APAKAH SHALAT TASBIH BAGIAN DARI SUNNAH RASUL?

Selain shalat tarawih, salah satu shalat yang mulai ramai diperbincangkan dan diamalkan di bulan suci ini adalah shalat tasbih. Bahkan, di sepuluh hari terakhir ramadhan, tepatnya di saat itikaf, shalat ini mulai ramai diamalkan.

Pertanyaan sederhananya adalah apakah shalat tasbih bagian dari Sunnah Rasul? Apakah Rasul tak pernah absen mengamalkannya?

Ini sangat menarik. Mengapa? Karena shalat ini cukup berbeda dari shalat pada umumnya. Dalam shalat ini, seseorang dalam tiap gerakannya harus membaca bacaan-bacaan tasbih sebanyak 15 dan 10 kali.

Sehingga shalat terasa sangat panjang. Bahkan bisa lebih panjang dari shalat tarawih yang kini diamalkan di tiap-tiap rumah, dengan surah-surah andalan “trikul” dan surah-surah semisalnya.

Baik, kita akan telusuri sejauh mana penyebutan shalat ini dalam Quran maupun Hadits.

Dalam Quran tidak ditemukan penyebutan mengenai shalat ini. Tak seperti tahajjud yang memang ada perintah mengenainya.

Sekarang kita beralih ke sumber hukum kedua, yakni Hadits. Berbicara hadits tak bisa lepas dari dua kitab Hadits paling otoritatif dan paling terpercaya, yakni Bukhari dan Muslim.

Bahkan, sebagian orang mempunyai anggapan, suatu amalan yang tidak diterangkan dalam dua kitab ini atau salah satu di antaranya, maka amalan tersebut secara praktis tertolak. Dalam artian, tidak bisa dikaitkan dengan Sunnah Rasul.

Rupanya, penyebutan soal shalat ini adalah dalam riwayat Abu Dawud di dalam sunannya. Terjadi perselisihan pendapat soal kesahihan hadits ini. Ada yang menganggapnya sahih, ada juga yang menganggapnya dha’if atau lemah.

Saya tuliskan matan haditsnya berikut ini:

Rasulullah bersabda kepada Abbas bin Abdul Muththalib, “Wahai Abbas, wahai pamanku, maukah engkau aku beri? Maukah engkau aku kasih? Maukah engkau aku beri hadiah? Maukah engkau aku ajari sepuluh sifat (pekerti)? Jika engkau melakukannya, Allah mengampuni dosamu; dosa yang awal dan yang akhir, dosa yang lama dan yang baru, dosa yang tidak disengaja dan yang disengaja, dosa yang kecil dan yang besar, dosa yang rahasia dan terang-terangan, sepuluh macam (dosa). Engkau shalat empat rakaat. Pada setiap rakaat engkau membaca al-Fatihah dan satu surat (al-Quran). Jika engkau telah selesai membaca (surat) pada awal rakaat, sementara engkau masih berdiri, engkau membaca, ‘Subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaaha illa Allah, wallahu akbar sebanyak 15 kali. Kemudian ruku’, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari ruku’, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau turun sujud, ketika sujud engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau bersujud, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Maka itulah 75 (dzikir) pada setiap satu rakaatnya. Engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Jika engkau mampu melakukan (shalat) itu setiap hari sekali, maka lakukanlah! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) setiap bulan sekali! Jika tidak, maka (lakukan) setiap tahun sekali! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) sekali dalam umurmu.”

Hadits yang cukup panjang. Tapi saya ingin menarik perhatian pembaca pada kalimat-kalimat berikut ini:

Jika engkau mampu melakukan (shalat) itu setiap hari sekali, maka lakukanlah! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) setiap bulan sekali! Jika tidak, maka (lakukan) setiap tahun sekali! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) sekali dalam umurmu.

Kalimat-kalimat ini menggambarkan betapa pentingnya mengamalkan shalat ini. Sampai dikatakan dengan standar yang paling lemah “Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) sekali dalam umurmu”.

Berarti, standar paling tinggi dari pengamalan shalat ini adalah setiap hari. Itu artinya, Rasul sebagai teladan dengan standar paling tinggi, mengamalkan shalat ini setiap hari. Bukankah demikian logika yang bisa diambil dari matan hadits tersebut?

Nah, kesulitan selanjutnya yang bakal semakin tak terpecahkan adalah sekiranya shalat ini amat penting dalam pandangan Rasul, harusnya Bukhari dan Muslim tidak akan melewatkannya dalam kitab-kitab hadits mereka.

Dan yang lebih aneh lagi adalah tidak ditemukan bahkan dalam hadits yang dha’if sekalipun bahwa Rasul pernah benar-benar mengamalkannya. Tidak ditemukan kesaksian para Sahabat bahwa mereka telah melihat Rasul mengamalkannya.

Begitu juga yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin. Tidak ditemukan satu riwayat pun bahwa para khulafa meneruskan amalan shalat tasbih ini.

Bahkan di kalangan tabi’ian juga tabi’at tabi’in juga tidak ditemukan pengamalan shalat ini. Sehingga memunculkan satu pertanyaan besar? Apakah shalat ini benar-benar datang dari Rasul?

Satu hal lagi yang sangat mengherankan. Sebab, tata cara shalat jauh berbeda dengan shalat-shalat lainnya. Bahkan, fokus seorang mukmin bakal terbagi kekhusyuannya, karena selain ia membaca bacaan-bacaan tasbih, ia pun perlu menghitung jumlah tasbihnya supaya tidak kurang.

Bagaimana kekhusyuan dan penghayatan dapat diraih, jika fikiran dan hati berfokus pada hitungan bacaan?

Sehingga, dari keterangan-keterangan di atas disimpulkan bahwa shalat tasbih tidak mungkin bagian dari amalan yang Rasul ajarkan sunnah beliau.

referensi: https://youtu.be/SRbhIQOLaV4

Visits: 80

Writer | Website

Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.

2 thoughts on “APAKAH SHALAT TASBIH BAGIAN DARI SUNNAH RASUL?

  1. Segala amalan yang ditentukan jumlah bacaannya, memang bisa mengalihkan fokus dan kekhusukan ibadah. Alih-alih ingin khusuk, malah pikiran terus mengingat-ingat “sudah berapa banyak jumlahnya?”

  2. Bingung juga klo seperti ini. Sementara bagaimana hukum hadist dho’if?? Kenapa sholat tasbih ini ada dalam tuntunan ibadah?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *