Ujian Bai’at dan Pertolongan Allah

Selepas saya berbai’at, saya pernah bermimpi. Ada 4 orang penjahat yang akan mengeroyok saya, namun ada Al-Qur’an di tangan saya. Lalu, saya berusaha, pontang-panting mengusir penjahat itu dengan kitab Al-Qur’an yang tiba-tiba ada di tangan saya.

Alhamdulillah dalam mimpi itu saya menang. Saya bisa mengusir penjahat tersebut dengan adanya Al-Qur’an. Ketika bangun, saya merasa lumayan lelah tetapi hati senang dan bahagia. Saya pun berpikir, akan ada apa lagi, ya?

Dalam beberapa bulan setelah bai’atnya saya, tidak saya hiraukan ejekan dan caci maki mengkafirkan dan menyesatkan dari orang lain. Semuanya tidak saya pikirkan. Beberapa bulan kemudian, suatu hari anak saya yang laki-laki pulang dari bermain. Dengan nafas yang terburu-buru, dia mengatakan, “Mamah! Mamah disuruh ke rumah tukang jahit sekarang! Di sana sudah ada bapak kepala lingkungan.”

“Oh, iya, Nak.” Kemudian saya berangkat naik sepeda ke rumah tukang jahit tersebut. Saya datang, ucap salam, kemudian dipersilakan masuk dan duduk. Ternyata betul ada kepala lingkungan dan 3 orang bapak lainnya. Saya perempuan sendiri. Bersama 4 orang bapak-bapak itu, sebetulnya di dalam banyak ibu-ibu teman setia saya. Namun, tidak ada satu orang pun yang menemani saya di ruang tamu.

Begitu duduk, saya mengatakan, “Bapak-Bapak mengundang saya? Ada apa, ya?” Seorang bapak menjawab, “Iya. Kami semua ini menyayangkan Ibu ada di pengajian Ahmadiyah yang sesat dan menyesatkan. Pelajarannya tidak baik. Nanti kalau Ibu berjalan sendiri, bakal dikerjain. Dan, kalau mati, dikubur separuh badan. Jadi, kami semua berharap, Ibu keluar dari Ahmadiyah. Kalau Ibu tidak mau keluar dari situ, apapun tentang surat, saya tidak akan membuatnya. Dan satu lagi, jika nanti Mualim Ahmadiyah datang, ajak ke rumah saya dan jangan ada yang menjenguk ataupun memberi makanan,” kata Bapak Kepala Lingkungan tersebut.

Saya pun menjawab, “Sudah selesaikah Bapak bicara?” Dia menjawab, “Ya, sudah. Ingat perkataan saya baik-baik!” Saya kemudian menjawab lagi, “Sebetulnya kata-kata Bapak-Bapak semua itu tidak ada yang masuk dalam apa yang sedang saya pelajari di dalam Ahmadiyah. Betulkah jika datang Mualim saya harus antarkan ke rumah Bapak?”

“Iya!” jawab Bapak Kepala Lingkungan. “Dua minggu lagi datang Mualim Ahmadiyah. InsyaAllah saya antar ke rumah Bapak,” kata saya. Saya pun pamit pulang dan mengucapkan salam.

Keesokan harinya saya datang ke rumah tetangga sebelah yang suaminya adalah Ketua Jemaat dan istrinya sebagai Ketua LI. Lalu saya mengatakan bahwa saya kemarin diundang oleh Bapak Kepala Lingkungan supaya datang ke rumah tukang jahit. Di sana saya dinasehati panjang lebar yang intinya saya harus keluar dari Ahmadiyah.

Katanya jika orang Ahmadiyah mati, akan dikubur separuh badan. Dan jika datang Mualim nanti, mereka minta diantar ke rumahnya. Lalu Ketua Jemaat mengatakan kepada saya, “Wak, jika nanti mereka mengatakan tentang mati, katakan saja jika orang Ahmadiyah meninggal, bukan dikubur separuh badan, tetapi disuruh jalan sendiri ke kuburan,” sambil tertawa.

Bapak Ketua dan Ibu Ketli selalu menyemangati saya. “Sudahlah, Wawak jangan takut dengan orang yang suka menakut-nakuti. Kita, kan, hanya takut kepada Allah,” hibur mereka. “Oh, iya. InsyaAllah Bapak dan Ibu. Terima kasih,” kata saya.

Beberapa hari kemudian, ada undangan Peringatan Maulid Nabi di masjid non-Ahmadi. Saya mengatakan kepada Ibu Ketli, “Bagaimana, Bu? Kita ada undangan.” Ibu Ketli menjawab, “Ya, kita menghargai undangan. Nanti kita hadir.”

Dengan semangat kami berangkat ke acara Maulid Nabi tersebut. Saya membawa 2 anak dan Ibu Ketli membawa 3 anaknya yang masih kecil-kecil. Dengan antusias kami ingin mendengar ceramah. Namun, situasi sangat berbeda dengan sebelum saya masuk Ahmadiyah.

Kami duduk di halaman masjid bersama masyarakat, tetapi hanya berapa orang saja yang menyalami kami. Bahkan, yang menyapa pun hanya keponakan saja. Hampir semua sinis dan serius, apa lagi aparatnya. Saya berbisik kepada Ibu Ketli, namun beliau mengatakan, “Sabar ya, Wak. Nanti kita dengerin ceramahnya. Kalau ada yang baik kita ambil, kalau tidak ada, yah, sudah. Dan kita jangan pikirkan orang sekitar yang sedang tidak suka dengan kita.”

“Oh, gitu ya, Bu,” kata saya. “Iya, lah,” kata Bu Ketli. Setelah pembukaan acara selesai, masuklah sambutan dari Kepala Desa. Setelah ucap salam, Kades lalu mencurahkan keperihatinnnannya bahwa kepada semua masyarakat harus waspada dan hati-hati karena di sini ada beberapa gelintir orang yang sesat dan menyesatkan Islam.

“Ya, Allah, Bu! Gimana kita?” tanya saya cemas. “Sudah, Wak, sabar dan istighfar banyak-banyak,” kata beliau.

Selesai bapak Kepala Desa, masuk acara ceramah dan pembagian snack. Karena di sekitar kami banyak orang, kami bergeser. Kami pun tidak mendapat bagian snack. Saat itu saya bersyukur anak-anak sudah tidur semua. Tidak apalah. Mungkin kalau snack dibagikan dengan kita, maka tidak cukup.

Selesai ceramah, kemudian doa penutup lalu kami pulang. Kata Ibu Ketli, “Alhamdulillah! Walau kita tidak ikut menikmati snack, tapi lebih nikmat istighfar dan sholawat yo, Wak.” Saya pun menjawab, “InsyaAllah, Bu KetLi.”

Kemudian suatu saat, ada datang Pak Mualim Ahmadiyah. Lalu saya cari Bapak Kepala Lingkungan ke rumahnya, tapi tidak ada. Kata tetangganya, beliau baru saja keluar. Biasanya beliau kumpul di simpang. Saya mencari ke simpang, tapi tidak ada. Tiba-tiba ada orang yang memberi tahu bahwa Pak Kepling ada di tempat pesta.

Lanjut saya naik sepeda ke tempat pesta. Karena belum hari H, maka saya ijin masuk dan diantar oleh seseorang untuk menjumpai Bapak KepLing. Ketika akhirnya bertemu, Bapak Kepling bertanya, “Ada apa, Wak?” Lalu saya menjawab, “Maaf, Pak. Bapak Mualim Ahmadiyah sudah datang. Jadikah diantar ke rumah Bapak?”

“Oh, jangan. Jangan sekarang ya, Wak. Sekarang Bapak lagi sibuk. Maaf ya, Wak. Lain kali saja,” katanya. “Oh, begitu. Ya, sudah. Wawak pamit ya, Pak,” kata saya. “Iya, Wak,” sahutnya. Alhamdulillah Pak Mualim selamat dari rencana mereka yang kurang baik.

Bai’at adalah sebuah langkah terjal. Ujian akan Dia turunkan untuk menguji keimanan kita. Tapi saya meyakini, dalam menghadapi ujian itu, bila kita tetap berpegang teguh pada kebenaran, Dia akan menurunkan pula pertolongan-Nya. Karena saya sendiri telah menyaksikan bahwa janji Allah Ta’ala benar adanya.

Visits: 60

Sumini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *