Kewafatan Bapak Amir Nasional dan Duka Mendalam Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Sabtu sore itu, saat kawasan Jakarta Selatan diguyur hujan lebat. Mubalighin DKI Jakarta baru saja mengakhiri undangan perpisahan dengan Mln. Iskandar Gumay yang akan bertugas ke Bandung.

Saat itu kami hendak kembali ke Masjid Jemaat Kebayoran. Satu bentuk perasaan gembira sedang menggelayut di hati kami. Meski acara perpisahan, kami ingin menutupnya dengan semangat membuka lembaran baru untuk kemajuan Ibukota kedepannya.

Tiba-tiba sebuah ponsel berdering. Salah seorang diantara kami mengangkatnya. Rupanya istrinya menelpon. Tiba-tiba langkah kami terhenti. Ponsel ditutup. Kegembiraan terenggut.

“Pak Amir meninggal,” katanya singkat.

Langit serasa rebah. Mendung makin menggulita. Rintik hujan yang mendenting membentuk sunyi. Kami saling diam. Lidah terasa kelu untuk mengungkapkan satu kalimat paling belasungkawa sekalipun.

Kami masuk ke mobil masih dalam keadaan terdiam. Jalanan kota serasa kosong, meski saat itu ramai sekali. Memang benar, kesedihan itu membingungkan. Kami tidak tahu harus berbuat apa. Setiap kami pasti punya pengalaman paling mengesankan dengan Almarhum. Tapi, saat itu, setiap kami tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Sampailah di masjid. Satu bentuk obrolan memecah sunyi. Salah seorang diantara kami mengusulkan.

“Yuk kita ke Markaz.”

“Hayu,” semua menyambut tanpa jeda. Satu tarikan kecintaan membuat kami memutuskan untuk menembus barisan hujan.

Saat dalam mobil. Pikiran saya tak kuasa mengenang Almarhum. Setiap kita yang pernah mengalami perjumpaan dengan beliau pasti merasakan hal serupa. Apalagi, pengalaman itu mengesankan dan spesial.

Saya langsung mengambil ponsel. Menancapkan headset di atasnya. Lalu memutar playlist nazm. Sendu sekali. Nurani serasa ambruk. Sebaris pilu makin mengisi relung hati yang terasa makin rapuh.

Dan kenangan indah mewujud kembali. Kenangan yang bukan sekedar kenangan. Kenangan yang menguatkan. Kenangan yang mengantarkan kami kepada Wujud Allah Ta’ala. Yang meneguhkan keimanan kami. Yang meyakinkan kami bahwa Allah itu ada. Dekat. Dan senantiasa mendukung kita. Semustahil apapun jalan ceritanya.

Ingatan saya kembali kepada tahun 2018 silam. Tepat pada 14 April 2018 silam. Saat itu beliau untuk pertama kalinya datang ke Masjid Nuruddin Jakarta Utara. Tujuan beliau satu, menghadiri peletakan batu pertama pembangunan ulang masjid kami.

Ada satu hal menarik yang terjadi saat itu. Setelah rangkaian acara peletakan batu pertama selesai. Sambil duduk, beliau mengambil dompet dari sakunya. Lalu beliau mengambil sejumlah uang berwarna merah. Dan menyerahkannya kepada Sekr. Maal Jakarta Utara.

Saya lupa apa yang beliau katakan saat itu. Tapi kata-kata beliau membuat kami semua tersenyum dan tertawa. Saya hanya bisa menerjemahkan seperti ini:

“Silahkan jalan dengan hanya bermodalkan 60 juta rupiah untuk membangun masjid senilai 1,5 miliar. Dana inilah yang akan mengawal niat mulia kalian. Hingga akhirnya, kalian akan menyaksikan satu bentuk pertolongan Tuhan yang istimewa.”

Pada saat itu, kami memang tengah berada di persimpangan jalan. Satu sisi kami mempunyai niat mulia untuk membangun Rumah Allah, tapi di sisi lain kami tengah berhadapan dinding tebal bernama kemustahilan.

Pengorbanan Bapak Amir pada saat itulah yang meyakinkan kami bahwa kami pasti bisa. Bahwa ini bukan soal seberapa besar nilai pengorbanan. Ini adalah soal seberapa besar keyakinan kami bahwa kuasa Allah Ta’ala dapat mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Dari titik inilah. Para anggota Jemaat Jakarta Utara mulai menyerahkan jantung kehidupannya di tiap jengkal masjid. Para anggota mulai mempersembahkan harta terbaiknya untuk masjid.

Satu bentuk cinta telah merasuk kedalam jiwa kami. Dan cinta menghendaki pengorbanan istimewa. Cinta tak bisa diukur dengan angka. Dan sebab cinta itu kami mungkin telah mengambil keputusan paling berani dalam hidup ini.

Bapak Amir terus mengawal pembangunan masjid kami. Hingga sampai peresmian masjid, beliau telah enam kali datang ke masjid. Mengecek progres pembangunan. Menanyakan apa yang akan dilakukan kedepannya. Dan tentunya, memberikan motivasi ke kami bahwa kami pasti bisa menyelesaikannya hingga akhir.

Tahun 2020 pandemi datang. Pembangunan terhenti. Ekonomi anggota terjun bebas. Kami sadar bagian bawah masjid masih berantakan. Begitu juga bagian depan masjid. Belum ada ornamen-ornamen yang menunjukkan ini masjid.

Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Para anggota banyak yang tak memiliki pekerjaan. Penghasilan menurun drastis. Untuk makan pun sulit. Apalagi untuk melanjutkan pembangunan.

Tapi Allah Ta’ala seolah meresapkan ke dalam hati beberapa orang. Bahwa pembangunan masjid harus dilanjutkan. Semustahil apapun keadaannya.

Mulailah dirancang anggaran untuk sampai peresmian. Lahirlah nilai 150 juta. Besar sekali. Darimana dana sebesar ini? Tapi kami kesampingkan dulu rasa keraguan kami. Kami harus membangun kembali keyakinan kami.

Saya dan Bapak Ketua Cabang datang menemui Bapak Amir yang kebetulan tengah berada di Masjid Balikpapan. Kami sampaikan niat kami untuk melanjutkan pembangunan dan kami sampaikan anggarannya.

Saat itu kami berharap bisa mendapatkan bantuan dari Pusat. Tapi jawaban Bapak Amir sangat mengejutkan.

Beliau bertanya, “Berapa jumlah anggota disana?”

“Sekitar 160 orang Pak Amir,” jawab saya saat itu.

“Nah, kalau satu orang 1 juta, selesai sudah.”

Beliau mengatakan kalimat itu dengan senyum yang menggantung pada wajah beliau yang penuh keteduhan dan keyakinan. Saya dan Pak Ketua bingung. Karena terdengar logis. Tapi kita kan tengah berhadapan dengan pandemi.

Pada akhirnya, waktu jugalah yang menjawab keraguan kami. Menjawab kekhawatiran kami. Bahwa pandemi bukanlah alasan kami untuk berhenti melangkah. Bahwa pada akhirnya keyakinan kamilah yang akan menentukan hasil akhirnya akan seperti apa.

Terkumpullah perjanjian anggota senilai 150 juta. Dan nilainya terus bertambah. Kami tak percaya dan terus bertanya, apa yang menggerakkan orang-orang untuk menjawab panggilan pengorbanan yang jumlahnya tidak sedikit ini?

Dan dalam proses menuju peresmian. Bapak Amir datang kembali ke masjid kami. Beliau mengecek progres pembangunan dan memberikan target untuk tanggal peresmiannya. Tak hanya itu, beliau lagi-lagi menitipkan sejumlah dana untuk masjid.

Kami makin semangat untuk menjemput peresmian. Kami jadi makin yakin kami pasti bisa menyelesaikannya.

Dan benar saja. Keyakinan tersebut mengantarkan kami pada sebuah kesimpulan bahwa dengan doa, keyakinan, keikhlasan dan tekad yang kuat, kami bisa mengubah yang awalnya terlihat mustahil menjadi mungkin bahkan mudah.

Bapak Amir kita yang tercinta telah memberikan satu pelajaran berharga kepada kami bahwa Allah Ta’ala itu ada dan senantiasa hadir dalam perwujudan Pertolongan Khas-Nya ketika kita menyerahkan jantung kehidupan kita untuk agama, ketika kita mengesampingkan perasaan-perasaan takut kita akan kekurangan harta, dan ketika kita melangkah di atas jalan-jalan Keridhaan-Nya.

Tak terasa. Mobil kami telah tiba di kawasan Markaz. Deretan mobil yang melayat sudah banyak terparkir di depan Masjid Al-Nashr. Hujan masih turun dengan deras. Dua orang mahasiswa Jamiah mengarahkan kami ke rumah duka dengan payung yang mereka genggam.

Langkah kaki kami mulai berat. Rintik hujan seperti tak terasa membasahi. Lampu jalan sesekali berkedip. Membuat suasana makin bercampur aduk. Dan kami masih membisu. Masih terasa sangat rapuh hati ini.

Di depan rumah duka sudah berkumpul keluarga dan para anggota yang ingin melayat. Masih sedikit orang saat itu. Mereka berbagi ruang sempit di pelataran rumah untuk berteduh dari hujan yang masih cukup deras.

Tibalah gilaran keluarga masuk. Kami menunggu di depan. Duduk di sofa yang biasa almarhum duduki. Percikan air hujan sesekali menyiprat. Orang-orang mulai berdatangan untuk melayat.

Dan kami masih membisu. Masih menunggu. Masih bertanya dalam hati, apakah kami sanggup untuk masuk dan melihat wajah beliau untuk terakhir kali.

Hingga giliran kami tiba. Kami berbaris untuk masuk perlahan. Belum juga masuk, mata saya sudah basah. Saya berjalan perlahan. Terlihat tubuh Bapak Amir yang terbaring dalam sebuah dipan. Tubuhnya terbalut kain. Hanya tersisa wajah almarhum.

Rambut beliau memutih. Wajah teduh beliau telah termakan usia. Saya melihat ada jejak perjuangan beliau untuk bertahan dari terjangan sakit yang luar biasa. Tapi rupanya Allah lebih sayang beliau untuk meninggalkan dunia yang fana.

Mln. H. Abdul Basit Shd adalah seorang pewakaf hidup sejati. Saya yakin, dalam sakitnya, dalam kepayahannya, dalam ketidakberdayaannya menghadapi usia, beliau tetap memberikan ruang istimewa untuk Jemaat ini. Dan itu bisa saya rasakan saat melihat wajah. Ada jejak-jejak perjuangan beliau untuk bertahan.

Seorang pewakaf hidup selalu resah ketika ada tugas-tugas Jemaat yang beliau selesaikan. Dan itulah yang saya rasakan. Satu perasaan yang bisa jadi sangat pribadi. Tapi sekali lagi. Allah Ta’ala lebih sayang beliau untuk menyudahi jalan pengkhidmatannya pada hari itu.

Jemaat Indonesia tentu sangat berduka. Iringan doa dan belasungkawa semoga bisa mengantar arwah almarhum menuju Surga Keridhaan-Nya.

 

Berikut ini video kenangan istimewa kami dengan Bapak Amir Nasional >> Klik Disini

 

Visits: 1793

Writer | Website

Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *