Bangga Menjadi Ahmadi Walaupun Dibenci

Tepatnya bulan Juni tahun 2014, saya mulai masuk di bangku SMA. Saat itu terpancar kebahagiaan yang saya rasakan di minggu-minggu pertama masuk sekolah karena mendapatkan teman yang baik dan sangat kompak dalam hal apapun.

Akan tetapi sangat disayangkan ternyata kekompakan itu tidak berlangsung lama, setelah mereka mengetahui bahwa saya seorang Ahmadiyah. Di hari itu pula kelas pun seketika menjadi ramai bersorak-sorai dan saling melempar kertas ke arah saya.

Kemudian mereka mengatakan, “Dasar aliran sesat! Pengikut nabi palsu!” Ucapan itu dilontarkan teman sekelas. Saya hanya terdiam ketika satu kelas melakukan perundungan dan mengeluarkan kata-kata kasar. Karena saya ingat Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berbicara yang baik atau diam.” (HR. Bukhari).

Menurut saya, berbicara merupakan media utama dari seluruh proses interaksi sosial. Baik buruknya proses interaksi sosial salah satunya dipengaruhi oleh bagaimana kita bertutur kata. Karena itu saya memutuskan harus berhati-hati dalam berbicara, agar apa yang diucapkan tidak menjadi bumerang bagi diri sendiri.

Rasulullah saw. pun pernah mengingatkan, “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucap kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhari Muslim)

Tidak lama kemudian, ada beberapa guru mengetahui bahwa saya seorang Ahmadiyah. Guru tersebut sikapnya berubah, yang awalnya sangat dekat seketika menjadi benci karena saya Ahmadiyah.

Keesokan harinya, saya dipanggil oleh guru tersebut untuk diwawancarai. Saya pikir mungkin akan diwawancarai mengenai materi pelajaran. Ternyata perkiraan itu salah, saya diwawancarai mengenai Ahmadiyah yang guru tersebut memberikan beberapa pertanyaan.

“Keluarga kamu itu keturunan Ahmadiyah? Kamu mau, tidak, keluar dari Ahmadiyah? Seandainya kamu mau keluar dari Ahmadiyah, apapun yang kamu inginkan saya berikan, baik itu uang atau barang apapun saya belikan.”

Saya pun menjawab dengan suara bergetar sambil menangis, “Iya. Alhamdulillah saya seorang Ahmadiyah keturunan. Mohon maaf. Apapun persyaratannya, itu tidak akan mengubah pendirian saya menjadi Ahmadiyah, apalagi harus keluar dari Ahmadiyah hanya karena uang atau barang. Karena iman itu tidak bisa dibeli dengan apapun!”

Menjaga keimanan itu sangat penting dalam segala keadaan. Karena dengan iman inilah seseorang bisa mengenal Allah Ta’ala. Saya sangat bangga menjadi seorang Ahmadi. Bagi saya, Ahmadiyah bukan saja keimanan, tetapi juga identitas diri.

Visits: 83

Na’imatun Nisa

1 thought on “Bangga Menjadi Ahmadi Walaupun Dibenci

  1. ما شآءالله و الله اكبر

    Baca kisahnya perasaan campur aduk, terharu, bahagia dan bangga. Semoga selalu terjaga dalam iman Islam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *