Bela-Belaan, Apa yang Dibela ?

Beberapa hari ini pemberitaan kita diramaikan oleh isu terkait viralnya video pembakaran bendera yang bertuliskan Kalimah Tauhid oleh saudara-saudara kita dari Banser, tepat di acara peringatan Hari Santri Nasional (22/10/2018).

Peristiwa tersebut sontak menjadi perbincangan banyak pihak, banyak yang menentang dan banyak pandangan-pandangan bermunculan memberikan klarifikasi atas pemberitaan yang kepalang ramai tersebut.

Banyak pihak menganggap peristiwa pembakaran bendera bertuliskan tauhid itu sebagai bentuk penistaan agama, sebab kalimah tauhid yang ada pada bendera tersebut merupakan satu simbol luhur dan pondasi dari keislaman.

Atas sikap tersebut, maka banyak aksi digelar di berbagai kota bahkan di media sosial ramai hasutan agar pemerintah mengambil sikap, membubarkan organisasi sayap Nahdlatul Ulama tersebut.

Sikap responsif seperti ini bukanlah yang pertama kalinya. Sering kita lihat bagaimana masyarakat kita mudah terpancing suatu kabar dan cenderung cepat mengambil sikap untuk memprotes daripada mengedepankan rasa keingintahuan atas peristiwa yang sebenarnya terjadi atau bahkan bersabar untuk sekedar mendengar klarifikasi terlebih dahulu.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi di jalan Allah, maka lakukanlah tabayyun (telitilah)..” (Qs. An-Nis, 4:94)

Jika kita mengamati klarifikasi dari Banser, jelas bahwa peristiwa pembakaran bendera bertuliskan kalimah tauhid itu punya motif dan alasan. Pasalnya bendera yang bertuliskan kalimah tauhid tersebut identik dan memang dijadikan alat propaganda Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) –sebuah organisasi terlarang, dalam mengusung ide-ide politiknya.

Jadi peristiwa kemarin adalah pembakaran alat propaganda HTI, sebab mustahal Banser sengaja membakar kalimah tauhid padahal dalam acara-acara yang mereka gelar, di mesjid-mesjid dimana mereka berkumpul kalimah itu selalu ditinggikan.

Sejak 19 Juli 2017 lalu, pemerintah telah mencabut status badan hukum organisasi HTI. Alasan pencabutan tersebut adalah karena HTI tidak menjalankan asas, ciri dan sifat ormas yang termaktub dalam Undang-undang No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), yaitu “tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945”.

Dalam aktifitasnya HTI getol mendakwakan doktrin negara kekhalifahan kepada pengikutnya, salah satu alat propagandanya adalah Kalimah Tauhid yang mereka klaim sebagai dasar perjuangannya guna menutupi kepentingan politik pribadi mereka. Apa benar demikian? Coba alihkan pandangan anda pada negara-negara timur tengah yang mayoritas muslim, jika benar memang apa yang mereka usung adalah perjuangan Islam, mengapa kemudian partai mereka ditolak di negara-negara tersebut?

Jadi apa yang Banser lakukan dengan bersikap keras terhadap pergerakan HTI, sebagaimana terjadi pada peringatan Hari Santri yang lalu adalah sama dengan penolakan atas upaya penggunaan simbol-simbol keislaman untuk kepentingan politik makarnya HTI.

Hari ini kita saksikan, aksi penolakan atas apa yang telah Banser lakukan di Garut berlanjut. Di berbagai kota riuh orang berdatangan pada aksi yang diberi tema “Bela Tauhid”. Entah paham atau tidak spirit perjuangan yang didengungkan? Karena pada kenyataannya Kalimah Tauhid tidak lebih dimuliakan pada acara yang katanya “Bela Tauhid”.

Adakah motif lain dari pergerakan tersebut? Entahlah, Coba kalian tanyakan pada tiang-tiang bendera yang kini mulai terbengkalai. Sekalian tanyakan tentang simbol Tauhid yang kini pun ikut beruba berubah menjadi simbol the Jack?

Wal akhir, saya kutip komentar bijak dari KH. Mustofa Bisri yang sepatutnya menjadi sikap kita bersama;

Yang khilaf sudah menyadari kekhilafannya dan sudah meminta maaf. Duduk perkaranya sudah dijelaskan oleh pihak-pihak yang selayaknya menjelaskan. Penegak hukum sudah bergerak melaksanakan pa yang menjadi tugasnya. Apalagi? Sekarang berhentilah membakar-bakar yang tidak enak dibakar. Termasuk membakar emosi dan bendera. Nyamankan negeri kita bersama dan marilah berjamaah mencari ridhoNya.”

#DamaiIndonesiaku

Visits: 27

Muballigh at JAI | Website

Seorang Penulis, Muballigh dan pemerhati sosial. Tinggal di Pulau Tidung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *