KAMU MUDIK KEMANA?

Ramadhan tanpa mudik, yah layaknya berbuka tanpa kurma. Gak apa-apa juga kalau gak mudik, tapi serasa ada yang kurang. Gak jadi masalah, berapapun biaya yang keluar, yang penting mudik. Gak masalah juga kalau cuma bisa bawa biskuit Khong Guan, yang penting pulang sejenak menikmati aroma kehidupan yang benar-benar hidup.

Mudik bukan tanpa resiko. Biaya jelas. Nyawa? Pandemi corona membuat mudik amat beresiko sekali. Pemudik tahu ini. Tapi, mudik sudah menjadi ibadah yang setara dengan ibadah Haji. Pergi mudik bila mampu. Bahkan jika tak mampu pun, kadang memaksakan diri.

Jama’ah mudikiyyah bahkan ada yang nekat menembus razia covid-19 dengan segala cara. Hanya untuk menikmati aroma kampung halaman yang menyegarkan. Mereka tak pernah berfikir gimana-gimananya nanti.

Bandara mulai sesak. Surat izin-surat izin abal-abal merajalela. Segala cara ditempuh untuk merasakan sebuah kemenangan yang makin sempurna jika berhasil menginjakkan kaki di kampung halaman.

Singkat cerita. Mudik telah menjadi “ibadah nafal” yang membuat ramadhan semakin manis untuk dikenang.

Sebenarnya, mudik dan Idul Fitri atau lebaran mempunyai “kedekatan” makna. ‘Id kan artinya “kembali”. Dan mudik adalah kembali, yah kembali ke kampung halaman. Jadi, mudik dan lebaran mempunyai visi yang sama.

Seorang hamba Allah, dalam bulan ramadan, mempunyai dua kesempatan untuk “kembali”. Pertama, kembali kepada “fitrah”-nya dan kedua, kembali ke “kampung halaman”-nya.

Dan saya rasa, untuk mudik ke kampung halaman bukanlah perkara yang sulit. Tentu sebelum corona menyerang. Sebab, masalah mudik ke kampung syarat utamanya cuma satu, kita punya kampung atau tidak? Kita kaum urban atau tidak? Lalu, kita hanya tinggal menabung tiap bulan, tentu dengan sedikit menghemat pengeluaran. Mencari tiket jauh-jauh hari. Dan, stoples kaleng Khong Guan. Harus berisi biskuit yah, sebab kalau isi rengginang, itu tanda “arus balik”.

Perkara yang sulit sebenarnya adalah: Bagaimana dengan “mudik” kita, kembali kepada “fitrah”? Tentu, masalah mudik kepada fitrah tidak bisa selesai dengan 2,75 kg beras bukan? Itu terlalu sepele untuk sebuah tujuan akhir dari ramadhan, yakni Kembali kepada Fitrah.

Berjuta-juta rupiah kita bisa jadi korbankan untuk memenuhi “semacam” ibadah tahunan kita, yaitu mudik. Lalu, hanya dengan 2,75 kg beras, yang kira-kira sekitar 35ribu-an itu, kita beranggapan kita telah sukses meraih “maqam”: Kembali kepada Fitrah? Duhh… Murah sekali harga yang kita tawarkan kepada Tuhan.

‘Kembali kepada Fitrah’ mempunyai pesan agung bahwa manusia diharapkan “mudik” menuju fitrat-nya yang luhur, yang sebaik-baiknya ciptaan, yah “ahsani takwim”. Di atas sifat-sifat Allah lah fitrat manusia diciptakan. Itulah sebabnya manusia dikatakan ‘abdun, hamba. Hamba yang mampu meng-copy paste sifat-sifat Ilahi dalam dirinya.

Hanya manusia yang mampu melakukan itu dibanding makhluk Tuhan lainnya. Sebab, manusia memang diciptakan dengan potensi (fitrat) itu.

Nah, sanggupkah kita kembali kepada potensi-potensi tersebut? Saat kita mampu mengasihi dan menyayangi siapapun itu, sebagaimana Tuhan tak pernah membatasi kasih sayang-Nya ke semua makhluk-Nya.

Atau, saat kita mampu memaafkan siapapun, sebagaimana Dia selalu memaafkan setiap dosa hamba-hamba-Nya, termasuk kita, sekumpulan manusia yang tak ada habis-habisnya berbuat salah dan dosa.

Atau, saat kita mampu menutupi kesalahan (aib) orang lain, bukan malah mengumbarnya, sebagaimana Dia selalu saja menutupi keburukan dan kedurhakaan kita, meski kita tahu, Dia sangat Kuasa untuk membukanya.

Idul Fitri mempunyai pesan PERUBAHAN. Tentu, perubahan menuju suatu keadaan yang lebih baik. Sanggupkah kita MUDIK dari kebiasaan buruk kita untuk kembali kepada fitrat paling murni dari seorang manusia? Itulah pesan yang terdapat dalam ibadah puasa ramadhan.

Itulah MUDIK yang hakiki. Yang makin kabur saat “mudik” yang lain datang di hari-hari terakhir ramadhan. Padahal di hari-hari itu dijanjikan: Sebuah Kebebasan dari Api Neraka.

Jadi,

Kamu mudik kemana?

Visits: 47

Writer | Website

Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *