Kisah Pengorbanan Sebuah Cincin

Hari itu, ibuku menjadi perwakilan daerahnya dalam acara Ijtima LI di Kemang, sekitar 25 tahun lalu. Salah satu agendanya membahas persiapan menyambut kedatangan tamu agung, Yang Mulia Hadhrat Khalifatul Masih IV r.h., yang saat itu diperlukan anggaran yang cukup besar.

Ini merupakan sejarah untuk Muslim Ahmadiyah di Indonesia. Sosok yang begitu dicintai akan hadir di negerinya. Kehadiran sang Amirul Mukminin akan menarik anggota-anggota Ahmadi di seluruh Indonesia dan sekitarnya untuk berbondong-bondong datang demi bertemu sang Khalifah tercinta.

Pidato yang membahas hal tersebut menggema dalam ruang pertemuan milik Lajnah Imaillah Indonesia di wilayah Kemang, Bogor. Disampaikan oleh mubaligh senior Mln. H.R. Munirul Islam, Shd. dengan ciri khas beliau yang mampu menggerakkan hadirin untuk berlomba-lomba dalam pengorbanan harta.

Nampak wajah-wajah penuh ghairat dari Lajnah perwakilan daerah untuk turut serta dalam pengorbanan. Dari mereka ada yang spontan memberikan perhiasan yang sedang dipakainya. Seorang di antaranya adalah ibuku, wanita sederhana yang menghabiskan waktunya hanya untuk mengkhidmati keluarga dan Jemaat.

Dengan penuh keikhlasan ia melepaskan cincin bermata hijau, perhiasan berharga satu-satunya yang ia miliki. Cincin yang diberikan dengan rasa cinta oleh adik ketiganya, karena sang adik melihat jemari ibuku yang selalu terlihat polos tanpa satu pun cincin melingkar di jari-jarinya.

Ada pergulatan dalam batin ibuku saat itu. Sang adik telah berpesan agar cincin tersebut disimpan baik-baik sebagai tanda kasih. Tapi rupanya, ibuku lebih memilih mengorbankannya, semata-mata untuk mendapatkan ridha Ilahi demi menyambut Huzur tercinta. Sambil, ia terus berdoa mengharapkan kebaikan untuk sang adik tercinta dan anak keturunannya.

Sekian hari berlalu, ibuku pulang ke kotanya. Beliau segera disibukkan dengan rutinitas seperti biasa mengurus keluarga dan menjalankan amanah Jemaat. Tidak ada terbersit sedikit pun bagi ibuku untuk mengenang cincinnya.

Di kota lainnya, terlihat kesibukan ibu-ibu panitia yang diamanatkan untuk menjual perhiasan-perhiasan yang terkumpul, untuk dikonversikan dalam bentuk rupiah. Saat itu hadir seorang Lajnah yang juga adik kedua ibuku. Tiba-tiba beliau terkejut melihat penampakan cincin yang memiliki ciri khas desain seperti milik kakak tercintanya, yaitu ibuku.

Rasa haru dan sedih menghampirinya, membayangkan sang kakak yang telah merelakan cincinnya. Tanpa berpikir panjang ia memohon izin kepada panitia untuk membeli cincin tersebut sesuai harga konversi saat itu.

Keesokan hari saat fajar, adik kedua ibuku menghubungi ibuku melalui pesawat telepon. Beliau mengabari bahwa beliau ingin menghadiahkan cincin untuk ibuku, cincin yang sebelumnya sudah ibuku korbankan demi mengkhidmati sang wujud mulia.

Ibuku terhenyak, sulit mempercayai apa yang baru saja beliau dengar. Beliau berusaha mencerna dalam pikirannya karena menurutnya kejadian ini sungguh di luar nalarnya. Beliau menjadi saksi penampakan kebesaran dan kebaikan Allah Ta’ala.

Beliau baru saja merasakan keajaiban dari pengorbanan harta yang telah diperlihatkan dengan nyata. Cincin bermata hijau itu kini telah kembali melingkari jari ibuku melalui kisah perjalanan dari adiknya yang lain.

Visits: 149

Rahmatunisa

5 thoughts on “Kisah Pengorbanan Sebuah Cincin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *