Keutamaan Mencintai Ilmu

Ibnu Sina, atau yang di dunia Barat dikenal dengan nama Avicenna, adalah seorang ilmuwan Islam yang dijuluki Bapak Kedokteran Dunia. Dia lahir tahun 980 di desa Afsyanah di wilayah Harmaytsan (masuk wilayah Afghanistan). Setelah Ibnu Sina beranjak besar, ia dan keluarganya pindah ke Bukhara. Di sinilah ia mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Ayahnya mendatangkan guru khusus Al-Qur’an dan guru Sastra Arab (Adab, Literatur) untuk mengajar kedua putranya. Menurut Ibnu Sina, saat dirinya genap berusia 10 tahun, dia telah hafal Al-Qur’an serta berbagai teks sastra lainnya. Ibnu Sina juga pernah dikirimkan ayahnya kepada seorang pedagang herbal yang menguasai aritmetika Hindia sehingga dia pun dapat mempelajari ilmu tersebut darinya.

Selain belajar aritmatika Hindia, Ibnu Sina juga kerap mendatangi Ismail al-Zahid, seorang sufi dan ulama madzhab Hanafi yang terkenal di Bukhara, untuk belajar fiqih dan yurisprudensi, hingga mahir untuk melakukan pembelaan hukum sesuai kebiasaan zaman itu. Tidak lama dari itu, setelah pendidikan agamanya dirasa cukup, seorang filsuf bernama Abu Abdullah An-Natili datang ke Bukhara dan tinggal di rumah keluarga Ibnu Sina atas undangan ayahnya, dengan imbalan mengajar filsafat kepada Ibnu Sina. (Wikipedia)

Ibnu Sina begitu mencintai ilmu. Dia bercerita:
Hampir setiap malam saya selalu berada di kamarku dengan lampu yang menyala, dan menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis. Manakala merasa ngantuk atau lelah, biasanya saya istirahat sejenak dan menghabiskan segelas sirup [herbal] hingga kekuatan saya kembali pulih, dan kemudian saya akan meneruskan melahap buku-buku. Setiap kali saya tertidur karena kantuk, saya kerap memimpikan masalah-masalah yang sedang dihadapi hingga ke akarnya. Dan sungguh, betapa banyak masalah menjadi jelas duduk perkaranya dalam mimpi (ru’ya) saya. Semua itu saya jalani hingga saya benar-benar menguasai berbagai cabang filsafat, dan saya memahaminya sejauh yang bisa dicapai oleh seorang manusia. (Wikipedia)

Kecintaannya kepada ilmu telah mengantarkan Ibnu Sina kepada kegemilangan dengan 450 karya yang ditulisnya dari berbagai bidang ilmu: filsafat, metafisika, dan kedokteran. Karya terbesar Ibnu Sina adalah Kitab Al-Syifa dalam bidang kedokteran. Lima puluh tahun setelah ditulis, Kitab Al-Syifa sudah beredar di Eropa dalam terjemahan parsial dalam bahasa Latin dengan judul Sufficientia. (Wikipedia)

Pengaruh Ibnu Sina dalam keilmuan dunia begitu besar hingga ribuan tahun setelah kewafatannya. Tentu ketika menjalani semua ini, Ibnu Sina tak punya ambisi dan tak pernah menyangka bahwa dirinya akan menjadi salah satu tokoh besar Islam yang diingat sedemikian rupa oleh dunia. Ibnu Sina menjalani semua proses pendidikannya semata-mata karena ia begitu mencintai ilmu dan segala proses untuk mendapatkannya.

Dalam berbagai kesempatan, Hadhrat Rasulullah saw. menekankan betapa pentingnya ilmu. Salah satunya, beliau saw. bersabda, “Jadilah engkau orang yang berilmu (pandai) atau orang yang belajar, atau orang yang mendengarkan ilmu atau yang mencintai ilmu.” (HR. Baehaqi)

Keimanan dan keilmuan sesungguhnya saling terkait satu sama lain. Bila keduanya bertentangan, tidak mungkin Hadhrat Rasulullah saw. menekankan keilmuan kepada umatnya. Beliau saw. selalu menekankan betapa pentingnya ilmu dan betapa mulianya orang-orang berilmu. Ini adalah petunjuk yang jelas bahwa keilmuan dan keimanan sesungguhnya adalah sahabat dalam kehidupan yang saling mendukung satu sama lain.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s bersabda, “Definisi ilmu ialah sesuatu yang memberikan pengetahuan yang menimbulkan keyakinan. Sedangkan pengetahuan yang menimbulkan keyakinan itu tidak mungkin ditemukan di dalam kumpulan kontradiksi.” (Filsafat Ajaran Islam, hlm. 193)

Mengenai sains dan agama, beliau a.s. juga menjelaskan, “Sama-sekali tidak terdapat pertentangan antara sains dan agama. Justru agama itu benar-benar bersesuaian dengan sains. Dan betapapun hebatnya sains mencapai kemajuan, tetapi tetap saja sama-sekali tidak dapat mendustakan ajaran Al-Qur’an dan prinsip-prinsip Islam.” (Malfuzat, jld. X, hlm. 434-435)

Terdapat periode emas dalam Islam ketika bermunculan para ilmuwan Islam yang menemukan berbagai keilmuan dunia berdasarkan pemahamannya terhadap firman-firman Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an. Dan dengan karunia Allah Swt, mereka menjadi tokoh ilmuwan dunia yang tidak saja keilmuannya dipelajari, tetapi namanya terus diingat hingga ribuan tahun setelah kewafatannya.

Hal ini membuktikan bahwa baik ilmu dan keimanan sejatinya berjalan seiring sejalan. Tanpa mencintai ilmu, tanpa semangat untuk belajar dan meningkatkan pemahaman, mustahil manusia bisa mengamalkan apa yang difirmankan Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an. Semoga kita mendapat karunia menjadi orang-orang yang senantiasa bersemangat dalam mencari dan mencintai ilmu. Aamiin.

Visits: 98

Lisa Aviatun Nahar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *