Pengkhidmatan Seorang Pramurukti
Rasulullah saw. bersabda, “Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Bahkan pada saat memandikan jenazah sekalipun, kita harus merahasiakan aib yang ada pada tubuhnya.
Pramurukti adalah seorang pahlawan kemanusiaan. Dia adalah manusia yang bekerja menjual jasa. Rata-rata bukan karena kemauan, lebih tepatnya karena keadaan. Keadaan ketika dia harus menjalani kehidupan demi kebutuhan. Di sisi lain dia melakukan pekerjaan ibarat pahlawan-pahlawan tanpa pengakuan, yang terus bekerja dan berusaha untuk memanusiakan manusia yang berstatus lansia.
Meskipun bukan seorang dokter yang telah memiliki ikatan resmi seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia), pramurukti juga dituntut untuk menjalani sumpah satir meskipun tidak tertulis resmi, sebagai undang-undang. Namun, pramurukti menjalankan sumpah satirnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang selalu menjaga etika, meskipun sumpah itu tidak diucapkan. Sumpah setia untuk tidak akan menceritakan keburukan atau kekurangan setiap (pasien) lansia yang diurusnya.
Malam itu ada penawaran, sekaligus sebuah permintaan untuk merawat lansia yang mengalami sakit stroke, diabetes, plus gatal-gatal di seluruh badan. Lebih parahnya lagi, pasien mengalami masalah kelebihan berat badan. Lengkaplah sudah! Dia total tidak bisa bergerak ke mana-mana alias tergeletak pasrah di atas tempat tidur. Padahal selera makan masih kuat dan normal.
Setelah meminta izin kepada keluarga tentunya, sang pramurukti pun memutuskan untuk menerima tawaran menjadi perawat lansia yang sedang berjuang melawan sakit tersebut. Telah terjadi kesepakatan dia akan berangkat menuju tempat lansia sekitar jam 14.00 WIB.
Di luar dugaan, ternyata jemputan datang lebih awal dari perjanjian. Setelah melaksanakan salat Zuhur, tepat pukul 13.30 WIB, sang pramurukti berangkat menuju kota tempat tinggal pasien atau lansia. Tepat pukul 15.00 sampailah dia di tempat tujuan. Setelah istirahat sekitar 5 menit, dia langsung menuju kamar pasien.
Ternyata di kamar dan rumah ini, tepatnya sebelas tahun yang lalu, sang pramurukti pernah merawat seorang lansia perempuan juga. Dengan sukarela, tanpa embel-embel apa pun. Sementara kali ini berbeda. Yang dijalani sang pramurukti saat ini benar- benar karena sebuah kebutuhan.
Ternyata telah banyak perubahan, kini keadaan rumah ini lebih condong hanya sebagai tempat praktek atau klinik, bukan lagi rumah sakit untuk rawat inap seperti dulu. Tapi karena setiap hari ada yang mengurus dan membersihkan, jadi masih tetap rapi dan layak untuk ditinggali.
Setelah ditunjukkan apa saja tugas seorang pramurukti, tibalah saatnya berkenalan dengan si pasien lansia. Sangat-sangat di luar dugaan, ternyata lansia tersebut sudah benar-benar memprihatinkan keadaannya. Dia perempuan yang hidup sebatang kara, tidak ada anak ataupun suami yang menemani. Selama ini dia hidup berdekatan dengan para saudara kandungnya, yang kebetulan dia adalah yang paling tua di antara saudara mereka.
Setelah mengobrol beberapa saat, terdengar suara tarhim, yaitu suara di masjid yang sedang menunggu waktu adzan. Entah di masjid sebelah mana, pramurukti tidak mengetahui. Tiba-tiba tersirat di dalam hati, sebelum waktu azan tiba, sebaiknya harus mengurus pasien dulu sebelum menjalani shalat Ashar, mengingat segala sesuatunya pasti sudah bisa dibayangkan.
Ternyata benar adanya, pasien yang harus ditangani butuh penanganan ekstra, yang tidak semua orang bisa. Tidak perlu diceritakan. Karena sekali lagi, pramurukti telah berjanji dalam hati seperti telah bersumpah satir, yaitu sumpah yang tidak pernah dia ucapkan.
Setelah diurus sekitar hampir dua jam, beres semua. Pasien minta diluruskan kakinya, katanya sakit. Begitu juga dengan kepalanya minta dinaikkan di atas bantal. Setelah dirasa cukup dan beres semua soal pasien, pramurukti izin untuk mandi sekaligus mencuci pakaian pasien. Setelah segala sesuatunya beres, pramurukti melakukan shalat Ashar. Meskipun telat beberapa saat. Pramurukti pun berpamitan untuk shalat.
Ternyata menjadi seorang pramurukti begitu berat dan sangat luar biasa. Pikiran jadi melayang ke mana-mana. Teringat orang tua yang telah tiada. Bersyukur orang tua tidak begitu menyusahkan anak-anaknya. Meskipun mengalami sakit, namun tidak begitu lama tergeletak di atas tempat tidur, karena masih bisa beraktivitas sebelumnya.
Kebetulan situasi sedang bulan puasa, habis shalat dilanjutkan dengan mengaji, tadarus Al-Qur’an di bulan puasa. Tidak lupa sebelum shalat, sang pramurukti melakukan pengecekan terhadap pasien yang ditinggalkan sendirian. Belum ada 30 menit mengaji, salah satu keluarga berteriak memanggil Pramurukti.
“Ibu-ibu kenapa nenek ini?” tanya ibu dokter terlihat panik. Pramurukti mendekati pasien, setelah diperiksa ternyata pasien telah tiada. Sang pramurukti merenung kembali. Tadi saat shalat, dia telah menangis sejadi-jadinya, merasa bersalah terhadap orang tua yang telah tiada. Meskipun orang tuanya tidak sempat sakit parah, namun tetap saja membuat dirinya bersedih. Ternyata mengurus lansia yang sedang sakit, apalagi sakit parah adalah hal yang sangat berat dijalani.
Teringat obrolan dengan sang lansia saat pramurukti memandikan tadi. Pasien sempat bertanya, “Kamu tak jijik mengurus aku? Terima kasih kamu telah mengurusku.” Pramurukti menjawab apa adanya, dengan penuh keikhlasan. Lalu berpamitan untuk mandi. Ternyata pertanyaan yang dia ajukan pada sang pramurukti adalah pertanyaan yang pertama dan terakhir kali.
Di situ ternyata diperlukannya sumpah satir bagi seorang pramurukti (perawat lansia). Dia harus ikhlas menjalankan tugasnya tanpa ada kata-kata yang terucap. Wallahu alam bishawab.
Visits: 78
Mubarak tulisannya Ibu
Jazakumullah Ibu, tetap semangat ya, sehat selalu.