Cinta dan Tenteram yang Kutemukan dalam Bahtera Jemaat Muslim Ahmadiyah

Saya adalah seorang Mubayyin Baru sejak 2018 lalu. Saya berprofesi sebagai guru honorer di sekolah swasta di Jakarta Selatan dan Depok. Awal saya mengenal Ahmadiyah, yaitu dari seorang perempuan Ahmadi yang saya kenal melalui media sosial yang juga bagian dari komunitas Penyayang Kucing. Saya main ke rumahnya dan di sana saya melihat sebuah potret seseorang yang dinobatkan sebagai Ahmadi pertama Tanah Minang, Sumatera Barat, yang ternyata merupakan kakek dari teman saya tersebut.

Perangai seorang kakek di potret itu ada yang berbeda. Sepulang saya dari rumahnya, saya langsung mencari banyak informasi mengenai Ahmadiyah via internet. Saya terkejut ketika menemukan bahwa ada informasi yang menyatakan bahwa Ahmadiyah telah banyak “dikafirkan” oleh sesama muslim di dunia. Tidak jarang pula rumah bahkan rumah ibadah mereka juga dirusak dan dibakar oleh sesama muslim pula. Yang lebih membuat sedih sekaligus murka, tidak sedikit muslim Ahmadi dibunuh karena “fatwa” egois yang menyebut “Ahmadiyah adalah sesat, Ahmadiyah bukan Islam.”

Sekitar bulan Juni, saya berbai’at menjadi Ahmadi di bawah tuntunan Mubaligh Daerah Provinsi DKI Jakarta, yaitu Maulana Iskandar Gumay di Masjid Al-Hidayah di Jakarta Pusat. Saya juga merasakan jatuh cinta pada perangai beliau yang begitu bijak, bersahaja, seakan-akan bersinar. Di saat berbai’at saya juga merasakan kenyamanan yang berbeda hingga tidak sadar meneteskan air mata. Saya juga memperoleh buku yang bagus untuk dibaca untuk sekedar mengetahui lebih dalam mengenai Ahmadiyah. Terasa sesak di dada, juga sedih pada saat saya hendak pamit meninggalkan Masjid selesai prosesi bai’at tersebut.

Tidak lama kemudian, saya diajak ke acara perhelatan agung Ahmadiyah yang diselenggarakan satu tahun sekali, yaitu Jalsah Salanah. Sebagai Mubayyin, sebutan untuk Ahmadi yang baru berbai’at, saya sangat canggung berada dalam keramaian. Lambat laun saya merasakan kenyamanan yang berbeda. Sejujurnya, saya adalah pribadi yang introvert, akan sangat lelah berada dalam keramaian, tapi tidak dalam Jemaat Ahmadiyah.

Amat disayangkan setelah berbai’at dan Jalsah Salanah itu, saya sulit mendapatkan waktu luang untuk mempelajari lebih lanjut mengenai Ahmadiyah. Tidak lama, saya hendak berpindah kemajelisan ke Masjid Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, agar dapat lebih dekat karena saya juga bekerja di SMA negeri sekitar Kebayoran Lama sebagai guru pelatih ekstrakurikuler Bahasa Jepang. Saya juga belajar dan berusaha bagaimana caranya agar saya dapat melakukan pengorbanan harta dengan sebagian rezeki yang disebut dengan candah.

Perhelatan selanjutnya yang saya ikuti, yaitu Jalsah Muslih Mau’ud, yaitu sebuah acara yang mengenang Khalifah Islam Ahmadiyah yang kedua. Saya sangat tersentuh, bahwa Ahmadiyah benar-benar memuliakan para kaum hawa, karena Khalifah Ahmadiyah kedua tersebut mendirikan sebuah wadah komunal internal dalam Jemaat, yaitu Lajnah Imaillah. Jatuh cinta saya kepada Ahmadiyah semakin dalam rasanya.

Untuk mengekspresikan cinta saya kepada Ahmadiyah, saya benar-benar luangkan waktu untuk berbakti kepada Ahmadiyah dengan menjadi bagian dari kepanitiaan Kursus Pendidikan Agama di Masjid An-Nashir di Parung, Bogor, pada tahun 2019. Saya merasa lebih dekat dengan sesama pemuda Ahmadi yang disebut dengan Khuddam. Sejak saat itu, terjalin komunikasi yang begitu nyaman dengan sesama Khuddam.

Sejak kedekatan saya kepada Ahmadiyah dengan memusatkan diri kepada Masjid Al-Hidayah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, saya selalu mencuri kesempatan untuk bertandang ke masjid tersebut, yang dimulai dari shalat Jumat bahkan shalat wajib lainnya dengan berjamaah.

Di tahun yang sama, Ahmadiyah menggelar Jalsah Salanah di masjid yang berada di Kebayoran Lama tersebut. Bahagia, seru saya rasakan saat banyak anggota jemaat hadir. Apalagi pada saat “bintang tamu” melakukan monolog. Di antara mereka ada yang bukan bagian dari Jemaat, beliau-beliau adalah simpatisan yang mendukung perbedaan dalam persatuan. Mereka hanya mengungkapkan pendapatnya mengenai Ahmadiyah. Selain para tokoh simpatisan, dalam acara jalsah itu disampaikan ceramah dari para Mubaligh yang menyampaikan banyak pencerahan, semuanya begitu menenangkan hati.

Kabar membahagiakan saya peroleh ketika saya mendapatkan pekerjaan menjadi guru honorer bahasa Jepang di SMK swasta di Kebayoran Lama juga. Saya mengingat satu hal. Saya sempat mengirimkan surat kepada Hazrat Khalifatul Masih V aba., yang berisi permohonan bantuan doa agar saya memperoleh pekerjaan tambahan apapun, yang penting halal. 

Dengan begitu, saya dapat melakukan candah secara lebih lagi walau penghasilan sebagai guru honorer masih jauh dari kesejahteraan secara lahiriah. Cinta saya semakin dalam tak terkira saat itu, di mana setiap sepulang mengajar di SMK maupun sepulang mengajar ekskul di SMA yang berdekatan, saya selalu menyempatkan waktu ke masjid, tempat para Ahmadi berkumpul, sementara meredakan penat setelah bekerja.

Pada tahun 2020, saya diamanahkan untuk menjadi bagian dari kepanitiaan Wisata Tarbiyat yang diadakan oleh kemajelisan cabang Kebayoran Lama di sebuah komplek villa di bilangan Puncak, Bogor. Walaupun pada saat itu dunia bahkan Indonesia mulai dihantam pandemi covid-19, acara berjalan dengan lancar, meskipun dengan protokol kesehatan seadanya karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) belum diterapkan.

Lelah tapi menyenangkan, capek tapi menenangkan. Setelah acara berakhir, saya merasakan rindu yang amat sangat dalam karena PSBB mulai digaungkan. Shalat berjamaah di masjid dilarang oleh pemerintah, juga berkerumun pun dilarang. Tidak lama kemudian, Hazrat Khalifatul Masih V aba. menyampaikan pesan penting kepada Jemaat bahkan kepada seluruh dunia, agar orang-orang mematuhi peraturan pemerintah tiap negara dalam menangani pandemi covid-19 ini. Karena pandemi ini layaknya sebuah api yang destruktif, semua orang wajib menjauhinya.

Rasa bosan melanda, ancaman pengurangan penghasilan pun ikut menyertai selama pandemi covid-19 yang berat ini. Tapi tahun ini saya mendapat kabar mengenai Jalsah Salanah yang diadakan di London, Inggris, meski hanya berkesempatan menyaksikannya secara daring. Saya menyaksikan online streaming siaran langsung di kanal youtube resmi MTA Indonesia. Saat video persiapan, saya merasakan sangat campur aduk, antara sedih, terharu, bahagia dan bangga.

Sedih saya rasakan karena tidak dapat menyaksikan Hazrat Khalifatul Masih V aba. secara langsung. Jalsah di Indonesia juga belum memungkinkan. Untuk sementara ini agak mustahil bertemu secara langsung dengan sesama khuddam, para mubaligh nan bijak, dan anggota jemaat lainnya.

Tapi, rasa haru tetap terasa di hati kala menyaksikan dan menyimak segala khutbah yang Huzur sampaikan dengan perlahan. Apalagi saat membahas mengenai kejujuran, pada hari pertama Jalsah Salanah. Kejujuran dalam hidup amat sangat penting meskipun menyakitkan hati, namun dengan iman dan takwa jangan sampai jiwa tersakiti. Bagaimanapun juga, setelah adanya kejujuran yang dituturkan, semua orang pasti paham bagaimana melanjutkan hidupnya dengan lebih baik, juga demi masa depan yang lebih baik pula.

Rasa bahagia dan bangga saya rasakan karena saya kini merupakan bagian dari Jemaat Muslim Ahmadiyah, sebuah organisasi Islam yang begitu tenteram, yang jarang bahkan bisa jadi tanpa ada konflik internal yang berarti. Namun, rasa malu saya rasakan saat di video kedua menampilkan kesan dan pesan yang disampaikan oleh Nyonya Karina Swett yang merupakan pemimpin sebuah yayasan, Lantos Foundation, yang bergerak dalam bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia. 

Beliau mengatakan bahwa perilaku dan sikap Huzur merupakan cerminan para Ahmadi. Akan tetapi saya merasa kecil hati karena masih dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk berkhidmat lebih dalam lagi, bahkan berkhidmat untuk kemanusiaan di bawah naungan Human First dan lain sebagainya.

Saya selalu berdoa, berharap, dan berupaya bagaimana caranya saya berkhidmat walau sekecil apa pun itu. Karena saya merasakan hidup yang lebih bersemangat saat berada di antara para Ahmadi yang cinta damai.

Di hari terakhir Jalsah Salanah ini, saya merasakan rindu yang lebih dalam lagi untuk bertemu dan berkumpul dengan teman-teman sesama Ahmadi. Saya memiliki impian, semoga saya dapat berkhidmat secara lahir dan batin, dengan sebaik-baiknya kepada Jemaat, khususnya langsung kepada Huzur di tempat kediamannya di Inggris sana. Saya juga memohon doa dari Huzur agar impian saya terlaksana, menjadi bagian dari Ahmadiyah yang semakin besar langsung di pusatnya, dekat dengan Huzur, keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Semoga dengan tuturan kata saya yang masih tidak seberapa ini dapat menunjukkan kejujuran hati saya, sehingga mampu menggerakkan hati mereka yang belum mengenal Ahmadiyah. Juga, semoga semua anak Adam, umat manusia di seluruh dunia selalu dalam keadaan sehat dan damai. Aamiin. 

Visits: 260

Firmansyah Defri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *