandar Lampung.

Sehari-harinya, Rahmat Suwandhi dan istri mengkhidmati Jemaat Lampung. Rahmat Suwandhi menjadi pengurus, begitupun dengan istri beliau. Jabatan beliau saat itu adalah Nazim Wilayah dan istrinya adalah Pembina Wilayah (saat ini disebut Ketua Daerah). Amanah itu dipegang selama beberapa periode.

Pengkhidmatan alm. Rahmat dan istrinya tidak hanya ditujukan untuk Jemaat Lampung. Ketika acara Jalsah Salanah di Parung, Bogor, Rahmat Suwandhi berkesempatan berkhidmat sebagai Kepala Juru Parkir bagi peserta Jalsah Nasional yang membawa kendaraan dan menitipkan di parkiran.

Kehidupan sehari-hari keluarga beliau jauh dari kaya raya, justru terbilang sangat sederhana dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama kelima anak mereka. Bahkan pernah semasa hidup bersama istri dan anak-anaknya, mereka hanya makan nasi dengan garam saja, tanpa adanya lauk-pauk atau sayur-mayur.

Pernah juga saat Ramadhan, Rahmat dan keluarganya hanya makan satu bungkus mi instan untuk dimakan bersama-sama tanpa nasi ataupun lauk, maupun sayur pendamping.

Namun, meski kondisi ekonomi yang sangat sulit, Rahmat dan Euis tidak pernah luput dari membayar pengorbanan, yaitu Candah. Mereka juga selalu mengerjakan shalat berjamaah tepat waktu bersama keluarganya. Shalat tahajud dan dhuha, serta berpuasa Senin dan Kamis tak pernah ketinggalan.

Dengan teratur setiap bulannya mereka berdua membayar candah tanpa pernah putus. Sehingga, saat mengikuti nizam Al-Wasiyat, mereka memenuhi syarat tersebut. Rahmat dan Euis teratur membayar candah dan juga membayar Hissa Jaidadnya. Mereka percaya bahwa candah akan melindungi dari kemiskinan dan kehinaan.

Mereka meyakini bahwa pengorbanan yang diberikan untuk Allah Ta’ala akan berganti 700 kali lipat, dalam bentuk apapun sebagai gantinya. Mungkin dengan memiliki anak-anak yang sholeh dan sholehah, atau dengan memiliki anak-anak dengan pendidikan yang bagus, atau dalam bentuk lainnya.

Mereka meyakini firman Allah Ta’ala , “Perumpamaan orang-orang yang membelanjakan harta mereka di jalan Allah, adalah seumpama sebuah biji menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir terdapat seratus biji, Allah melipatgandakan ganjaran-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas karunia-Nya, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 262)

Selama hidupnya, almarhum Rahmat Suwandhi mengamalkan sabda Hazrat Masih Mau’ud a.s., “Selama kita masih bisa makan, maka Allah Ta’ala masih memberi kita rejeki. Maka bayarlah candahnya.”

Hazrat Khalifatul Masih V aba. pun bersabda, “Pengorbanan tidak dapat dilakukan tanpa mengalami segala macam kesulitan dan rasa sakit.” Inilah teladan sekaligus warisan yang ditinggalkan untuk anak keturunan almarhum.

Kini, putri, putra dan menantu almarhum menjadi para pengkhidmat dalam Jemaat. Di masa hidupnya, beliau, istri beserta putri dan putranya pun pernah melaksanakan perjalanan rohani seperti umroh, Jalsah Singapura dan bermulaqat bersama Huzur aba.

Beliau juga mendapat karunia untuk bisa menghadiri pertemuan Jalsah di Qadian, India. Siapa menyangka, kehidupan yang dulunya sangat sulit dari segi ekonomi, berganti dengan kecukupan sehingga beliau beserta kelima anaknya dapat melakukan perjalanan rohani ke berbagai negara. Keyakinan beliau bahwa pengorbanannya akan diganjar berkali-kali lipat, terbukti sudah.

Pada 28 Juni 2021, Rahmat Suwandhi meninggal dunia akibat wabah Covid-19. Beberapa hari setelahnya, putri ketiga beliau yang bernama Rahmatunisa, bermimpi bertemu dengan ayahandanya.

Dalam mimpi putrinya, sang ayah berkata: “Atun, tolong lunasin Jaidad Papa, ya.” Begitu pesan Rahmat dalam mimpi sang putri. Ketika bangun tidur keesokan harinya, Rahmatunisa pun mencari data tentang Jaidad ayahanda.

Atun, demikian panggilannya, meminta kepada sang adik, Ibrahim, menanyakan kepada Pengurus Pusat Al-Wasiyat tentang berapa lagi Jaidad ayahanda yang belum lunas. Setelah mendapat data dari Pusat, maka Atun langsung melunasi Jaidad ayahandanya tersebut dengan jumlah ratusan ribu rupiah.

Rahmat Suwandhi meninggal dunia karena wabah penyakit yang saat itu melanda dunia. Insyaa Allah Ta’ala, almarhum mendapat gelar sebagai syahid karena wafat dalam keadaan terserang wabah penyakit. Beliau pun dimakamkan di pemakaman Musi Musiah yang terletak di Garut, Jawa Barat.

Visits: 228

Ina Mukminah

2 thoughts on “Pengorbanan yang Mencukupkan Kebutuhan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *