TAK ADA KATA TERLAMBAT UNTUK MENJADI SEORANG AHMADI
Ini sungguh aneh kedengarannya. Aku baiat masuk menjadi Ahmadi bertahun-tahun yang lalu. Tapi kenyataannya, aku tak mengenal Ahmadiyah lebih dekat. Yang aku ketahui, Ahmadiyah sama dengan Islam pada umumnya.
Perbedaannya hanya pada pandangan konsep Imam Mahdi. Jemaat Ahmadiyah meyakini Imam Mahdi itu sudah datang dalam wujud pendiri Ahmadiyah, yaitu Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. Sementara penganut aliran Islam yang lain masih menunggu kedatangan Imam Mahdi. Itu yang kutahu tentang Ahmadiyah sehingga aku berbaiat.
Setelah itu tak ada yang mengenalkanku, mengajariku, dan membimbingku. Tak ada juga yang pernah mengajakku untuk mengikuti kegiatan-kegiatan jemaat. Maka kehidupanku pun berjalan seperti biasa.
Tuntutan ekonomi membuat hidup keluarga kecil kami terpisah. Sejak menikah, suamiku bekerja di kota Purwakarta dan aku tinggal dan bekerja di kota kelahiranku Jakarta. Kami bertemu minimal sekali di akhir pekan, Sabtu dan Minggu.
Terkadang jika suamiku tidak sibuk dan tidak capek, dia pulang ke Jakarta di pertengahan minggu. Jadi wajar kalau dia tak ada waktu mengenalkanku lebih dekat dengan Ahmadiyah.
Aku dan anak-anak berusaha pindah kerja ke kota Purwakarta agar bisa lebih dekat dengan suami. Begitu aku mendapat kerjaan di Purwakarta, tak lama kemudian suamiku dipindahkan ke kota Bandung. Usahaku agar kami bisa bersama tidak pernah terwujud. Tapi ini pilihan yang terbaik daripada suamiku dipindahkan ke Thailand.
Sampai pada suatu waktu, hidup kami yang tenang bagai air mengalir, dengan rutinitas tanpa masalah, tiba-tiba menjadi pecah bak gelombang besar menghempaskan ombaknya.
Aku ingat betul saat itu, kala anak-anak sudah tidur, suamiku bicara serius denganku. “Saya mau mengajukan cerai.”
Bagai terkena obat bius, aku seperti tak sadarkan diri, terbengong-bengong mendengarnya. Kucubit tanganku untuk memastikan apakah ini mimpi. Tapi ini tidak mimpi, ini nyata. Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya perasaanku mendengarnya. Bagai bom yang tersembunyi dan tak diketahui di mana letaknya, tiba-tiba meledak. Mengingat rumah tangga kami tanpa masalah.
Pelan dan hati-hati kutanya, “Ada apa? Ada wanita lain?” Suamiku lama terdiam. Mungkin berat juga baginya bicara. Saat itu hanya dia yang mengerti.
Aku tak memaksanya bicara, aku hanya diam menunggu. Akhirnya suamiku pun berkata, “Aku seorang Ahmadi, tapi rumah tanggaku jauh dari keluarga Ahmadi. Ibu tidak seperti keluarga Ahmadi lain. Batin saya tersiksa, Bu, punya keluarga jauh dari ajaran Ahmadiyah.”
Aku hanya terdiam mendengarnya. Aku coba introspeksi diriku sendiri. Perasaanku, aku hidup tidak jauh dari agamaku Islam. Aku pun paham Rukun Iman dan menjalankan Rukun Islam.
Aku menjalankan sholat lima waktu, sholat sunah, puasa, berzakat. Aku pun hidup dengan lebih banyak berbagi seperti yang diajarkan orangtuaku. Aku pun menghormati orangtua dan mertua. Hubunganku dengan semua saudara ipar pun harmonis. Demikian sebaliknya dengan suamiku terhadap keluargaku yang semuanya ghair.
Memang kalau puasa, aku dan anak-anakku taraweh di mesjid dekat rumah. Sementara suamiku di kota lain. Bahkan suamiku pun sering sholat subuh dan sholat jumat di mesjid dekat rumah kalau dia lagi di rumah. Apa yang salah dengan diriku? Lalu di mana letak salahku?
Pelan kukatakan, “Gimana aku mau mengenal Ahmadiyah? Bagaimana aku tahu kegiatan Ahmadiyah, kalau Bapak sendiri dan keluarga besar Bapak tidak mengajarkan, tidak pernah memberitahu, dan bahkan tidak memperkenalkanku dengan saudara-saudara seiman.”
“Kalau memang itu mau Bapak, silahkan. Tapi tolong jangan egois! Pikirkan anak anak, terutama jiwa mereka. Mereka masih sangat labil. Perpisahan ini apa tidak mengganggu jiwa mereka? Kita akan lebih berdosa jika kelak mereka menjadi anak broken home karena perpisahan ini.”
Tak sedikitpun aku takut akan ucapan suamiku, mengingat aku punya pekerjaan tetap. Aku mampu membiayai anak-anakku kalau seandainya hal terburuk terjadi. Yang kutakutkan hanya jiwa anak-anakku. Kasian mereka menjadi korban keegoisan orangtua.
Setelah menelaah ucapanku, rupanya suamiku menyadari dia tak dapat menyalahkanku sepenuhnya. Apa yang dia rasakan bukan kesalahanku semata. Pendek kata akhirnya kami berdua saling introspeksi diri dan berjanji memperbaiki diri. Suatu langkah yang baik untuk memperbaiki rumah tangga kami.
Masih kuingat, suatu hari suamiku mengajakku ke Maniis untuk mengikuti acara gabungan memperingati Hari Khilafat. Ini adalah kali pertama aku mengikuti acara Jemaat cabang Purwakarta.
Sesampainya di mesjid, suamiku menunjukan arah tempat wanita. Tapi baru aku turun dari mobil, Teh Nita menyambutku. Teh Nita adalah orang yang sangat kukenal karena suaminya berasal dari daerah yang sama dengan suamiku.
Teh Nita menyambutku dengan diiringi seorang wanita muda, ramah dan penuh kekeluargaan yang belakangan kutahu bernama Bu Ayu, istri Mubaligh Purwakarta saat itu.
Acara itu berbekas di hatiku. Aku seperti punya satu keluarga besar yang baru. Rasanya begitu hangat dan penuh kekeluargaan.
Sejak itulah aku jadi sering diajak suamiku ke rumah misi dan aku mulai mengenal saudara seimanku lebih jauh. Mereka begitu welcome, khususnya Bu Ayu. Dari sinilah aku tahu bahwa kami Jemaat Purwakarta kala itu, tidak mempunyai mesjid dan rumah misipun baru ada. Dahulu kegiatan sholat dan lainnya diadakan di rumah Pak Denim.
Jemaat kami, Cabang Purwakarta, sangat sedikit jumlah anggotanya. Tapi dari jumlahnya yang sedikit itu aku merasakan kekeluargaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bu Ayu dekat dengan anak-anak. Ia menempatkan diri seolah-olah kakak bagi mereka. Demikian juga dengan bungsuku. Ia dekat dengan Bu Ayu.
Di saat aku baru menemukan keluarga besar baru, Bu Ayu yang menjadi tempatku banyak belajar, tempat aku banyak bertanya dan orang yang sudah merangkulku dan anak-anakku, harus meninggalkan Purwakarta. Beliau harus mengikuti suaminya, Pak Mubaligh untuk ditugaskan di tempat yang baru.
Sedih tak terkira, karena beliaulah aku semakin dekat mengenal tentang Ahmadiyah. Tapi di saat itu pula justru beliau harus pergi. Mulai dari situ aku mengikuti kegiatan yang diadakan cabang jika waktuku tidak bentrok dengan pekerjaan.
Suamiku mulai senang melihat perubahanku. Aku pun merasa nyaman kemanapun aku pergi mengikuti acara Lajnah Imaillah. Tak perlu ijin yang berbelit, bahkan suamiku men-support dengan berinisiatif mengantarku jika acara itu di luar kota. Dari Jalsah, Ijtima Daerah, sampai Muawanah.
TV kabel juga kami ganti dengan parabola agar dapat menyaksikan MTA. Justru sekarang aku yang paling banyak mengingatkan suamiku jika ada acara MTA, khususnya MKH live.
Ada rasa kehilangan jika tidak mendengar nasihat Huzur. Khalifahku memang berwibawa dan kharismatik. Wajahnya yang teduh memberikan perasaan sejuk dan tenang bagi kami Jama’ahnya.
Kita sekarang berada dalam masa Khalifah yang Kelima, dan masa Kekhalifahan sudah berjalan selama 112 tahun. Khalifah adalah janji Allah Ta’ala pada orang yang beriman dan beramal saleh sesuai dengan Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 56.
Aku memang masih harus banyak belajar. Tak ada kata terlambat untuk lebih mengenal Hazrat Masih Mau’ud, para Khalifahnya, dan ajarannya. Yang unik semua anggota Jemaat patuh padanya. Inilah yang membuat pancaran kharisma beliau semakin kuat dan nyata terlihat dan begitu terasa.
Aku cuma berharap semua saudaraku yang seiman mau terus mengajariku dan menegurku jika aku salah. Aku ingin menjadi seorang Ahmadi yang istiqamah. Semoga niatku ini senantiasa mendapat ridho dan bimbingan dari-Nya. Aamiin Allaahumma Aamiin.
.
.
.
editor: Lisa Aviatun Nahar
Visits: 348
Aamiin YRA… Masya Allah 👍👍