Keterikatan Ilmu dan Amal
Kita seringkali memuji seseorang yang sikapnya lemah lembut, tak pernah marah, senantiasa menampilkan kesabaran yang tanpa batas, bagaimanapun keadaannya. Tapi benarkah sikap-sikap semacam ini harus ditampilkan sedemikian rupa sehingga seolah-olah segala sikap yang dipandang bertentangan harus disingkirkan?
Kenyataannya, bahkan seorang nabi yang sempurna seperti Hadhrat Rasulullah saw. pun pernah menunjukkan kemarahannya. Alkisah, suatu hari Hadhrat ‘Umar r.a. dan Hadhrat Abu Bakar r.a. saling berselisih dalam suatu hal. Perselisihan ini semakin meningkat. Hadhrat ‘Umar r.a. memiliki tabiat yang keras. Maka dari itu, Hadhrat Abu Bakar r.a. berpikir lebih baik jika beliau beranjak dari tempat itu supaya perselisihan itu tidak memanas.
Tatkala Hadhrat Abu Bakar r.a. berupaya untuk pergi, Hadhrat ‘Umar r.a. maju ke depan dan memegang kemeja beliau sembari meminta untuk menjawab ucapannya. Ketika Hadhrat Abu Bakar r.a. berupaya melepaskannya, kemeja beliau robek. Hadhrat Abu Bakar r.a. pun pulang ke rumah beliau.
Tetapi, Hadhrat ‘Umar r.a. meragukan dan berpikir Hadhrat Abu Bakar r.a. akan pergi mengadu kepada Rasulullah saw. Hadhrat ‘Umar r.a. pun membuntuti dari belakang supaya ia pun dapat menyampaikan alasannya di hadapan Rasulullah saw. Tapi, jejak Hadhrat Abu Bakar r.a. hilang dari pandangan Hadhrat ‘Umar r.a.
Hadhrat ‘Umar r.a. menganggap Hadhrat Abu Bakar r.a. pergi mengadu kepada Rasulullah saw. sehingga ia pun langsung menghadap kepada Rasulullah saw. Ketika tiba di sana, ia tidak melihat Hadhrat Abu Bakar r.a. Tetapi karena di dalam hatinya telah muncul penyesalan, maka dari itu ia berkata, “Wahai Rasulullah saw., saya telah melakukan kesalahan. Saya telah berlaku keras kepada Hadhrat Abu Bakar r.a. Hadhrat Abu Bakar r.a. tidak salah apapun dan sayalah yang salah.”
Tatkala Hadhrat ‘Umar r.a. tampak ada di hadapan Rasulullah saw., maka seseorang pergi menemui Hadhrat Abu Bakar r.a. untuk menyampaikan bahwa Hadhrat ‘Umar r.a. pergi ke hadapan Rasulullah saw. untuk mengadu tentang Hadhrat Abu Bakar r.a. Di dalam hati Hadhrat Abu Bakar r.a. timbul pemikiran bahwa beliau pun hendaknya pergi untuk membersihkan nama beliau dan supaya tidak menjadi kesimpulan sepihak dan beliau pun ingin mengungkapkan pandangan beliau.
Ketika Hadhrat Abu Bakar r.a. tiba di majelis Rasulullah saw., saat itu Hadhrat ‘Umar r.a. tengah menyampaikan, “Wahai Rasulullah saw., saya telah salah. Saya telah berselisih dengan Abu Bakar r.a., dan kemejanya telah robek akibat saya.” Tatkala Rasulullah saw. mendengar ini, maka muncul rona marah di wajah beliau.
Beliau saw. bersabda, “Wahai segenap manusia! Apa yang terjadi padamu? Tatkala seluruh dunia dahulu mengingkariku, dan engkau pun memusuhiku, di saat itu Abu Bakar-lah yang mengimaniku dan menolongku dalam setiap coraknya.” Kemudian beliau saw. bersabda seraya sedih, “Apakah sekarang ini pun engkau tidak meninggalkanku dan Abu Bakar?” Beliau tengah bersabda demikian tatkala Hadhrat Abu Bakar r.a. masuk.
Hadhrat Rasulullah saw. begitu mencintai Hadhrat Abu Bakar r.a. sehingga beliau saw. tidak rela ketika beliau r.a. mengalami keburukan. Kemarahan yang beliau tunjukkan adalah bentuk kasih sayang, bukan kemarahan yang merugikan. Kemarahan beliau saw. hadir untuk menyadarkan orang lain agar menghormati Hadhrat Abu Bakar r.a. sebagai orang yang begitu dikasihi Hadhrat Rasulullah saw. karena kesetiaannya di sisi Rasulullah saw. dalam keadaan apapun.
Kemarahan, ketika ditunjukkan di situasi dan tempat yang tepat, adalah bentuk akhlak. Karena emosi kemarahan itu adalah fitrah manusia, sudah ditanamkan Allah Ta’ala di dalam diri manusia. Dan Islam hadir untuk mengarahkan manusia agar mampu mengelola dan menempatkan potensi alaminya di tempat dan situasi yang tepat. Dan amalan-amalan semacam ini tidak akan bisa dilakukan bila manusia tak memiliki ilmu tentangnya.
Karena itulah Allah Ta’ala menurunkan Al-Qur’an sebagai panduan hidup dan jalan manusia. Karena sebagaimana yang disampaikan Hadhrat Abu Bakar r.a., “Tanpa ilmu, amal itu tidak ada gunanya. Sedangkan ilmu tanpa amal adalah hal yang sia-sia.” Segala potensi alami manusia, bila ditampilkan tanpa pertimbangan akal dan ilmu, hanya akan menjadi amalan yang tak berguna, bahkan lebih buruk lagi, bisa menimbulkan kerusakan.
Begitu pula, ilmu yang hanya sekadar ilmu tanpa diamalkan hanyalah kesia-siaan, omong kosong belaka. Karena Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menyampaikan di dalam bukunya Filsafat Ajaran Islam, “Sekadar memiliki ilmu yang memenuhi hati dan otak tidaklah berarti apa-apa. Justru pada hakikatnya ilmu adalah sesuatu yang turun dari otak lalu memberikan budaya serta warna kepada segenap bagian tubuh, dan mewujudkan seluruh ingatan dalam bentuk amal. Jadi, sarana untuk memperkokoh ilmu dan untuk mengembangkannya ialah menuangkan ilmu itu ke dalam seluruh bagian tubuh dalam bentuk amalan.” (Hlm. 211)
Secara singkat dan paripurna beliau a.s. menyatakan, “Tidak ada ilmu yang paling rendah sekali pun dapat mencapai kesempurnaannya tanpa penerapan secara amal” (Hlm. 211).
Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa ilmu dan amal saling terikat satu sama lain. Keberadaan yang satu harus selalu berdampingan dengan yang lainnya. Keberadaan ilmu harus selalu beriringan dengan keberadaan amal. Keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi. Karena baik amal tanpa ilmu atau sebaliknya, ilmu tanpa amal, keduanya adalah ketiadaan guna, kesia-siaan, bahkan bisa menimbulkan kerusakan.
Visits: 219