PINDANG PATIN DALAM SEMANGKUK KENANGAN

Pindang Patin adalah sayur berkuah khas Sumatera Selatan yang mirip dengan sayur sop, tetapi lebih terasa berempah seperti jamu.

Cara memasaknya mudah, tapi tak mudah melupakan sebuah kenangan tentangnya. Meski kenangan tersebut tak sepanjang jalan Lampung-Palembang.

Bu…

Belum seumur jagung aku mengenalmu. Sejak kuinjakkan kakiku di tanah kota Angin ini. Tapi begitu banyak kebaikan yang kau hantarkan masuk kedalam rumahku.

Dari cerita perjalananmu mudik dengan kendaraan pribadi. Majalengka-Padang, begitu terkesan nya Bunda saat makan siang di perbatasan Lampung-Palembang.

Sayur ikan yang sedikit asam dan segar itu. Yang ibu lupa namanya, tapi ingin menikmatinya lagi kalau nanti pulang ke Padang.

Aku pun langsung menerka pasti yang Bunda maksud adalah pindang Patin, dan Ibu pun membenarkannya.

Aku pun langsung bercerita, sebenarnya cara memasaknya sangat mudah Ibu. Semua bumbu basah dan bumbu pelengkap dimasukan dalam air yang sedang mendidih. Kemudian tes rasa, masukan ikannya masak sampai matang. Terakhir, masukkan daun aroma dan angkat.

Makan selagi hangat. Ahh.. Mudah.. Mudah memasaknya..

Semudah menikmati dan menghabiskannya dalam sekejap. Tapi tak semudah melupakan kenangan tentangnya bersamamu Ibu.

Dan aku berjanji akan membuatkannya untuk Ibu nanti. Ibu yang terlalu baik, yang terlalu banyak membagi kebaikannya padaku. Dari barang yang kecil sampai yang besar, dari makanan ringan sampai yang berat.

Sehari menjelang Ramadhan, Ibu datang ke rumahku, membawa setepak Rendang Padang asli, untuk teman makan Sahur nanti malam, ujarmu. Juga satu stel mukena katun yang lembut dan adem, sambil berkata, “Lumayan untuk dipakai shalat Taraweh ya neng.”

Beberapa hari sepulang aku mudik dari Lampung, Ibu datang lagi ke rumah kontrakanku. Memberiku buah pepaya California matang dan sepotong kain batik untuk membuat baju.

Kulihat Ibu tampak kuyu. Dalam hati bertanya, Ibu kenapa, seperti yang menahan sakit.
Beberapa hari kemudian aku baru tahu, Ibu baru pulang terapi saraf kejepit di punggung.
Hari itu aku selesai masak. Aku siapkan semangkuk besar pindang patin dan suamiku mengantarkannya ke rumahmu.

Sorenya Ibu menyampaikan pesannya padaku melalui whatsapp, “Neng, Jazakumullah pisan, pindang patinnya enak, sama neng, seperti yg ibu makan di Palembang, seger, ibu sudah beberapa hari ini gak mau makan, Alhamdulillah, sekarang jadi mau makan lagi..”

Siang itu, dua hari menjelang Idul Adha, aku menjenguk Ibu. Ia bercerita banyak tentang sakitnya. Ibu terlihat senang bertemu denganku, walau tetap terlihat juga ibu menahan sakit di punggung dan dadanya.

Saat berpamitan ibu memelukku erat, dan mengantarkan sampai depan rumah tempat memarkir motorku, “Hati-hati ya neng, nanti setelah Idul Adha, sepulang ibu dari Bandung, kita ketemu lagi ya.”

Ada rasa sedih yang dalam merasuk kalbu. Entah apa itu. Tapi sekelebat terus terlihat wajah Ibu, melambaikan tangan dan tersenyum padaku.

Dua hari setelah Idul Adha aku terkejut saat membaca permohonan doa untuk ibu yang di rawat di rumah sakit. Aku langsung menghubungi ibu. Ibu masih membalas chat dariku, “Neng, maaf ya, ibu janji kita mau ketemu setelah lebaran ini, tp ibu malah sakit kayak gini ya, mhon doa ya neng..”

Kondisi ibu membaik, dan bisa pulang ke rumah, tapi sehari di rumah ibu kembali di bawa ke rumah sakit karena merasakan sesak dan sakit yg hebat.

Ibu di rawat dengan kondisi yang terus menurun. Subuh itu suami ibu mengirimkan foto kondisi ibu dengan berbagai alat di tubuh ibu. Aku seperti tak mengenali wajahnya. Tak kuasa lagi melihat fotonya.

Aku pun terdiam membisu. Ada desau kehilangan menyelinap di relung hatiku. Tak karuan lagi pagiku. Semua terasa buntu. Memasak tak tahu. Berbenah rumah pun tak tentu. Yang ada hanya pilu.

Sekitar jam 10 pagi dering pesan masuk tak henti-henti. Satu pesan dari temanku dengan menyertakan foto yang kuterima subuh tadi.

Kubaca sepotong. Tiba-tiba tubuhku seperti mengkerut, mengecil, terhempas, aku terduduk keras, aku tak percaya. Basah berlinang sudah mata ini. Tapi masih sempat kuberfikir untuk menghubungi suami ibu.

Aku hanya bisa mengucap dua kata, “Dok, ibu..”

Kudengar Isak serak suaranya, “Iya Bu, maafkan ibu ya.. Ibu sudah pergi meninggalkan kita.”
Ahh… Ibu…

Ingin rasanya aku berlari untuk segera memelukmu. Aku tak tahu seperti apa sudah air mata ini, sampai-sampai putraku berkata, “Ibu, yang meninggalkan Ibu dokter, kok ibu nangisnya kayak yang ditinggal ibu sendiri?”

Ya Allah.. Nak, jawabku kepadanya, yang meninggal ini orang baik, yang sangat baik sama kita, segala macam sudah Bu dokter kasih ke kita.

Inginku berlari saja saat mobil yang kutumpangi untuk segera bertemu denganmu terasa sangat lambat, dan waktu terasa berat. Sepanjang perjalanan Majalengka-Bandung mata ini basah, tak henti mengalir. Semua kenangan bersama Ibu seperti video yang diputar kembali.

Akhirnya sampai lah di pemakaman Al-Ghofur Cicalengka. Waktu sudah menjelang magrib.
Kompleks pemakamannya berada di ketinggian bukit. Aku berlari manapaki anak tangga-anak tangga yang besar-besar. Mengejar kerumunan orang yang mengelilingi makam. Berharap masih bisa melihatmu, menyentuh tubuhmu yang kini diam dan membisu.

Tapi semua terlambat. Sudah doa bersama. Orang-orang mulai membubarkan diri. Aku tertunduk pilu. Lidah ini kelu. Membisu.

Ibu… Batinku berteriak sekuat-kuatnya.

Mengapa kita tidak mengakhirinya dengan sebuah pertemuan terakhir? Cukupkah lambaian tangan dan senyum terakhirmu waktu itu? Bukankah kita masih terikat janji untuk bertemu?

Bu… Pilu rindu ini bu… Ingin rasanya memelukmu. Erat… Dan lebih erat lagi…

Nyanyian jangkrik dan serangga malam bersahutan mengantarku pulang menembus gelap menjelang. Sambil membawa sebongkah rindu yang tak berkesudahan padamu. Ya padamu, Ibu Chanita.

Nurhayati
#Majalengka-Jabar 10

Visits: 38

2 thoughts on “PINDANG PATIN DALAM SEMANGKUK KENANGAN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *