PENTINGNYA ITAAT DAN TAZKIYYATUN-NAFS BAGI MASYARAKAT INDONESIA DI TENGAH WABAH

Sejak wabah virus corona melanda dunia akhir Maret lalu, melalui khutbah-khutbahnya yang disampaikan dari Masjid Mubarak, Tilford, UK, dan dipancarkan langsung melalui Muslim TV Ahmadiyah Internasional kepada Jemaat ahmadiyah di seluruh dunia, Imam Jemaat Ahmadiyah Internasional, Hadhrat Mirza Maroor Ahmad a.t.b,a, berulang-ulang menyampaikan pesan tentang apakah Virus Corona dan bagaimana cara menghadapi wabah virus yang dikenal dengan Covid-19 itu.

Beberapa hal yang beliau sampaikan adalah:

Bahwa wabah dan bencana pada umumnya datang untuk memperingatkan manusia supaya mereka memenuhi hak dan kewajiban kepada pencipta-Nya dan juga makhluk-Nya. Jadi, dalam keadaan seperti ini kita dituntut untuk lebih banyak lagi bersujud dihadapan Allah Ta’ala dan menyadarkan dunia. Sebagian penyakit, wabah, atau badai, ketika melanda dunia, secara alami dampaknya dirasakan oleh setiap orang. Namun, seorang beriman akan tunduk dihadapan Allah Ta’ala dan melewati kesulitan tersebut dengan memanjatkan rasa syukur. Seperti yang telah saya katakan, saat ini kita hendaknya secara khusus banyak berdoa kepada Allah Ta’ala dan memohon kasih sayang dan karunia-Nya.Untuk itu setiap Ahmadi hendaknya berusaha untuk tunduk dihadapan Allah Ta’ala. Kita tidak mengetahui apakah wabah ini merupakan tanda khusus atau bukan, namun secara umum sebagaimana telah saya katakan pada khotbah yang lalu, musibah dan bencana bumi dan langit semakin meningkat drastis setelah diutusnya Hadhrat Masih Mau’ud (as). Secara umum dapat dikatakan seperti itu, namun kita tidak berhak mengaitkan wabah ini dengan wabah tha’un yang terjadi pada zaman Hadhrat Masih Mau’ud (as). Tidak berhak juga mengatakan – nauzubillah, jika ada Ahmadi yang terkena penyakit ini atau wafat karenanya, berarti keimanannya lemah.

Selain menyampaikan tentang apa yang sedang melanda dunia saat ini, beliau juga menyampaikan pesan tentang bagaimana kita harus menghadapi dan mencegah agar wabah virus ini tidak terus berkembang. Beliau berpesan,

Tetaplah tinggal di rumah, yang merasa sedang kurang sehat tidak datang dulu ke masjid, tutup mulut dengan sapu tangan jika bersin, gunakan masker, hindari perkumpulan, jaga kebersihan rumah, kebersihan pakaian, dan kebersihan lingkungan, ikuti protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah, jika ada yang meninggal karena wabah ini, nauzubillah, orang tersebut adalah syahid, dan yang paling utama adalah bersihkan hati dan jalinlah hubungan sejati dengan Allah taala.

Sekilas pesan-pesan Imam Jemaat Ahmadiyah terdengar biasa saja. Tidak ada yang istimewa dan bahkan sama dengan pola kebijakan banyak negara dalam upaya mencegah penyebaran virus corona. Rutin mencuci tangan, sosial distancing, physical distancing, hindari memegang mata, hidung, dan mulut, tutup mulut ketika bersin dan batuk, tetap di rumah, bersihkan permukaan yang sering di sentuh, cari tahu informasi akurat mengenai Covid-19, merupakan pola kebijakan banyak negara termasuk Indonesia, dalam upaya pencegahan penyebaran virus corona.

Pada masa diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus rantai penyebaran covid-19, pemerintah Indonesia membuat peraturan untuk tidak mengadakan pertemuan-pertemuan, menghindari kerumunan massa, tidak mengadakan salat berjemaah di Masjid, salat Jumat, salat tarawih, bahkan salat Id, dan tidak juga tidak mudik. Masyarakat dianjurkan untuk lebih banyak tinggal di rumah (stay at home), bahkan sekolah dan bekerja pun dilakukan dari rumah.

Namun, apabila dicermati, terdapat dua hal penting di dalam pesan Imam Jemaat Ahmadiyah Internasional itu. Penting, bahkan bukan hanya bagi warga Ahmadiyah saja, tetapi juga bagi masyarakat Indonesia.

Pertama, Imam Jemaat Ahmadiyah mengatakan tentang syahidnya orang yang meninggal karena wabah covid-19 ini. dalam kesederhanaan pesannya, beliau menyampaikan bahwa mereka yang berjuang di tengah wabah dan harus wafat, adalah seorang syuhada, dalam hal mana harus mendapatkan penghormatan mulia dari orang lainnya.

Namun bagaimana faktanya di Indonesia? Tersiar berita di banyak media, tentang penolakan jenazah korban virus covid-19. Banyak jenazah yang ditolak oleh masyarakat ketika hendak dikebumikan di pekuburan umum. Di Banyumas, bahkan kuburan digali ulang hingga harus empat kali berpindah tempat lantaran masyarakat menolak jenazah positif covid-19 dikuburkan di pemakamannya.

Yang paling miris, bahkan penolakan juga terjadi kepada jenazah seorang perawat di Ungaran, Kabupaten Semarang. Jenazah perawat yang sedianya akan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Siwarak sesuai permintaan keluarga, terpaksa harus dialihkan karena ada penolakan dari sekelompok warga, sebelum jenazah tiba di lokasi TPU Siwarak. Yang wafat bukan masyarakat biasa. Ia adalah seorang tenaga medis yang telah berjuang untuk menyelamatkan banyak nyawa pasien-pasien yang terpapar virus covid-19 di RS Dr. Karyadi Semarang, tempat dia bekerja bersama tim paramedis lainnya.

Inilah pentingnya pesan tersebut, dan sangat relevan untuk turut dicermati oleh masyarakat Indonesia, yaitu keprihatinan atas minimnya penghormatan kepada para syuhada. Di dalam pesan imam Jemaat Ahmadiyah tentang gelar syahid bagi mereka yang meninggal karena wabah ini, tidak lain dilandaskan pada Sabda Nabi Muhammad salallaahu alaihi wasalaam,

Asy-syuhadaa-u khamsatun: al-math’uunu wal mabthuunu, wal gharqu wa shaahibul hadmi wasy syahiidu fi sabiilillah.

Syahid ada lima macam: orang yang meninggal karena tha’un, orang yang meninggal karena penyakit di perut, orang yang meninggal karena tenggelam, orang yang meninggal tertimpa reruntuhan dan orang yang syahid di jalan Allah.”(Shahih Bukhari, Bab Shahadat Siwayul Qatli, Hadits No. 2829).

Seorang yang wafat karena positif covid-19, dengan statusnya sebagai Syahid, seharusnya tidak boleh ditolak penguburan jenazahnya. Bahkan, masyarakat seharusnya menghormati dan memuliakanya dengan mengebumikannya sebaik-baiknya. Apalagi dengan jenazah seorang perawat yang sebelumnya telah berjuang untuk menyelamatkan banyak nyawa orang. Untuk mereka yang telah berjuang digaris depan melawan virus covid-19, dan wafat menjadi Syuhada, maka selayaknya mereka dikebumikan dengan penuh kemuliaan dan kehormatan. Bahkan jika perlu, dikuburkan di pekuburan khusus seperti taman makam pahlawan.

Kedua, Imam Jemaat Ahmadiyah menyampaikan tentang hal yang paling utama yaitu bersihkan hati dan jalinlah hubungan sejati dengan Allah taala. Pesan kedua Imam Jemaat Ahmadiyah ini lebih bersifat spiritual. Mengapa membersihkan hati dan menjalin hubungan yang sejati dengan Allah Ta’ala menjadi penting di tengah sebaran wabah yang melanda negeri ini?

Pertengahan Maret lalu, ketika wabah covid-19 melanda tanah air, masih ada saja orang, bahkan tokoh nasional, yang alih-alih merapatkan barisan dan bahu-membahu melawan covid-19, namun justru menyalahkan pemerintah. Mereka berpendapat pemerintah lamban, lalai, dan tidak serius menangani pandemi corona virus, bahkan hingga mengajukan gugatan class action kepada Presiden. Tak sedikit pula yang tak henti-hentinya, menyampaikan kritiknya kepada pemerintah melalui kicauan di media sosial.

Belum berhenti sampai di cuitan semata, sekelompok orang juga menggugat Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 ke Mahkamah Konstitusi. Mirisnya, gugatan ini diajukan oleh dua orang tokoh nasional, yaitu mantan Ketua MPR dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI. Mereka mengajukan gugatan uji materi terhadap Pasal 2 Ayat (1) huruf a Angka 1, Angka 2 dan Angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020.

Pemerintah sesunggungnya telah melakukan langkah-langkah cepat dan tepat untuk mengatasi kesulitan ekonomi, Pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, dan telah menyiapkan stimulus ekonomi sebesar 450 triliyun rupiah untuk mengatasi dampak Covid-19. Dalam upaya memutus rantai penyebaran Virus Covid-19, pemerintah juga memberlakukan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) di berbagai daerah di Indonesia, khususnya yang terdeteksi sebagai zona merah pandemi Covid-19.

Kepada seluruh masyarakat Bangsa Indonesia, melalui layar televisi, Presiden Jokowi pun berulang-ulang menyampaikan pesan mengajak seluruh warga masyarakat Bangsa Indonesia untuk bersama-sama bergotong-royong mangatasi Virus Covid-19. Dalam pidatonya presiden menyampaikan bahwa penyebaran virus corona dapat di cegah dengan kedisiplinan yang kuat dari kita sendiri, dan harus dilakukan secara bersama-sama dan terus-menerus tidak boleh terputus.

Selain itu, presiden juga meminta pemerintah di daerah untuk meningkatkan pengujian sample test secara masif, dan melakukan pelacakan yang agresif, serta diikuti isolasi yang ketat, serta menyiagakan satuan gugus tugas di tingkat Kecamatan, Kelurahan, RW, RT, sesuai dengan kewenangannya. Selain itu, juga untuk membantu warga yang membutuhkan.

Langkah-langkah cepat dan tepat Pemerintah dan pesan Presiden Jokowi begitu bagus dan elegan. Bahkan Menteri pertahanan dan keamanan dalam akun twitternya juga memberi kesakisan tentang kinerja Bapak Joko Widodo yang terus berjuan demi kepentingan bangsa dan negara.

Namun, mengapa masih banyak juga pihak yang menyalahkan pemerintah, pada saat negara memerlukan bantuan semua pihak untuk menghadapi pandemi covid-19?

Jawabannya sederhana. Hal itu disebabkan karena dalam hati mereka ada kekotoran. Dalam istilah Al-quran, dalam hati mereka ada penyakit (TQS. 2:11). Karena dalam hati mereka ada penyakit, maka kebijakan dan kebaikan apa pun yang diambil oleh pemerintah, selalu mendapat pandangan yang salah.

Dalam kaitan inilah maka Imam Jemaat Ahmadiyah berpesan untuk membersihkan hati dan menjalin hubungan sejati dengan Allah Ta’ala. Relevansinya adalah, agar masyakrakat tidak selalu berpandangan megatif kepada langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dalam menangani wabah yang sedang melanda Indonesia.

Pesan ini menyiratkan bahwa kita harus senantiasa berprasangka baik kepada tindakan yang diambil oleh pimpinan kita, siapapun mereka. Meskipun pimpinan kita saat ini adalah bukan pilihan kita saat pemilu, bukan satu partai, bukan satu suku bangsa, namun tetap harus kita hormati keputusannya sebagai pimpinan. Hal tersebut, adalah ciri bersihnya hati yang jauh dari prasangka-prasangka, dan sebagai bentuk taat kepada ulil amri.

Saat ini, di beberapa hari terakhir di bulan Ramadhan, ada baiknya jika kita memaksimalkan waktu yang tersisa untuk bersama mensucikan hati. Sebagaimana Ramadhan bertujuan untuk tazkiyatunnafs, agar kita senantiasa memiliki hubungan dekat dengan Allah taala melalui hati yang bersih. Dengan kebersihan hati dan hubungan yang sejati dengan Allah taala, Insya Allah, Bangsa Indonesia akan bisa bersatu mengalahkan sebaran wabah virus corona di negeri kita tercinta.

“Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa (hatinya), dan menjalin hubungan yang erat (dengan mengingat nama Tuhan-nya) melalui shalat-shalat-nya (QS. Al-A’la/87: 15-16).

Padang, 30 April 2020

.

.

.

penyunting: Rahma A. Roshadi

Visits: 44

Syaeful Uyun

3 thoughts on “PENTINGNYA ITAAT DAN TAZKIYYATUN-NAFS BAGI MASYARAKAT INDONESIA DI TENGAH WABAH

  1. Aktual, enak dibaca, dan menyentuh perasaan dan hati. Untuk Indonesia dan NKRI, mari kita bulatkan tekad, satukan dan sucikan hati. Indonesia bisa lawan Corona

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *