KETIKA AKU MENGABAIKAN CANDAH
Dulu, dulu sekali sekitar bulan Oktober di tahun 2005 aku baru merasakan bayar Candah pertama kalinya, karena biasanya Ibuku yang membayarnya saat aku masih bersekolah. Tapi tahun ini aku sudah mulai bekerja dan mendapat gaji yang kedua kalinya.
Kakakku tak pernah lelah mengingatkanku untuk selalu membayar Candah. Awal-awalnya aku merasa sangat keberatan karena mungkin uang gajiku merasa berkurang dan sudah keenakan terbayarkan oleh ibuku, tapi berkat usaha kakakku yang selalu berkata:
“Sisihkan uangmu biarpun cuma sedikit untuk candahmu, agar gajimu bertambah dan mendapat keberkatan dari Allah swt.”
Akhirnya lama berfikir ada kebimbangan juga dalam hatiku. Selalu teringat kata-kata itu dan aku pun mulai membayarnya.
Terlebih saat mendengar cerita dari seorang Lajnah bahwa ada seorang ibu mempunyai 3 orang anak yang semuanya bersekolah dan sedang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kita tak bisa membayangkan betapa sulitnya masa-masa itu untuk kebutuhan sehari-harinya juga, disaat waktu bayar candah habis tiba di tanggal 20 datanglah “juru pungut” dan menyampaikan perihal candah.
“Maaf ibu ini sudah tanggal akhir pembayaran candah, apa ibu mau bayar candah bulan ini?”
Si ibu pun menjawab, “Maaf bu, saya tidak bayar candah untuk bulan ini, karena uangnya habis untuk anak-anak membiayai semesteran dan lainnya.”
Dan apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Anak-anaknya tidak naik kelas padahal menurut kesehariannya anak-anaknya itu termasuk pintar.
Setelah aku mendengar cerita kisah ibu itu, aku semakin mantap dan dawam lah menyisihkan sekian persen untuk hak Allah Ta’ala.
Dan selang beberapa bulan setelah lancar membayar candah. Keimananku kembali diuji.
Tahrik Jadid, Aku merasa gusar.
“Huhhh… Bayaran apalagi sih harus ada janji-janji segala,” maksudnya, candah saja sudah membuat uang gajiku berkurang ditambah lagi ini. Karena yang aku ketahui sesuatu yang sudah janji apapun itu kita harus ditepati.
Pada akhirnya, meski dengan berat hati aku mencoba berjanji. Kebetulan semua anggota telah ikut berjanji dan hanya aku yang belum. Akupun mulai berjanji. Saat bulan ramadhan ada perasaan takut tidak dapat melunasi. Tapi Alhamdulillah aku selalu Lunas di saat bulan Ramadhan. Ada rasa bangga, bahagia juga puas disaat aku bisa sampai ke titik itu. Dan akupun mulai ketagihan untuk terus melakukan pengorbanan harta.
Tak terasa sampai saatnya di tahun 2011 aku pun mulai bekerja di tempat baru dan mendapat seorang bos perempuan yang baik hati dan mementingkan kesejahteraan karyawannya. Dengan gaji yang lumayan aku pun bisa memenuhi kebutuhanku dan membeli ini itu.
Setelah selang beberapa bulan kerja disitu, aku pun berkeinginan mempunyai sepeda motor dengan sistem kredit. Aku pikir dengan tabunganku cukup untuk membayar uang muka yang lebih besar supaya angsuran perbulannya sedikit dan cepat lunas.
Di titik ini, aku mulai mengabaikan candah. Tentu ini semua karena keimananku yang masih lemah dan kalah oleh obsesi ingin segera memiliki motor. Aku pun tidak membayar candah di bulan itu, karena jika uangnya dibayarkan candah maka uang muka berkurang, dan aku harus menunggu bulan berikutnya untuk ambil motor.
Menyadari keimananku mulai kendor aku pun memutuskan untuk merapel candah di bulan berikutnya. Padahal melalui sambungan telepon bapakku sudah mengingakan
“Jangan lupa bayar candahnya Nak ini sudah mulai batas akhir.”
Aku jawab, “Dirapel aja Pak bulan depan, uangnya habis buat DP motor.”
Bapakku cuma membalas dengan ucapan, “Astaghfirullahhaladzim…” Telpon pun ditutup.
Hari-hari berlalu dengan kesibukan di tempat kerjaku. Tiba-tiba ada suara telepon berdering hingga aku bergegas mengangkatnya. Saat aku hendak mengambilnya ternyata sudah diangkat bosku dan tanpa sengaja aku mendengarkan percakapannya, ada rasa bertanya-tanya seperti yang beliau bicarakan di telpon tadi bahwa akan ada pemecatan sepihak pada karyawan kontrak.
Aku pun bergegas lari ke lantai 3 menghampiri teman dekatku yang sudah karyawan untuk menanyakan perihal tadi benar tidaknya. Teman ku pun “mengiyakan” ucapanku walau masih simpang siur kabarnya.
Di situ aku masih kelihatan tegar masih bisa ketawa bercanda seolah-olah tidak ada kabar apa-apa mendapat jawaban itu, tapi dalam hatiku saat itu juga aku mulai berkecamuk, resah, bingung,”Semoga itu tidak akan terjadi, semoga itu hanya wacana dan semoga baik-baik saja,” gumamku dalam hati.
Keseharian di tempat kerja bosku biasa saja, ia pun tidak memperlihatkan pada karyawannya jika sedang pelik. Saat kita ngobrol santai pun biasa saja sehingga kita bekerja pun seperti biasa setiap harinya.
Dan di suatu hari namaku di panggil ke ruangannya waktu itu aku habis keluar. Ada apa ya?
Di saat yang lain dipanggil namanya aku tidak tahu karena aku sedang berada di luar. Kebetulan aku menjadi yang terakhir karena pas dipanggil aku sedang tidak berada di tempat.
Masuklah aku keruangannya. Ia menyodorkan amplop juga kertas selembar, pikirku karena waktu itu pas bulan Ramadhan uang THRnya sudah cair. Rasa deg-degan serta sumringah senyum-senyum sendiri. Bosku mulai menyuruh untuk membuka Amplopnya.
“Jangan dipegangi mulu uang nya gak lari ko,” ucapnya.
Akhirnya aku baca baris demi baris disaat itu juga aku menunduk tak berani tanpa melepas pandanganku pada tulisan itu. Biarpun saat itu aku tidak menangis secara nyata tapi hatiku menangis dan berteriak sambil beristighfar tak henti-hentinya.
Bosku menyampaikan ucapan permintaan maaf, seolah-olah aku tak mendengarkan apa yang beliau katakan, aku seperti orang linglung cuma bisa jawab “Iya” lalu balik kanan.
Aku langsung menyendiri membuka kembali kertas itu dan membacanya kata demi kata, seolah-olah akan ada keajaiban dari Tuhan untuk merubah isian nya.
Tapi semua itu hanyalah angan-angan semata, semua sama seperti awal tak ada yang berubah satu huruf pun. Aku di-PHK.
Di situ aku mulai putus asa memikirkan apa yang akan terjadi bulan depan tuk membayar cicilanku, tidak mungkin membebani kedua orang tuaku, di situ aku nangis sejadi-jadinya memohon ampun pada Tuhan atas segala kekhilafan yang telah disengaja.
Aku lalai dalam candah. Aku terlalu nafsu dan silau urusan dunia. Saat itu juga aku menyadari bahwa kejadian waktu itu adalah teguran dari Allah Ta’ala.
Aku langsung menelpon bapakku dan meminta maaf. Aku ceritakan semua walaupun ada sedikit yang kusembunyikan hingga saat ini, bapakku pun berkata “Coba kemarin untuk lebih mendengar lagi ucapan bapak. Ya sudah buat pelajaran kamu saja kedepannya,” dengan nada antara marah dan sedih.
Di situ aku pun mendapatkan pelajaran juga pengalaman yang tidak akan aku lupakan atas pentingnya kita membayar candah secara dawam. Karena kita tidak tahu, dengan cara bagaimana Allah akan mengambil paksa hak-Nya atas setiap rezeki yang Dia berikan kepada kita.
.
.
.
editor: Muhammad Nurdin
Visits: 248
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuhu… semoga kedepannya selalu Istiqomah dlm membayar candah ya ..emang terkadang ujian dan godaan setan selalu datang..jgnkan yg masih permulaan..kami yg sdh berwasiyat saja kadang Mash lalai. .
Allah masih sayang, makanya langsung diuji dan langsung sadar. Yang lebih ngeri adalah kalo dibiarkan saja sm Allah, meski melakukan kekhilafan, hidupnya justru malah lebih baik dan sukses, kesombongan dan penyakit hati lain bertambah, hingga tiba hari penghisaban. Naudzubillah.