Sang Penentang yang Lebih Dulu Dipanggil-Nya

Lagi-lagi saya ingin bercerita tentang Mbah Sutinah atau yang akrab disapa Mbah Tinah. Janda sebatang kara yang hidup di pedalaman Papua. Tapi, kali ini saya ingin bercerita tentang perjalanan spiritualnya masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.

Suatu hari saya bersama suami juga anggota Jemaat berkunjung ke rumahnya. Mbah Tinah amat senang. Ia merasa tak sendiri lagi. Ia menyampaikan banyak manfaat yang beliau dapat setelah masuk Jemaat.

Yakni, ia semakin memahami bahwa hidupnya juga hartanya, sepenuhnya milik Allah Ta’ala. Oleh karenanya, tak butuh waktu lama Mbah Tinah sudah rajin bayar candah tiap bulannya.

Seiring waktu berjalan, masyarakat Jagebob mulai mengetahui kalau Simbah ikut bergabung dalam Jemaat. Mereka mulai datang ke rumah, menyampaikan bahwa Jemaat sesat, shalatnya tidak sama dan berbagai tuduhan lainnya.

Sebelum masuk Jemaat, orang-orang jarang sekali menengok. Ketika Simbah jatuh sakit dan sering tidur diluar takut kalau-kalau meninggal tidak ada orang yang tahu, mereka tak pernah mau tahu soal itu.

Makanya sangat mengherankan. Ketika Mbah Tinah masuk Jemaat, orang-orang mulai berdatangan seolah-olah tengah bersimpati kepada Simbah.

Pernah suatu hari, seorang ustadz dan juga pemuka agama yang sangat dihormati di Jagebob datang ke rumah. Ia menyampaikan dengan kata-kata dengan nada yang cukup keras sambil menakut-nakuti.

“Mbah, tidak takut kah masuk Jemaat? Nanti kalau Simbah mati siapa yang mau menshalatkan jenazah Simbah? Siapa yang mau angkat jenazah Simbah ke makam? Pak ustadmu loh tidak selamanya disini, bisa sewaktu-waktu pindah. Orang Jemaat disini juga jauh-jauh rumahnya terus sedikit juga, emang mau menyuruh orang Kurik (Pusat Jemaat di daerah Papua) untuk angkat jenazah Simbah?”

Ustadz tadi menutup provokasinya dengan sebuah ancaman yang membuat Mbah Tinah berubah fikiran tentang Jemaat, “Selama Simbah masih menjadi orang Jemaat Ahmadiyah, saya dan warga disini tidak akan mengurus Simbah apabila meninggal!”

Saat itu Mbah Tinah hanya bisa diam. Air matanya pun mulai mengalir deras. Simbah menyadari kondisinya yang sudah sakit-sakitan, tua renta, rumah juga jauh dengan tetangga dan anggota Jemaat lainya, kalau meninggal nanti bagaimana nasib saya? Pikir Simbah.

Sedikit banyak perkataan ustadz tersebut menggoyahkan imannya. Simbah mulai membatasi diri untuk ikut kegiatan Jemaat, dan mulai merasa tidak nyaman dengan kunjungan saya dan pak mubaligh. Bukan karena tidak suka dikunjungi, namun ada rasa kewatir banyak dilihat oleh warga.

Meskipun beliau tahu, para anggota Jemaat itu baik-baik, tapi yang dekat dengan rumahnya adalah warga kampung yang belum menerima Jemaat.

Sikap Simbah pun berubah tidak seperti biasanya, mungkin ini ujian keimanan ketika masuk ke dalam Jemaat. Allah tengah menguji keimanan Simbah dengan tidak membiarkannya selalu dalam kondisi tenang, tenteram dan bahagia.

Setiap ada kegiatan Jemaat, beliau akan mengeluarkan banyak alasan supaya tidak dijemput. Namun kami selalu datang ke rumah, kadang minta pijit supaya lebih lama ngobrol, atau hanya menanyakan kabar dan memberikan buah tangan.

Saat itu pak Mubaligh menanyakan, “Simbah kok sekarang jarang mau datang ke rumah, jarang ikut kegiatan atau jumatan lagi? apa simbah sakit? Atau ada masalah yang membebani fikiran Simbah?”

Hanya air mata yang bisa menjawab pertanyaan pak Mubaligh. Simbah bingung untuk menyampaikan permasalahannya. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk bercerita.

Saat itu, kami menyampaikan, “Mbah, namanya orang meninggal tidak harus selalu yang tua terlebih dahulu, bisa juga malah yang muda duluan, atau malah bisa juga pak ustadz duluan dari pada Simbah, meskipun memang usia beliau jauh di bawah simbah, tidak usah risau atau takut, Allah tidak akan menelantarkan seorang hamba yang berjalan di jalan-Nya”.

Nasehat ini senantiasa menjadi obat penawar bagi kegundahan hati Simbah. Beliau mulai aktif kembali dalam kegiatan-kegiatan Jemaat, sudah tidak begitu berlarut-arut memikirkan perkataan orang-orang dan pak ustadz.

Jam berputar, waktu berlalu, bulan berganti, sebuah kabar tersebar cepat dan ramai diperbincangkan oelh warga Jagebob. Kabar ini tentang keadaan pak ustadz yang belum lama ini memprovokasi Mbah Tinah.

Pak ustadz harus dirujuk ke kota karena berdasarkan diagnosa awal beliau menderita kanker paru-paru. Setelah 1 bulan dirawat, beliau meninggal di rumah sakit kota. Jarak antara kota dengan rumah beliau kurang lebih 130 Km.

Saat itu musim hujan, jalanan Jagebob sedang parah-parahnya. Jenazah beliau dibawa pulang dengan menggunakan mobil ambulance. Namun karena kondisi jalan yang rusak parah, lengket dan licin, mobil ambulans tertanam selama berjam-jam. Sudah didorong maju atau mundur oleh warga namun mobil tidak mau bergeser.

Akhirnya di cari jalan alternatif, mobil ambulans diderek menggunakan jonder (sejenis traktor mesin yang berukuran besar), baru mobil bisa terlepas dari lumpur. Jenazah sampai malam hari disertai hujan besar, angin dan petir.

Simbah menangis haru mengingat peristiwa itu, ternyata apa yang dikatakan pak Mubaligh benar adanya.

“Pak ustadz lebih mendahului saya menghadap Allah Ta’ala, secara otomatis tidak akan menshalati jenazah saya nantinya.”

Allah telah menzahirkan kebenaran Jemaat-Nya dalam peristiwa ini. Semata-mata untuk meneguhkan keimanan Mbah Tinah. Bahwa jangan pernah takut dengan ancaman-ancaman dunia seperti itu.

Penulis: Endah Fitri

Editor: Muhammad Nurdin

Visits: 44

Endah Fitri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *