Rahmat dan Kasih Ilahi Bagi Insan yang Bertaubat Sepenuh Hati

Manusia hanyalah makhluk lemah, tempatnya khilaf dan salah. Kalimat ini begitu sering terucap, saat sebuah kekeliruan terjadi. Entah sebagai alibi atau benar-benar menyadari kelemahan diri. Dampak dari keduanya jelas akan sangat kontras. 

Jika hanya sebagai alibi, maka kelak ketika kesalahan terjadi berulang, maka akan dengan mudah berlindung di balik status manusia yang lemah. Namun, apabila benar-benar menyadari kelemahan diri, maka akan timbul upaya-upaya untuk mengatasi kelemahan tersebut dan sekuat mungkin menghindar untuk tidak lagi mengulanginya.

Pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., dalam buku Filsafat Ajaran Islam, menerangkan dengan gamblang mengenai tiga tingkatan Nafs manusia, yakni Nafs Amarah, Nafs Lawwamah dan Nafs Muthmainnah. Pada tahap Nafs Amarah, manusia masih sering dikalahkan oleh hawa nafsunya, masih dikuasai dengan keburukan akhlak, jauh dari Tuhan dan bahkan tidak mengenali wujud-Nya. Inilah selemah-lemahnya manusia.

Sementara pada tahap Nafs Lawwamah, manusia masih cenderung memiliki banyak kelemahan, masih sering tergelincir namun kemudian menyesali dan berupaya kembali kepada jalan yang lurus. Kemudian kelemahan itu kembali muncul dan penyesalan lagi-lagi hadir untuk kemudian mencari jalan berbenah dan memperbaiki diri.

Dan pada akhirnya, Nafs Muthmainnah adalah tahapan paling tinggi yang dapat diraih seorang insan. Nafs yang menempatkan manusia pada ketentraman batin, ketentraman rohani, dan meraih kedekatan dengan Ilahi. 

Sungguh, manusia layak untuk malu dan sepatutnya banyak bersyukur, karena dalam kelemahan demi kelemahan yang menyeretnya dalam kesalahan dan dosa, Allah SWT senantiasa membuka pintu maaf dan taubat. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Hud ayat 3-4, yang artinya:

“Kitab ini mengajarkan, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku bagimu pemberi peringatan dan pembawa kabar suka dari-Nya. Dan supaya kamu memohon ampunan kepada Tuhanmu, kemudian kembalilah kepada-Nya. Dia akan menyediakan perbekalan yang baik kepadamu sampai saat yang ditentukan dan Dia akan memberikan karunia-Nya kepada setiap orang yang berhak menerima karunia. Dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar.”

Ayat di atas memiliki tafsir bahwa taraf taubat itu datang kemudian dan lebih tinggi daripada istighfar dalam perkembangan rohani manusia. Taubat itu merupakan perbuatan untuk menghadap kembali kepada Allah dengan ikhlas dan sepenuh hati, setelah memohon perlindungan Allah terhadap akibat-akibat buruk dan dosa-dosa yang sudah-sudah. Cara apakah yang dapat diperkirakan lebih baik daripada cara ini untuk mencapai Qurb Ilahi (kedekatan kepada Tuhan)?

Lihatlah, betapa karunia Allah SWT terbentang tiada hingga. Bukan hanya membuka pintu ampunan dan taubat, melainkan dengan paket lengkap perbekalan baik bagi kehidupan manusia yang sungguh-sungguh mengharap karunia-Nya.

Di antara kita tentu banyak yang pernah mendengar kisah seorang pelacur, yang karena amal baiknya memberi minum seekor anjing, dia selamat dari siksa neraka. Ada pula kisah seorang pembunuh ulung, 100 nyawa melayang di tangannya, dan dalam perjalanannya mencari pertobatan, orang tersebut menemui ajalnya. Hingga kemudian malaikat bersitegang memutuskan dikirim  ke neraka atau ke surga. Pada akhirnya, karunia Allah SWT menyertai orang tersebut, jarak yang lebih dekat ke jalan taubat menjadikannya selamat dari azab. 

Kemudian, ada juga kisah seorang pemuda yang mencuri kain kafan dan berbuat tidak senonoh terhadap jenazah seorang wanita muda. Dengan segenap rasa takut dan sesal, dia kemudian pergi ke tempat terpencil, lalu terus menerus beribadah dan memohon ampun, hingga turunlah kabar suka turunnya ampunan atas pemuda tersebut.

Demikianlah kasih sayang Allah SWT atas diri manusia yang benar-benar sepenuh hati dan didasari keikhlasan dalam menempuh jalan taubat. Saat manusia lain mungkin akan menghakiminya dengan segala caci maki dan rasa benci, namun sayap kasih dan pintu karunia-Nya tidak pernah terkunci. 

Satu petuah indah disampaikan Pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah bahwa: “Pintu gerbang rahmat dan kasih Ilahi tidak pernah ditutup. Siapa pun yang berpaling kepada-Nya dengan hati yang tulus dan lurus, maka Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang serta menerima pertobatan. ” (Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.) 

Visits: 313

Ai Yuliansah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *