TETAP MEMILIH MENJADI SEORANG AHMADI

Aku tak pernah membayangkan jalan hidupku akan jadi seperti ini. Demikian bahagia bukan karena gelimang harta. Tapi karena aku seorang Ahmadi. Yang merasa bergelimang karunia dari-Nya. Aku merasa aku tak pernah sendirian, meski di saat seluruh keluargaku meninggalkanku karena aku seorang Ahmadi.

Namaku Dewi. 22 tahun lalu aku hanya seorang mubayyiah baru, yang tak tahu banyak tentang Jemaat Ahmadiyah. Aku dipertemukan dengan suamiku secara kebetulan. Tapi, bukannya tidak ada yang kebetulan di dunia ini? Bukankah semua sudah dalam lingkup takdir-Nya?

Saat itu aku masih SMA di Sukabumi. Kebetulan pamanku mengadakan hajatan. Paman bekerja di Tangerang bersama seorang Khadim yang kini menjadi suamiku.

Datanglah khadim ini ke sukabumi karena undangan paman. Kamipun akhirnya berkenalan. Dia tertarik padaku. Tapi saat itu aku masih SMA. Masih polos, belum faham tentang hubungan antara lelaki dan perempuan. Maklum, aku anak gadis yang dibesarkan di kampung.

Tiga tahun hubungan kami berjalan hanya sebatas dekat. Komunikasi pun susah, karena zaman itu tidak secanggih sekarang.

Saat aku telah berusia 20 tahun, aku ditanya olehnya, mau menikah dengannya atau tidak? Tapi dengan syarat aku harus berbaiat dulu. Karena dia adalah seorang Ahmadi. Ia menjelaskan banyak hal bahwa Ahmadiyah adalah Islam dan sama dengan Islam pada umumnya. Akhirnya aku memutuskan untuk menerima pinangannya.

Aku baiat di usia 20 tahun, di masjid Bilal Sukabumi. Aku baiat di tangan bapak Mln. Ahmad Ilyas, saat itu beliau mubaligh yang bertugas di cabang Sukabumi.

Orang tuaku pun tak mempermasalahkan. Dan mereka setuju dengan pinangan suamiku. Siapa yang tak bangga, anak gadisnya dilamar oleh anak kota. Kami pun akhirnya menikah.

Aku langsung diboyong ke Jakarta. Aku sering ikut kegiatan Jemaat di cabang Kebayoran. Mertuaku demikian baik. Beliau banyak mengajari tentang Jemaat.

Hingga badai musibah datang. Mertuaku meninggal dunia. Suamiku yang merupakan anak bungsu juga kena PHK. Saat itu aku sudah memiliki 2 anak, perempuan dan laki-laki. Bingung tak tahu harus mengambil langkah apa? Berbekal uang PHK akhirnya kami memutuskan untuk pulang kampung ke Sukabumi.

Di kampung, akhirnya suamiku memutuskan untuk berternak dan bercocok tanam. Kebetulan hobinya membaca buku-buku tersebut. Alhamdulillah sukses jadi peternak di kampungku. Kesuksesan kami di kampung bukan didapat secara instans, butuh waktu 4 tahun lamanya.

Di tengah-tengah kelapangan rezeki itu, badai musibah datang melanda lagi. Kini, keimanan kami yang diuji.

Kami kan biasa shalat jumat di masjid Bilal Sukabumi. Selalu memisahkan diri dari masyarakat di tempat kami tinggal. Hingga hal ini membuat tetangga bertanya-tanya, mengapa aku dan suami tidak pernah shalat di masjid dekat rumah?

Warga kampung mulai menyelediki. Dan mereka tahu bahwa kami pengikut Ahmadiyah. Pihak-pihak yang tidak suka mulai menghasut keluargaku. Ayah, ibu dan semua keluarga besarku mulai terhasut.

Usaha suami lama-lama terpuruk. Anak-anak sering mendapatkan intimidasi dan hujatan kebencian. Hidup kami mulai tertekan karena hampir tak mendapat pembelaan.

Khawatir dengan mental anak-anak, suamiku memutuskan untuk kembali ke Jakarta tanpa persiapan apapun, tanpa membawa bekal yang banyak. Tak mau akidahnya diinjak-injak suamiku mengajak aku dan keluargaku untuk pindah lagi ke Tangerang.

Kami mengontrak di Paninggilan. Dekat dengan masjid Jemaat dan merupakan salah satu basis Jemaat Ahmadiyah di Tangerang.

Tentunya, tantangan selalu ada. Mengisi skenario baru dalam hidup. Tapi bukankah memang demikian adanya? Sebab iman merupakan khazanah. Ia bernilai setelah melewati serangkaian ujian.

Dan kami diuji kembali dengan siatuasi ekonomi yang tak pasti. Hidup di kota besar, tentu takkan pernah mudah untuk dilewati dengan berbagai dinamika sosialnya.

Tapi bagiku, yang kami butuhkan saat ini adalah ketenangan hidup. Anak-anak tak lagi mendapat tekanan psikis. Kini mereka hidup di lingkungan Jemaat. Itu sudah merupakan kekayaan yang tak ternilai. Meski saat itu, suamiku hanya bekerja dengan membuka jasa transleter dalam pembuatan skripsi.

Tapi, tak selamanya mendung berada langit. Suatu saat ia pun akan sirna. Begitulah juga dengan kami. Hingga suatu hari, suamiku mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan milik anggota Jemaat yang terkenal saat itu.

Kehidupan kamipun mulai membaik. Pada akhirnya, kami bisa membeli rumah. Meski kecil tapi cukup nyaman untuk kami berempat.

Dan yang paling kami syukuri adalah anak-anak bisa tumbuh dan berkembang di lingkungan Jemaat. Mereka kini jadi pengkhidmat agama yang siap mengorbankan jiwa, raga, harta, waktu dan kehormatannya untuk agama, nusa dan bangsa.

Terkadang, aku iri melihat keluarga lain yang silsilah keluarganya adalah Ahmadi. Sedangkan keluargaku di kampung? Mereka malah membenci Jemaat.

Tapi aku tak pernah kehilangan harapan. Aku selalu berdoa agar Allah Ta’ala membukakan pintu hati mereka. Komunikasi tetap kujaga. Kalau ada rezeki tak pernah lupa aku kirim untuk orang tua.

Dan keajaiban itu datang. Lambat laun sikap keluargaku mulai melunak. Mereka mulai bisa menerima kedatangan anak dan cucunya saat liburan ke Sukabumi.

Aku tak perduli akan harta warisan orangtuaku, karena ayahku pernah berujar kalau aku takkan mendapat warisan karena aku adalah seorang Ahmadi.

Tak mengapa. Karena harta bisa dicari, tetapi keyakinan akan kebenaran Imam Mahdi, tak bisa didapat dengan mudah. Perlu sebuah hidayah, campur tangan Allah Ta’ala. Menjadi Ahmadi adalah pilihan hidupku hingga aku menutup usia.

.

.

.

dituturkan langsung oleh: Dewi Suteja

penulis: Meilita Hikmawati

editor: Muhammad Nurdin

Visits: 44

Meilita Hikmawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *