MANA YANG DIDAHULUKAN: QADHA PUASA ATAU PUASA SYAWAL?

Idul Fitri yang jatuh tepat pada 1 Syawal kemarin telah berlalu. Di hari kedua bulan Syawal, kaum muslimin tengah bersiap untuk melaksanakan puasa lanjutan yang bersifat sunnah selama 6 hari di bulan Syawal.

Selalu muncul perdebatan dan diskusi yang entah kapan berakhir terkait dengan puasa Syawal ini dari kacamata fikih. Mengapa? Karena banyak orang berpandangan, fikih ujung-ujungnya perbedaan.

Seolah-olah, belum mengamalkannya saja, kita harus berhadapan dulu dengan pandangan fikih yang beragam. Wajar ada anggapan, ibadah seringnya melulu soal kaedah dan tatacara, bukan kepada spirit, rasa dan penghayatan.

Tapi, meskipun fenomena “fikih ujung-ujungnya perbedaan” itu nyata, tetap saja selalu menarik banyak orang untuk mengetahuinya.

Untuk menjawab pertanyaan, mana yang harus didahulukan, qadha puasa Ramadhan atau puasa Syawal dulu? Ada beberapa aspek yang perlu untuk dijelaskan disini.

Pertama, saya akan mengemukakan hadits tentang keutamaan puasa Syawal ini:

Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian melanjutkan dengan berpuasa enam hari pada bulan syawal, maka seperti ia berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim)

Selalu muncul pertanyaan, yang disebut enam hari disini, apakah dilaksanakan secara berturut-turut selama enam hari tanpa terputus? Atau itu menunjukkan jumlah puasa yang dikerjakan maksimal 6 hari dari 29 hari yang tersedia?

Kalau kita teliti redaksi hadits di atas dikatakan “berpuasa enam hari pada bulan Syawal”. Tidak spesifik dikatakan harus berturut-turut. Meskipun dalam riwayat Rasul mencontohkannya secara berturut-turut.

Jadi, kalau menurut redaksi hadits tersebut, tidak ditekankan untuk berpuasa secara berturut-turut. Sedangkan kalau menurut Sunnah Rasulullah saw beliau biasa mengerjakannya 6 hari berturut-turut. Mulai dari tanggal 2 sampai tanggal 7 Syawal.

Pada suatu ketika Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as sangat mementingkan sunnah ini, sehingga di Qadian, ramai sekali orang-orang berpuasa enam hari setelah hari Ied seperti ramainya orang-orang berpuasa di bulan Ramadhan. Akhirnya ketika umur beliau sudah lanjut dan sering sakit, sampai dua atau tiga tahun beliau as tidak melakukan sunnah tersebut.

Tatacaranya dikembalikan ke masing-masing orang. Sesuai dengan kemampuan dan taufik untuk mengamalkannya. Sebab pada dasarnya, agama datang bukan untuk menyusahkan.

Sekalipun taufik yang diberikan kepada kita hanya bisa mengerjakan kurang dari 6 hari. Tentu Allah Ta’ala punya hitung-hitungannya sendiri.

Kedua, kita kembali kepada pertanyaan utama, mana yang perlu didahulukan, meng-qadha puasa Ramadhan atau mengerjakan puasa Syawal?

Untuk meng-qadha puasa Ramadhan, Allah Ta’ala dengan kata-kata “fa’iddatum min ayyamin ukhar” sebenarnya telah memberikan kemudahan bagi mereka yang punya “hutang puasa” dengan mengerjakannya di sepanjang 11 bulan berikutnya sebelum bertemu dengan Ramadhan tahun depan.

Keleluasaan ini setidaknya memberikan satu pesan terkait masalah yang tengah dibahas bahwa ada baiknya puasa Syawal dikerjakan terlebih dahulu.

Ada semacam premis yang banyak dipakai sejumlah ulama tanah air, yakni dalam hadits di atas dikatakan “Barangsiapa yang puasa Ramadhan, kemudian melanjutkan….”. Mereka memahami “puasa Ramadhan” sebagai puasa tanpa bolong-bolong. Kalau terjadi bolong satu atau beberapa hari, maksud dari “puasa Ramadhan” tidak terpenuhi.

Sehingga, mereka menyimpulkan bahwa meng-qadha puasa harus terlebih dulu dikerjakan, baru setelah genap bisa kerjakan puasa Syawal.

Premis ini menjadi batal oleh sebuah hadits dari Ummul Mukminin, Hadhrat Aisyah ra.:

Dulu aku punya kewajiban mengganti puasa Ramadhan dan aku tidaklah bisa mengganti utang puasa tersebut kecuali pada bulan sya’ban.” (HR. Bukhari, No. 1950)

Sebagai Ummul Mukminin dan mewakili golongan perempuan yang waktu beribadahnya sering terhalang oleh datangnya haid. Menjadi sangat jelas bahwa mengerjakan puasa Syawal bisa didahulukan ketimbang meng-qadha puasa. Karena memang, meng-qadha puasa lebih banyak waktu yang diberikan ketimbang puasa Syawal.

Sayyidina Amirul Mukminin, Imam Jemaat Ahmadiyah Internasional, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad aba pernah menyampaikan dalam kesempatan tanya-jawab:

Apabila ada puasa Ramadhan yang tertinggal yakni tidak sempurna maka kerjakanlah puasa Syawal di bulan Syawal dan meng-qadha puasa Ramadhan yang tertinggal di bulan lain setelah bulan Syawal. Tidaklah harus menyempurnakan puasa Ramadhan terlebih dahulu lalu puasa Syawal.”

Pernah saya sampaikan dalam kajian fikih yang lalu bahwa dalam beragama hendaknya memilih jalan tengah. Dan tidak perlu mempersulit diri dengan berbagai pilihan jalan. Mana yang kita anggap mudah dan pada saat yang sama Allah Ta’ala memberikan taufik untuk mengamalkannya, maka kerjakanlah.

.

.

.

editor dan penyunting: Muhammad Nurdin

Visits: 178

Saifullah Mubarak Ahmad

5 thoughts on “MANA YANG DIDAHULUKAN: QADHA PUASA ATAU PUASA SYAWAL?

  1. Ya, benar. Tapi terkadang kebanyakan orang mencari ideal, ingin semua dikerjakan dalam bulan syawal. Lalu pendapatnya dibuat pembenaran, lambat laun dari waktu ke waktu bahwa itu adalah benar.
    Betapa indah Islam jika tak banyak orang yang memandai-mandai pembenarannya sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *