LAILATUL QADAR ANAKKU

Malam ini, sebuah tugas besar diamanatkan di pundakmu sebagai bakti seorang anak terhadap ayah-ibunya. Sebagai bakti sujud di hadapan Rabb-mu, karena engkau adalah seorang hamba semata.

Rencana awal Shalat Tarawih akan dipimpin sang ayah. Namun, pekerjaan kantor membuatnya harus pergi melewatkan momen Tarawih pertama tahun ini.

Tongkat estafet pun beralih ke sang buah hati. Ia sudah memenuhi syarat lahir dan batin.

Sambil menunggu Isya. Sang bunda berdiskusi dengan calon imam soal tata cara pelaksanaan tarawih. Mulai dari hafalan bacaan Surah sampai doa-doa yang dibacakan saat witir.

Berakhirnya azan Isya, berakhir pula pengumuman menteri agama yang menyatakan bahwa besok adalah awal ramadhan. Dan malam ini adalah awal shalat Tarawih.

Shalat Isya telah dilaksanakan. Dilanjutkan dengan Shalat Tarawih. Ada rasa keharuan tatkala ayat-ayat Al Qur’an dilantunkan dengan cengkok khas bacaan sang buah hati.

Rasa kerinduan yang amat mendalam kembalinya sang buah hati mencintai Kalam Ilahi yang sempat diabaikan beberapa tahun yang lalu selepas belajar di kelas Tahfizul Qur’an.

Hari ini serasa mendapatkan harta yang amat berharga daripada apapun yang diterima. Ada getaran syahdu nada yang keluar dari lisannya, bergetar penuh keharuan.

Tak terasa butiran bening jatuh di atas pipiku yang sudah kendur dimakan usia. Dingin menyejukan hati sanubari yang telah lama gersang karena rasa kekhawatiran yang teramat dalam atas amalan-amalannya beberapa waktu ke belakang.

Ada apa gerangan anakku sehingga alunan nada hafalan bacaan Qur’anmu mengiris sanubariku juga sanubariku?

Ada kontak batin apakah yang Tuhan berikan kepada kita berdua?

Suara keras imam masjid At-Tin beserta makmumnya di belakang rumah tidak menyurutkan kami dalam kekhusyuan menghisab amalan apa sajakah yang telah melalaikan bahkan menyeret jauh hingga hampir terlempar.

Suasana sejuk angin semilir dari pendingin mungil di atas dinding menambah ingin berlama-lama memaknai penggalan surah yang dibaca.

Dalam rakaat keempat mulai suara parau bercampur isakan tangis keharuan pecah dalam pembacaan hafalan surah yang kau lantunkan. Hampir saja kau tak sanggup melanjutkan rakaat berikutnya.

Ya Allah, mengapa ini terjadi? Seperti mengulang kejadian yang sama tatkala sang ayah memimpin shalat Subuh berjamaah paska bai’atnya dua puluh satu tahun yang lalu. Ada apa gerangan nak, engkau sampai meratap demikian?

Beban kepiluan apakah yang sampai menyesakkan dadamu?

Air mata terus berurai jatuh dari dua kelopak matamu yang sipit memanjang laksana orang Mongol. Tanpa sadar, akupun larut dalam kepiluan yang kau rasakan.

Perlahan-lahan engkau mulai dapat menguasai diri. Walaupun isak tangismu yang kecil tidak dapat disembunyikan.
Sampai akhirnya shalat Tarawih pun rampung dilaksanakan.

Anakku melanjutkan dengan sebuah kultum. Ia nukil Surah Al-Baqarah ayat 184, yang membahas tentang bulan puasa. Ia bacakan ayat, terjemah dan tafsir singkatnya.

Suara parau yang sempat keluar saat Tarawih mulai terasa kembali. Tiba-tiba, anakku mulai berimprovisasi. Sepertinya, ada sesuatu yang ia mau ungkapkan, sebagai jawaban atas setiap tetes air mata yang keluar.”Saya tidak akan membahas tentang puasa, arti, syarat-syarat dan lain sebagainya. Karena pembacaan ayat tersebut sudah kita pahami bersama,” ia pun memulai bahasannya.

Saya akan membahas terkait Pendemik wabah Corona Covid Nineteen yang sedang terjadi saat ini di seluruh dunia. Dari hasil observasi, pantauan berbagai informasi digital via televisi juga telepon genggam. Penyebabnya saat ini ternyata dari udara. Wabah ini sebenarnya adzab. Wabah ini tengah mengingatkan siapa kita.” Aku mulai merasakan gejolak batin yang bergolak di kedalaman nuraninya.

Sebenarnya sejak Sholat subuh tatkala bang Aldi (saudara sepupunya) menginap ikut sholat berjamaah, mama meminta saya membacakan Al Qur’an terjemahan surat pembuka awal Al Fatihah. Pada saat ayat kelima, ‘Iyya kana’ buddu wa Iyya kanas tha’in,’ saya sudah mau menangis tidak tahan, tapi saya kuat-kuatin aja sampai akhirnya tak tertahankan pada saat sholat Tarawih tadi.” Tangisnya mulai pecah. Ia makin tak kuasa menahan kepungan emosionalnya.

Sebelum Corona ini aku udah bermimpi ditinggalin kalian semua. Mama bisa merasakan bagaimana perasaan orang dibiarkan percuma, dicuekin, dimasabodoin.” sepertinya aku mulai mendapatkan jawabannya.

Aku sedih, bingung juga takut. Seperti orang gak bisa bernafas. Seperti orang mau mati tidak ada kesempatan lagi. Padahal banyak hal yang belum saya perbaiki. Tapi sudah tidak ada waktu lagi.” Ia mulai tak ubahnya seperti anak kecil.

Aku berkali-kali sudah diberikan gambaran lewat mimpi untuk memperbaiki diri, untuk memperbaiki amalan-amalanku namun selalu saja kalah, dan terus saja terbujuk lagi dengan kemudahan-kemudahan.

Terus begitu sampai pada suatu saat aku berjumpa Falah teman tahfizku. Dia beruntung masih bisa dengan hobinya tapi selamat di dalam keimanannya karena mendapat amanah sebagai Qaid Majlis di cabangnya.

Pecah tangisannya yang memilukan saat dia menggenggam sangat erat kedua belah tanganku.

Sulit sekali untuk kembali ma…. Rasa sesak sulit bernafas tengah malam tatkala aku sakit merupakan azab Allah Ta’ala atas dosa-dosaku. Aku takut sekali saat itu baru hangat-hangatnya berita soal Corona yang gejalanya seperti yang aku alami. Aku terus berdoa dan mengingat arti mimpi itu, bisa jadi teguran saat aku ditinggalkan sendirian seolah-olah berkata, ya kamu rasakan itu.

Air mata terus mengalir dari kedua matanya menatapku sayu.

Aku tidak pungkiri bahwa ini terjadi berkali-kali hampir mati karena aku tidak merubah diri ma.. Aku tidak bersyukur atas musibah yang dialami untuk menjadikan hikmah dan petunjuk.” ia terus saja melakukan pengakuan dosa sambil menangis seolah ia benar-benar diazab Allah.

Makanya kadang aku suka bengong, berdiam diri, melamun memikirkan hal-hal yang terjadi. Aku masih saja lari dari tanggung jawabku sebagai seorang anak Ahmadi terutama yang pernah menjadi penghafal Al-Qur’an.”

Rizki anakku…

Kamu tidak boleh lari dari kenyataan yang ada bahwa kebersamaan kita di dalam Jemaat ini karena kehadiran kamu dalam rahim mama. Keberadaan papa dalam Jemaat karena kelahiran kamu. Kamu dan papa saling berkaitan, ketergantungan satu sama lain dalam ikatan ruhani yang sama, keimanan yang sama.

Kembalilah rujuk dengan Tuhanmu dengan mencinta kembali Kalam-Nya di bulan Ramadhan yang penuh dengan berjuta-juta berkah dan karomahnya.

Jadikanlah Qur’an mu itu kunci keberhasilan dunia dan akhiratmu. Bacalah dengan ikhlas, senang tanpa beban dan pelajari hikmahnya dari arti terjemahan dan tafsir. Agar hidupmu penuh arti menjadi seorang pemuda Ahmadi.

Mama minta dengan tulus agar bulan Ramadhan ini kamu khatamkan Al-Qur’an yang kamu genggam itu nak.
Cintailah ia sepenuh hati dan jiwa agar kamu diberikan jawaban setiap permasalahan yang ada dalam perjalanan hidupmu. Tangis isakannya mulai kembali sambil berucap “tolong bantu aku…”

Mama hanya minta satu hal tatkala mama nanti pergi meninggalkan dunia fana ini. Iringi ruh mama dengan lantunan Al-Qur’an mu ya nak.. Mama tidak meminta keberhasilan prestasi keunggulan Ilmu Teknologimu. Yang mama minta hanyalah anak yang mencintai Al-Qur’an sebagai tuntunan pedoman hidupnya dalam kapanpun, dimanapun. Dan mengamalkan ajaran nya.

Kamipun berpelukan erat sekali diiringi isak tangis antara seorang anak dengan bunda yang melahirkannya.

Aku bergumam dalam hati, “Inikah lailatul qadarmu nak? Beruntungnya dirimu mendapatkannya di awal.”

Visits: 48

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *