Ramadhan, Keindahan Makna dalam Sebuah Nama

Hari ini, bulan Ramadhan akan memulai hari-harinya. Sejatinya, pertemuan dengan bulan Ramadhan adalah pertemuan penuh rindu, sekaligus penuh haru. Rindu bila mengingat betapa berlimpahnya berkah dan karunia yang turun di bulan ini, juga kenangan akan segala kegiatan di dalamnya, sehingga membuat hari-hari lainnya terasa biasa saja. Haru bila mengingat betapa butuhnya kita akan karunia-karunia Allah Ta’ala untuk sekedar berjumpa dengan bulan istimewa ini.

Ya, sungguh, untuk bisa berjumpa dengan bulan mulia ini, kita membutuhkan begitu banyak karunia Allah Ta’ala. Tidak saja karunia berupa panjangnya usia, tetapi juga kesehatan. Apalagi setelah tahun 2020 kemarin hingga hari ini, kita melewatinya dengan pandemi yang begitu luar biasa dampaknya. Tentulah Ramadhan kali ini lebih istimewa lagi.

Menjalani Ramadhan juga membutuhkan satu karunia utama, yaitu karunia keimanan. Karena betapa lemahnya kita sehingga untuk bisa menikmati setitik demi setitik ibadah yang insyaallah bertabur pahala ini, kita akan tetap membutuhkan karunia keimanan. Tanpa karunia-karunia itu, maka bulan Ramadhan hanya akan berlalu sebagaimana bulan-bulan lainnya, tanpa menyisakan setitikpun perbaikan dalam diri.

Karenanya, perlu kiranya kita memahami sedikit demi sedikit makna dan nilai-nilai yang dimiliki bulan ini. Dan pada bahasan kali ini, di hari pertama bulan Ramadhan, saya akan sedikit mengulas mengenai makna atau filosofi indah di balik kata Ramadhan.

Kata Ramadhan berasal dari akar kata bahasa Arab ramidha atau ar-ramadh, yang berarti panas yang menghanguskan atau kekeringan [1]. Makna ini seringkali dikaitkan dengan bulan Ramadhan yang jatuh di musim panas. Tetapi tentu saja, ada makna filosofis lain berhubungan dengan makna ‘panas’ ini.

Dalam Tafsir Surah Al-Baqarah ayat 186, dikatakan bahwa,

“Ramadān itu bulan kesembilan tahun Qamariyah. Kata itu asalnya dari Ramadha. Orang mengatakan Ramadha al-Sā’imu, artinya, bagian-dalam tubuh orang yang berpuasa menjadi sangat panas dan haus karena berpuasa (Lane).” [2]

Dalam salah satu artikel kesehatan oleh doktersehat.com [3], disebutkan bahwa kondisi panas yang dirasakan tubuh biasanya dipicu oleh panas dalam. Hal ini biasa terjadi karena berubahnya proses metabolisme tubuh yang biasanya diisi makanan apa saja, mendadak tidak mendapat asupan makanan dalam jangka waktu lama.

Kemudian, makna kedua dari ‘panas’ yang mengakari kata Ramadhan adalah, bahwa bulan ini adalah kesempatan manusia untuk membakar habis dosa-dosanya (‘Asakir dan Mardawaih). Ini selaras dengan hadits yang menyebutkan bahwa bulan ini adalah bulan dimana pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup [4].

Dalam sebuah khutbahnya, Hz. Mirza Masroor Ahmad Khalifatul Masih Al-Khamis a.b.a menjelaskan bahwa,

“Takut kepada Allah menghalangi seseorang dari keburukan. Jika seseorang telah terhalangi dari perbuatan buruk, berarti ia telah meraih surga di dunia ini. Adapun perilaku keburukan dan kejahatan menciptakan suatu perasaan cemas dan takut pada diri pelakunya. Pelaku kejahatan tidak meraih ketenangan dan ketetapan di tempat mana pun bahkan menjadi selalu dalam keadaan tersiksa, maka dengan melakukan perbuatan buruk itu menjadi semacam neraka bagi diri pelakunya.” [5]

Karena itulah bulan Ramadhan ini menjadi bulan yang istimewa untuk membakar dosa-dosa manusia, karena manusia diberikan ‘pelatihan’ menahan diri. Makan dan minum yang merupakan amalan yang halal, dan menjadi simbol hawa nafsu, begitupula emosi, diharuskan ditahan karena ini merupakan pelatihan agar manusia bisa menahan hawa nafsunya dan fokus pada amal ibadah yang akan mendekatkan dirinya dengan Allah Ta’ala. Tidak saja dosa-dosa di masa lalu dibakar habis, namun manusia juga dicegah dari berbuat dosa-dosa di masa depan melalui taubat dan amal ibadah yang dilatih di bulan ini.

Hal ini juga kemudian menuntun pada makna ‘panas’ yang ketiga yaitu kehangatan hati yang dirasakan manusia kepada Khalik-nya dan kepada sesama manusia. Hal ini tentu karena fokus pada amal baik dan ibadah-ibadah yang dilaksanakan di bulan Ramadhan ini. Terlebih lagi karena kita sebagai manusia dilatih untuk menahan amarah, emosi, dan melepaskan segala kebencian, maka insyaallah bila kita bisa menjalaninya dengan baik dan diiringi limpahan karunia Allah Ta’ala, maka yang tertinggal di dalam diri hanyalah kehangatan cinta belaka. Cinta kepada manusia, dan tentunya cinta kepada Sang Khalik.

Bulan Ramadhan menyimpan makna dan nilai-nilai yang begitu luas dan dalam. Menelusurinya satu persatu, tak hanya akan memperluas pandangan dan wawasan keilmuan kita, terlebih lagi, memperluas hati dan meninggikan keimanan kita, insyaallah. Siapa menyangka sebuah nama, Ramadhan, yang akar katanya memiliki arti sederhana, panas, bisa menghadirkan keluasan sekaligus kedalaman makna.

Hanya dari memahami makna filosofis dari sebuah nama, kita bisa langsung memahami karunia dan hakikat yang bisa kita raih bila menjalani puasa dengan sebaik-baiknya.

Selamat berjumpa kembali dengan Ramadhan. Semoga Ramadhan kali ini, tahun ini, meski masih dalam suasana pandemi, bisa menjadi Ramadhan yang lebih bagi kita. Lebih bermakna, dinaungi kekhusyukan yang lebih dalam menjalaninya, dan meninggalkan keinginan yang lebih untuk bisa memperbaiki segala aspek dalam diri dan kehidupan kita. Aamiin Allaahumma Aamiin.

Referensi:
[1] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ramadan#:~:text=Kata%20Ramadan%20berasal%20dari%20akar,panas%20yang%20menghanguskan%20atau%20kekeringan.
[2] Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat terbitan Neratja Press tahun 2014
[3] https://doktersehat.com/tubuh-terasa-panas-saat-puasa/
[4] Sunan at-Tirmidzi, Kitab tentang shaum (puasa) bab fi fadhli syahr Ramadhan, 682
[5] Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz, 10 Juli 2015 di Masjid Baitul Futuh, London, UK.

Views: 324

4 thoughts on “Ramadhan, Keindahan Makna dalam Sebuah Nama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *