
Benahi Hati dengan Mengikis Prasangka
Allah Ta’ala menganugerahkan manusia sekerat daging bernama qalbu (hati), yang menjadi sumber penentu segala kebaikan. Layaknya sumber mata air yang mengalirkan airnya ke seluruh penjuru sungai, hati pun mengalirkan cerminannya melalui akhlak dan perbuatan.
Jika sumbernya tercemari kotoran, tentulah alirannya akan membawa kotoran tersebut hingga akhir. Begitupun ketika hati dipenuhi perasaan tidak baik, itu akan selalu terbawa dan mempengaruhi perbuatan lahiriyah kita.
Sejak dulu, Rasulullah selalu mengingatkan umatnya mengenai pentingnya mengelola hati, salah satu sabdanya yaitu, “Iman seseorang tidak akan lurus (benar) sebelum hatinya lurus.” (Al-Musnad, hadits no.13079)
Bahkan, di dalam Al-Qur’an Karim, perihal hati (al-qalb) ini sering kali disebut. Begitu pentingnya menata hati agar tidak tergelincir pada arah keburukan. Sekali kita membiarkan keburukan tumbuh di dalam hati kita, maka keburukan itu dengan cepat menjalar dan mengakar.
Sama halnya dengan wawasan yang tidak bisa kita dapatkan begitu saja ketika dilahirkan, begitu pula kebersihan hati yang tidak dapat dengan mudah kita raih tanpa adanya upaya untuk menjaganya tetap bersih. Dan untuk mencapainya, diperlukan keteguhan tinggi dan konsistensi, karena bagaimanapun, jalan menuju perbaikan selalu penuh duri.
Di tengah perjalanan, akan banyak keburukan yang menghampiri dan menawarkan untuk sejenak menepi dari jalur ‘memperbaiki’. Hingga, tidak sedikit yang akhirnya menyerah dan memilih menuruti kondisi hati yang membuatnya hilang arah.
Salah satu penyakit hati yang merontokkan kebaikan-kebaikan dalam diri yaitu berburuk sangka. Meskipun hal ini merupakan kondisi naluriah kita sebagai manusia, namun, menuruti bisikan hati yang tidak benar sama saja dengan membiarkannya digerogoti oleh penyakit. Melalui firman-Nya, Allah menekankan dalam Surah Al-Hujurat ayat 12 bahwa sebagian dari prasangka adalah dosa.
Prasangka buruk yang tidak diabaikan akan melahirkan persoalan negatif, baik secara eksternal maupun internal. Jika prasangka itu dipupuk di dalam, maka berburuk sangka akan menjadi kebiasaan. Jika itu sampai dikeluarkan melalui ungkapan, maka akan menjadi bumerang yang merugikan.
Di era modern ini, begitu mudahnya kita tergelincir pada dosa karena prasangka. Pada linimasa dunia maya, dengan mudahnya kita menuliskan berbagai ungkapan atas dasar prasangka, yang bahkan kebenarannya pun masih mengambang.
Sebagai contoh, seorang netizen akhirnya dilaporkan oleh aktris ternama karena tak henti-hentinya mencibir anak batitanya. Ketika diciduk, netizen itu memaparkan bahwa ia berbicara demikian hanya karena memiliki firasat bahwa (dilihat dari wajahnya) anak aktris tersebut mengidap keterbelakangan mental.
Kejadian itu menjadi pengingat bahwa rendahnya kemampuan mengendalikan prasangka mengantarkan kita pada kesengsaraan. Terus menerus mengikuti prasangka akan menimbulkan kebobrokan pada nurani, lama kelamaan, kebiasaan ini tidak lagi terasa seperti dosa.
Kotoran yang melekat pada hati menggelapkan cahaya kebenaran, sehingga mata hati kita akan buta terhadap hal-hal ma’ruf. Seiring bertumbuhnya kotoran, kadar keimanan kita tentu kian menurun. Berawal menuruti prasangka, berujung menjadi petaka yang menjauhkan kita dari sifat-sifat Allah Ta’ala.
Jika ditelaah lebih lanjut, tindakan memenangkan prasangka buruk mendatangkan dosa-dosa lainnya. Seperti contoh kasus di atas, tidak mengabaikan prasangka saja sudah menjadikannya berdosa, namun tidak berhenti di sana, ia mengiringinya dengan menyakiti hati orang lain dengan lisannya. Bahkan, lebih dari itu, ia–mendekati pada–menghina ciptaan Tuhan karena fisiknya. Na’udzubillahimindzalik!
Ini menjadi tali relevansi terkait keimanan yang berbanding lurus dengan bersihnya hati. Sebagian ulama percaya bahwa landasan keimanan seseorang terletak pada hatinya, karena hatilah yang mewadahi tumbuh kembangnya keimanan pada Allah. Ketika hati dijaga bersih (lurus), perasaan was-was selalu memenuhi hati; apakah langkah/perbuatan ini ada pada jalan keridhaan-Nya?
Jika kita selalu terperdaya prasangka hingga meluapkannya lewat kata-kata lalu tenggelam dalam buaian dosa, bagaimana mungkin Dia akan suka? Karena barometer keimanan seseorang di mata Allah adalah menjauhnya ia dari hal-hal yang tidak Dia sukai.
Salah satu cara untuk menghindari prasangka buruk adalah dengan menyelimuti hati dengan bertafakur. Memfokuskan hati pada segala nikmat dan karunia-Nya akan mengikis hal-hal laghw lain yang timbul secara tiba-tiba di dalam hati. Sehingga, celah keburukan akan tertutup karena kita tidak memiliki waktu untuk melebarkan jalannya, menit demi menit tersita untuk mengingat-Nya.
Semoga kita mampu menyerap serta mengamalkan keindahan sifat-sifatNya. Aamiin.
Views: 138