Ketakwaan Sebagai Tolok Ukur Kehormatan

“Kita ini, kan, manusia, ya. Tidak ada satu ciri khusus yang menunjukkan bahwa kita ini Muslim apa bukan, kecuali mungkin tingkah laku kita,” kalimat yang disampaikan salah seorang komedian berasal dari Wakatobi berdarah Indonesia Timur ini terasa begitu sarat akan pesan moral, terlebih bagi para netizen yang sering kali hanyut dalam kicauan panas yang berakhir pada konflik. Berawal dari saling sindir, berlanjut dengan melontarkan kalimat yang tak pantas, hingga sanggup menjadikan dirinya sebagai hakim untuk memberi penilaian buruk pada orang lain. 

Pada bagian lain dari dialog tersebut sang komedian berkata, “Sampai meninggal saya tidak akan jadi Mualaf.” Sontak saja cuitan tersebut menjadi umpatan para netizen yang menyangka bahwa sang komedian adalah seorang non-Muslim. Padahal sejak dilahirkan pun statusnya adalah seorang Muslim yang tidak akan mungkin menjadi mualaf karena memang sudah lahir sebagai seorang Muslim. 

Mungkin hal ini disebabkan sempitnya sudut pandang sebagian besar masyarakat negeri ini yang kerap menilai orang lain dari segi tampilan luarnya saja. Hanya karena melihat tampilan fisik yang dinilai tak agamis, pikiran paradoks yang selalu menganggap masyarakat dari suku dan ras tertentu itu kebanyakan non-Muslim, maka serta-merta menyamakan identitas dan kedudukan setiap orang sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. 

Bahkan tak jarang kita temukan di berbagai tempat di belahan bumi ini, orang-orang tak berdosa menjadi korban pertikaian hanya karena perselisihan antaretnis. Ada satu kelompok yang merasa sangat mendominasi, merasa kedudukan dari suku atau etnisnya harus sangat dihormati, hingga menganggap rendah kaum lain dan tak layak berdiri sama tinggi. 

Dalam Islam Allah SWT telah menjelaskan secara terang benderang dalam Al Qur’an, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorangnya laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS. Al-Ḥujurāt: 13) 

Allah dengan Kekuasaan-Nya menciptakan manusia dalam berbagai bangsa dan suku dengan tujuan agar semua manusia dapat saling mengenal bukan untuk saling mencela hingga menimbulkan kerusuhan dan perpecahan. Tidak ada perbedaan kedudukan antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya. Tidak ada keistimewaan manusia yang tinggal di belahan bumi Timur dari mereka yang berdiam di belahan bumi Barat. Semuanya sama dalam pandangan Allah Ta’ala.

Sebuah peristiwa besar yang tak akan lekang oleh sejarah menjadi saksi betapa luar biasa kebijaksanaan yang ditunjukkan oleh Nabi suci Hz. Muhammad SAW dalam menjaga umat beliau dari perselisihan meski berasal dari suku dan kedudukan duniawi yang berbeda. 

Saat Fatah Mekah, Hz. Rasulullah SAW menyerahkan Panji Islam kepada Hz. Abu Ruwaihah ra. yang telah mengikat tali persaudaraan dengan Hz. Bilal ra. seorang budak Negro yang pada masa awal penyebaran Islam menjadi sasaran penyiksaan pemuka kaum Quraisy Mekah yang tidak menyukai Islam. Terlebih lagi, Hz. Bilal r.a hanyalah seorang budak yang bukan berasal dari bangsa Arab. 

Saat akan memasuki kota Mekah, Hz. Rasulullah SAW meminta Hz. Bilal r.a berdiri di depan Hz. Abu Ruwaihah r.a untuk menawarkan perdamaian dan menjamin keselamatan kaum Mekah yang mau berdiri di bawah panji Islam yang berada di tangan Hz. Abu Ruwaihah r.a.

Ada keindahan dan daya pesona luar biasa dari peristiwa ini. Kita dapat membayangkan Hz. Bilal r.a berjalan di hadapan kaum Mekah yang dulu menyiksa dan menganggap rendah beliau. Terbuka luas kesempatan untuk membalaskan rasa sakit atas ketidakadilan dan kekerasan yang pernah beliau alami. Namun, ketinggian ajaran Islam telah menghiasi relung hati Hz. Bilal r.a. Rasa sakit itu dibalas dengan tawaran perdamaian dan mengakhiri semua pertikaian. 

Demikianlah sejatinya sikap dari seorang Muttaki. Sebagaimana pesan indah pendiri Jamaah Ahmadiyah, Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s untuk semua umat Islam di dunia ini, “Bukanlah ciri khas orang mutaki (bertakwa) bahwa mereka terlibat dalam perselisihan antar-etnis, sebab Allah Ta’ala telah memutuskan, bahwa bagi-Nya status suku bangsa (etnis) tidak mempunyai arti apa-apa, sebab yang dapat menimbulkan kehormatan dan kebesaran sejati hanyalah ketakwaan.” (Hz. Masih Mau’ud a.s.)

Membatasi diri dari segala bentuk pertikaian adalah sebuah kewajiban. Jangan mudah tersulut api kemarahan hanya karena menganggap suku atau ras tertentu lebih baik dari yang lainnya. Allah yang lebih tahu, hitam putihnya jiwa seseorang dari tingkat ketakwaannya, tanpa memandang asal suku dan  ras mereka. Tanpa melihat gelap atau terang warna kulitnya, tinggi atau rendah derajat duniawinya. Saat ketakwaan yang menjadi ukuran, maka pandangan dunia tak lagi berarti apa-apa di mata Allah Ta’ala.

Hits: 222

Aisyah Begum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories