BUAH MANIS KESABARAN
Menjelang hari ke dua puluh dua, masa di mana keluarga kami masih harus taat untuk berada di rumah saja. Bukan hal yang mudah bagi pedagang kecil seperti kami, ketika kebutuhan pokok hanya bisa terpenuhi dari hasil berniaga, namun di luar sana masih menghadang bahaya wabah yang melanda bangsa.
Ketaatan kami kepada pemerintah adalah hal serupa yang kami lakukan terhadap anjuran khalifah. Tidak ada pilihan lagi, meskipun gundah diri kami memikirkan kebutuhan sesuap nasi.
Berdagang bagi keluarga kami, adalah satu-satunya harapan pemasukan untuk kebutuhan sehari-hari. Bukan bermaksud menentang perintah, tapi kami memang sudah tak tahu lagi harus bagaimana memenuhi kebutuhan rumah.
Kebutuhan pokok sehari-hari, beras dan lauk-pauk, bahkan pulsa dan kuota yang ikut melonjak karena sekadar untuk mengusir rasa bosan. Ditambah kebutuhan membayar uang sewa kamar kos untuk anak sulung kami yang tidak mungkin ditunda.
Jika kami tidak nekat berjualan, entah akan berapa lama lagi dapur bisa bertahan. Tapi jika kami melangkah keluar rumah, kami pun takut terjangkit wabah. Lagi-lagi, atas dasar ketaatan, tidak ada pilihan selain menelan bulat-bulat buah simalakama anjuran ‘di rumah saja’ ini.
Tanganku mengolah sisa beras yang ada menjadi sarapan untuk anak-anak pagi ini. Hanya tersisa segenggam saja, rasanya tak akan cukup untuk ditanak menjadi nasi. Maka kuolah beras yang tersisa menjadi bubur, agar bisa dinikmati untuk lebih banyak orang. Di tengah kalutnya pikiran, hanya sejumput doa yang bisa kuteriakkan dalam hati. “Ya, Rabb. Ya Rahmaan Ya Rahiim. Cukupkan makanan ini untuk anak-anakku.”
Keriangan anak-anakku menikmati bubur sudah membuatku mampu menahan lapar. Lamunanku buyar oleh dering ponsel yang berteriak. Dari seberang sana, suara orang yang sangat kukenal. Ibu Lina, seorang pekerja LSM di wilayah pemukiman ini, yang belakangan sering kutemui karena niatanku untuk bertablig.
“Bu, besok ditunggu, ya, di bank sampah unit ‘Sehati’” ujarnya.
“Wah, ada kegiatan apa, ya, Bu?” tanyaku
“Tidak ada kegiatan apa-apa, Bu. Hanya saja, kami sedang memilih di antara warga pemukiman ini yang sekiranya layak untuk mendapatkan bantuan sembako dari Gubernur Jawa Barat, karena perekonomiannya terdampak wabah covid. Ibu termasuk yang kami pilih. Besok diambil, ya, Bu, jam sembilan pagi di sini.” Lanjut Bu Lina dengan nada suara yang cerah.
Hati ini rasanya ingin meledak mendengarnya. Sedikit perhatian pemerintah adalah sebuah harapan besar bagi warga seperti kami. Belum selesai lisan ini mengucap syukur, lagi-lagi aku tercekat dengan suara ketukan pintu. Aku bergegas menghampiri dan menyambut sang tamu. Rupanya salah seorang tetangga, yang juga seorang guru di sekolah anakku.
“Teh, punten ini ada sedikit untuk anak-anak. Mohon diterima, ya, Teh. Kami sengaja bergotong-rotong mengumpulkan ini semua, sekadar untuk membantu meringankan beban keluarga.”
Allahu akbar, jeritku dalam hati. Mahabesar Engkau Ya Allah yang tetap mencukupkan rezeki bagi hamba-hambaMu. Anak-anak pun sangat senang melihat bingkisan yang datang. Segera direbutnya kantong plastic dari tanganku, dan seketika berhamburanlah kebahagiaan dari dalamnya.
Sekaleng sarden, mi instan, minyak goreng, dan juga … beras. Lutut ini terasa gemetar melihatnya. Kebutuhan pokok yang pagi tadi kurisaukan, terjawab seketika bahkan sebelum sampai ke siang.
“Hore, ada sardennya!” teriak girang si kecil mengiris relung hati ini. Tak terasa air mata menitik, tak tahu harus seperti apa lagi aku mengucap syukur.
“Assalaamualaikum.”
“Waalaikumsalaam.” Anak-anak menyambut salam bapaknya yang baru tiba dari masjid.
“Bu, ini ada dari masjid.” Sebuah kalimat saja, namun membuatku terpana.
Apa lagi ini, Ya Allah? Hanya mampu menggumam karena bibir ini terkunci. Ragaku dibuat lemas dengan rezeki yang bertubi-tubi. Sekarung beras, minyak goreng, terigu, dan sejumlah uang. Engkau ada Ya, Allah.
Engkau benar-benar hadir dan tidak membiarkan hambaMu lapar. Kami akan lanjutkan ketaatan kami kepadaMu, Rabb. Semoga Engkau pun segera mengangkat kembali wabah ini, dan mengampuni dosa-dosa kami. Aamiin.
Visits: 162
Masya Allah ikut menetes air mata membacanya
Terhafu biru bacanya
Contoh dr kesabaran dan ketawakalan berbuah manis serta kekuatan dr sebuah doa yg tulus dan ikhlas. Allah mendengar apa yg qta panjatkan, jd jgn menyerah pd keadaan. Dan jika doa mu blm terkabulkan tetap lah berdoa dan memohon, mgkn Allah sedang menyiapkan pengabulan doa mu yg lebih indah. Aamiin yaa Rabbal’alamiin