
Alam pun Menangisi Kepergian Bapak Amir Nasional
Hari Sabtu sore, tepatnya tanggal 8 Oktober 2022, selepas shalat Ashar, anak perempuanku berlari dan menghampiriku sambil memegang erat ponselnya, “Pak, Bu, Pak Amir meninggal.” Ia memastikan kembali beritanya dengan membaca ulang pesan di WhatsApp.
Ketika aku membuka ponselku, benar saja. Semua grup WhatsApp dipenuhi kabar telah berpulangnya pemimpin kita yang tercinta, Bapak Mln. H. Abdul Basit, Shd. Dengan gemetar dan perasaan yang berkecamuk, aku membaca satu persatu pesan tersebut.
Ponsel pun tak berhenti berdering, sebuah tanggapan dari ratusan orang yang berbeda dengan pesan yang sama; “Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Secerah dan sesejuk apapun hari itu, namun terasa begitu gelap dan dingin. Hati menolak untuk percaya pada apa yang sedang terjadi, namun ini merupakan ketetapan-Nya. Berita itu sangat menyakitkan hingga tak terasa air mata membasahi pipi. Do’a di dalam shalatku, aku khususkan untuk beliau. Seorang pemimpin yang begitu teduh, bijaksana dan berwibawa.
Hari itu sedang berlangsung banyak acara, baik di pusat maupun di cabang. Acara di Pusat sedang dilaksanakan MM (Majelis Musyawarah) yang bertempat di Gedung LI Parung. Dan di setiap cabang sedang berlangsung serah terima jabatan pergantian mubalighin.
Semua yang mendengar berita itu tidak menyangka Bapak Amir tercinta meninggalkan kita untuk selamanya. Rasanya, setiap acara menjadi kehilangan intinya. Meski tanpa saling berucap dan bertatap, tapi kami tahu bahwa pikiran kami saat itu dipenuhi kesedihan dan ketidakpercayaan.
Berita ini mengingatkanku pada satu kenangan di mana aku bertemu beliau ketika acara peresmian Masjid An-Nushrat Banjaran pada Oktober 2001 lalu. Juga, pada kesempatan lain ketika beliau datang berkunjung ke Cirebon pada bulan Agustus 2022.
Sebelum beliau sakit, Pak Amir beserta keluarga berkunjung ke cabang Cirebon. Rencananya mereka akan bermalam di hotel. Tapi mendadak beliau memutuskan untuk tidur di Guest House dan anak cucunya sebagian tidur di rumah misi.
Kami bercengkrama tentang banyak hal. Tak berbeda dengan sebelumnya, wajah beliau putih bersih bercahaya. Keteduhannya menggambarkan kebeningan nuraninya. Tutur katanya seakan selalu diiringi dengan dzikir, membuat siapa pun yang mendengarnya menjadi sejuk.
Istri beliau berkata pada menantuku (Neng Yani), istri Mubaligh Daerah Mln. Chepy Sofyan Nurjaman, “Maaf ya, Neng. Ibu udah ngerepotin Neng sekeluarga.”
“Enggak apa-apa, Bu. Enggak ngerepotin. Enggak setahun sekali ini main ke sini,” jawab Neng Yani.
Setelah beliau dan keluarganya bermalam di Rumah Misi Cirebon, siangnya beliau berpamitan untuk kembali pulang ke Parung.
Setelah beliau naik ke mobil, tiba-tiba beliau turun lagi dan bersalaman kembali dengan Mln. Chepy. Beliau mengucapkan kata-kata yang menurut Mln. Chepy aneh. Pak Amir berucap, “Maafkan saya ya, Chepy, sudah merepotkan. Kemungkinan kita enggak bisa bertemu lagi.”
“Mungkin karena saya mau pindah ke cabang Manislor”, gumam Mln. Chepy dalam hati. Ketika Mln. Chepy belum selesai dengan terkaan akan kalimat Pak Amir, Pak Amir kembali mengucapkan kata-kata terakhirnya pada Mln. Chepy, “Selamat sejahtera di tempat yang baru.”
“Jazakumullah, Pak, untuk doanya,” balas beliau.
Sejak kepulangan Pak Amir, Mln. Chepy tidak berhenti berpikir kenapa Pak Amir berkata seperti itu. Selalu ditepisnya pikiran-pikiran negatif mengenai “apakah ini pertanda?”. Selalu dibuang jauh-jauh pikirannya itu.
“Ah, mungkin karena saya mau pindah tugas ke Manislor!” Mln. Chepy selalu menegaskan dengan dialog tersebut pada pikirannya.
Sejak terakhir pertemuan itu Mln. Chepy selalu cemas akan kesehatan Pak Amir, apalagi hubungannya dekat dengan Pak Amir. Sejak saat itu, setiap saat ia monitor perkembangan kesehatan Pak Amir. Rasanya ingin besuk ke rumah sakit tapi belum diizinkan untuk menjenguk.
Sampai berita itu datang, bahwa Pak Amir sudah berpulang, rasanya antara percaya dan tidak percaya, tapi kenyataannya memang pak Amir sudah menghadap Ilahi Robbi.
Memang usia itu rahasia Allah SWT dan kematian sudah menjadi kepastian, sebagaimana yang terkandung dalam Q.S Al-Waqi’ah, “Kami telah menentukan kematian masing-masing kamu dan Kami tidak lemah.” (QS. 56:60)
Namun, berpulangnya orang baik akan terasa menyesakkan. Sore menjelang malam, langit pun turut berduka melepas kepergian beliau. Sebuah hadits menyatakan, “Tidak ada seorang mukmin pun yang meninggal dunia, kecuali langit dan bumi akan menangisinya selama empat puluh pagi (hari).”
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kepulangan seseorang yang shaleh tidak hanya membuat manusia menangis, namun alam pun turut meratapi. Langit kehilangan seseorang yang senantiasa selalu mengudarakan dzikir dan asma-Nya. Begitupun bumi, ia kehilangan seseorang yang selalu merengkuhnya dengan sujud.
Di hari ke-4 ini, pesan WhatsApp masih dipenuhi belangsukawa. Bahkan mungkin akan berlanjut hingga ratusan bahkan ribuan hari berikutnya. Kepergiannya menjadi duka mendalam, karena begitu banyaknya kebaikan yang telah beliau patri di setiap hati para Ahmadi, bahkan semua orang.
Kami semua hanya dapat berdo’a semoga beliau diterima di surga keridhoan Allah SWT. Aamiin YRA.
.
.
Editor: Lisa Aviatun Nahar
Hits: 393
jazakumullah tulisannya bu, mubarak ….selalu enak dibaca