
Kebaikan Tanpa Paksaan
Depresi. Dampak psikis ini kini tengah dialami seorang anak perempuan di Bantul, Yogyakarta, karena mengalami kejadian tidak menyenangkan di sekolahnya. Ia dipaksa berjilbab oleh pihak sekolah, sebuah sekolah negeri yang sesungguhnya tak pernah ditetapkan peraturan wajib berjilbab bagi siswi-siswinya.
Yuliani, sang pendamping anak tersebut menceritakan kondisi sang anak kini. “Ya sudah mau keluar kamar, mandi. Ambil minum tetapi masuk lagi di kamar, kunci lagi,” kata Yuli[*]. Pemaksaan yang sebenarnya tak perlu–dan tak boleh dilakukan–harus menjatuhkan korban.
Yogyakarta hanya satu dari sekian wilayah yang mencatat adanya kasus-kasus serupa. Padang, DKI, dan Malang, sedihnya, ikut ambil bagian dari sebuah isu yang kini tengah hangat diperbincangkan dan diperdebatkan. Lagi-lagi, kita harus menyaksikan perundungan terjadi atas nama agama, atau atas nama ‘kebaikan’ versi entah siapa.
Islam yang saya kenal, cintai, dan yakini sepenuh hati, tak pernah membenarkan pemaksaan. Allah Ta’ala jelas berfirman, “Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh jalan benar itu nyata bedanya dari kesesatan.” (QS. Al-Baqarah 2: 257)
Sesuatu yang unggul, sesuatu yang agung, sesuatu yang benar, tak perlu jalan paksaan–apalagi kekerasan–hanya untuk sebuah pengakuan, pun ketaatan. Cahaya yang terang sangat nyata bedanya dengan kegelapan, sebagaimana jelas bedanya antara jalan yang benar dengan jalan yang menyesatkan.
Rasulullah SAW sendiri–dengan sabda maupun amalan hidupnya–dengan begitu jelas mencontohkan bagaimana paksaan tidak pernah menjadi bagian dari ajaran Islam. Walaupun beliau SAW adalah seorang pemimpin negara, tak ada satupun pemaksaan pernah beliau SAW contohkan dalam pemerintahannya.
Bila kemudian Muslimah di zaman Rasulullah SAW menaati sabda-sabda beliau SAW, termasuk dalam hal berpakaian, itu semata-mata karena mereka mengimani dan mencintai Allah dan Rasul-Nya sedemikian rupa sehingga mereka siap dan ingin berlomba-lomba untuk menaati setiap perintah yang disampaikan.
Ketaatan mereka terbangun atas dasar kesadaran, bukan karena paksaan. Ketaatan mereka terbangun atas dasar rasa cinta, bukan karena terpaksa. Sehingga amalan dan ibadah yang dilakukan pun didasarkan pada ketulusan, bukan ketakutan.
Pemimpin Dunia Jemaat Muslim Ahmadiyah, Hazrat Khalifatul Masih V Hazrat Mirza Masroor Ahmad a.b.a. pernah menegur pihak lelaki pada Jalsah Salanah Inggris 2014, yang meminta tamu perempuan non-Ahmadi untuk berjilbab.
Huzur a.b.a. menyatakan, “Laki-laki harus ingat bahwa mereka tidak diberikan kuasa untuk menghukum orang lain dan mereka harus mengendalikan diri. Bukanlah untuk mereka perempuan menutupi kepalanya. Laki-laki diperintahkan untuk menahan pandangannya, mereka harus memenuhi kewajiban mereka sendiri. Bahkan tidak ada satu perintah pun yang memaksa perempuan Muslim menutupi kepalanya, apalagi perempuan non-Muslim. Laki-laki semacam inilah yang memiliki pemahaman garis keras.”
Merupakan kecenderungan manusia untuk seringkali begitu menggebu ‘memancing pahala’ dengan mengurusi amalan manusia lainnya, ketimbang meningkatkan kualitas dan kuantitas amalan pribadi. Kecenderungan ini bahkan telah terekam dalam sebuah pepatah, “Gajah di pelupuk mata tak nampak, semut di ujung lautan nampak.”
Itulah mengapa Rasulullah SAW menyampaikan bahwa jihad paling besar adalah perang melawan hawa nafsu. Manusia lebih mudah dan lebih siap berperang dengan sesamanya. Tetapi ketika harus melawan nafsunya sendiri, peluang jatuh dan kalahnya jauh lebih besar.
Manusia pun begitu mudah jatuh ke dalam perasaan bahwa ia lebih baik daripada yang lain. Dan karena ia merasa lebih baik, maka ia merasa berhak menasehati dan menganjurkan–walaupun dalam bentuk paksaan–atas nama ‘kebaikan’, atau berlindung di balik kata-kata ‘sekadar mengingatkan’.
Islam memang mengajarkan umatnya untuk saling menasehati, saling mengajak dalam kebaikan, bersama-sama maju dalam kualitas dan kuantitas amal ibadah. Namun, semua harus dilaksanakan dengan cara yang sebaik-baiknya.
Menasehati tidak bisa–dan tidak boleh–disampaikan dengan paksaan. Menasehati ada adabnya. Menyampaikan kebenaran ada caranya. Dan paksaan bukan salah satunya.
Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, semoga kita semua senantiasa terus mengintrospeksi diri. Anak-anak kita, juga kita sendiri, berhak hidup merdeka di bumi yang tak penuh dengan pemaksaan dan penghakiman. Mereka berhak menjalani pertumbuhan yang sehat baik fisik, psikis, juga spiritual. Dan pemaksaan, apapun dalihnya, tak akan membawa kebaikan.
Referensi:
[*] https://m.kumparan.com/kumparannews/kondisi-terkini-siswi-sman-1-banguntapan-yang-diduga-dipaksa-berjilbab-oleh-guru-1yZ3ZohXNgC/1
Visits: 291