Harapan Yang Penuh Kemustahilan Menjadi Mungkin Dengan Doa

Saat seruan Ristanata, yakni sistem perjodohan dan Jemaat Ahmadiyah, yang mengharuskan seorang Ahmadi menikah dengan sesama Ahmadi sampai di telingaku, saat itu pula terpatri dalam hatiku bahwa aku harus menikah dengan seorang Khuddam (pemuda Ahmadi).

Karena kedudukanku sebagai Mubayin Baru, hal ini membuatku merasa seperti yatim piatu dalam Jemaat. Lagi, waktu itu Ristanata belum segencar seperti saat ini.

Seiring perjalanan waktu, usiaku pun terus bertambah. Tapi entah mengapa aku memiliki keyakinan sebelum usia 30 tahun aku pasti menikah.

Aku termasuk Lajnah yang “pro-aktif” dalam artian berani menanyakan atau meminta dikenalkan dengan Khuddam pada ibu-ibu LI yang sudah akrab.

Cita-citaku waktu itu ingin menjadi istri seorang mubaligh. Bahkan ada temanku yang mau mengenalkanku pada seorang mubaligh. Tapi waktu itu aku masih memiliki hubungan dengan Khuddam lain.

Setelah hubunganku kandas dengan Khuddam tersebut, sepupuku yang seorang mubaligh datang berkunjung ke rumah dan menanyakan padaku, “Teh, mau sama mubaligh?”

“Ya, mau,” jawabku cepat.

“Kalau begitu saya minta foto teteh, nanti saya berikan pada beliau,” pungkasnya.

Selang beberapa lama datang seorang Khuddam yang tak kukenal. Dia datang berbekal KTP dan KK yang dulu pernah kuberikan pada seorang Khuddam.

Waktu itu aku masih menunggu jawaban dari seorang mubaligh yang dicombangi oleh sepupuku. Tapi Khuddam ini sudah datang, jadi apa yang harus aku lakukan?

Tidak berapa lama surat dari sepupu datang yang isinya mengatakan bahwa hasil istikharah mubaligh itu bukan diriku. Kalau begitu aku harus menerima Khuddam ini.

Sebelum itu, aku berdoa kepada Allah Ta’ala agar mendatangkan jodoh untukku. Tapi aku tak menyangka kalau pengabulan doa itu begitu cepat.

Aku tidak meminta yang kaya, ganteng atau dari keturunan ningrat. Aku hanya meminta yang bisa menjadi imamku dan siap mengkhidmati agama-Nya. Akhirnya Allah mengirim Khuddam tersebut yang kini jadi suamiku.

Singkat cerita kami menikah. Sebenarnya hati kecil ini masih mengharapkan kalau aku menjadi istri mubaligh. Tapi sekarang tak mungkin.

“Mungkin ladang pahala lain yang harus kujalani,” pikirku dalam hati untuk meredakan kekecewaan diri.

Empat belas tahun pun berlalu. Dan di tahun 2018, Allah Ta’ala akhirnya mengabulkan doaku. Sebuah doa dan harapan yang penuh kemustahilan. Tapi Takdir-Nya berkata lain. Dia mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Tepatnya di bulan September 2018 datanglah SK Pengangkatan suamiku sebagai seorang mubaligh. Segala rasa bercampur, bahagia, haru dan entah apalagi yang tak dapat dilukiskan sekaligus rasa tak percaya.

Sontak hal ini membuat kami lebih meyakini keterkabulan doa. Kami meyakini bahwa doa dapat mengubah hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, sesulit apapun keadaannya. Seperti yang telah diwahyukan dalam Al-Quran di Surat Al-Baqarah ayat 187, yang artinya:

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku. Maka hendaknya mereka menyambut seruan-Ku dan beriman kepada-Ku agar mendapatkan kebenaran.”

Hits: 236

Erah Sahiba

1 thought on “Harapan Yang Penuh Kemustahilan Menjadi Mungkin Dengan Doa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories