Kelahiran Anak Pertama, Buah dari Sabar dan Doa
Skenario ini datang dari Allah Ta’ala. Dimana menurut saya ini bagian terindah selama 28 tahun menjalani kehidupan yang fana.
Kisah ini berawal dari berbagai buah bibir mengenai pernikahan kami yang tengah memasuki usia ke-5 tetapi belum mendapatkan keturunan. Memang tak bisa dipungkiri kegelisahan itu hadir, namun bergulung dengan kesedihan yang berlebihan, telah kami tetapkan bukan bagian kami. Berbagai macam testimoni, dari yang memberikan support sampai yang membuat “down” sudah saya telan bulat-bulat.
Teringat suatu ketika usia pernikahan baru menginjak tahun ketiga. Seseorang mengatakan ini kepada saya, “Wah susah kalo suka kucing mah, ga bakalan punya anak. Ada dulu juga yang seperti itu, sampai tua tidak mempunyai keturunan.”
Ucapan sepele tersebut menghantam perasaan saya dan tak saya ceritakan kepada siapapun bahkan suami sendiri. Begitu tiba waktu shalat, saya menangis sejadi-jadinya di hadapan Allah Ta’ala, mengemis, berurai air mata.
Sampai pada pagi harinya saya teringat, bahwa tadi malam setelah mata sembab mengadu nasib kepada Allah, Dia memberikan mimpi bertemu dengan Khalifatul Masih IV rh. Beliau rh. memberikan saya secarik kertas bertuliskan “AllaisaLlahu” hanya itu tidak ada lanjutannya.
Dan kemudian saya menemukan beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang berbunyi demikian, dengan arti “Tidakkah Allah Cukup?” Semenjak itu saya tidak pernah lagi merasa rapuh jika dihadapkan dengan hal demikian. Bahkan ketika ada yang berkomentar, “Hati-hati lo suaminya nikah lagi.” Saya Cuma “nyengir” aneh. Kok bisa ya sejauh itu pikirannya? pikir saya.
Kami mencoba berbagai usaha juga berdoa yang tak lekang putus. Dengan karunia Allah Ta’ala, kami berkesempatan mengikuti Jalsah Salanah Qadian 2016. Dimana pada saat itu kami juga diberi Karunia oleh Allah Ta’ala untuk menginap di Daarul Masih. Dengan begitu akses untuk berdoa dan Shalat di Mesjid Mubarak bisa lebih intens. Tak menyia-nyiakannya, kami memanjatkan do’a di berbagai tempat di komplek Daarul Masih terutama di Bait-ud-Du’a.
Singkat cerita, dari berbagai saran ada juga yang menyarankan berobat ke dokter supaya diperiksa kesuburannya. Namun, memang belum berfikiran serius ke arah sana. Saya dan suami masih santai menjalani kehidupan rumah tangga berdua. Menemukan ladang pengkhidmatan baru, mengorbankan apa saja di jalan Allah tanpa kecuali, dan menikmati masa-masa berdua lebih lama. Hitung-hitung menyelami karakter berdua lebih dalam.
Sampai suatu ketika, saya berada pada tahap, “Ya sudahlah, Jika memang Allah tidak memberikan karunia keturunan biologis kepada kami, mungkin kami bisa berfikir untuk mencoba membesarkan anak yang lain. Ikhlas saja. Bukan masalah besar. Mempunyai keturunan bukan untuk dibanggakan karena hasil pernikahan, tetapi justru karunia untuk membesarkannya dengan penuh tanggungjawab. Sama saja.” Begitu pikir saya.
Kami tak putus mengirim surat ke hadapan Huzur aba., supaya diberikan keturunan yang shaleh. Dalam setiap kesempatan Huzur membalas surat kami, “perbanyak Dzikir dan Shalawat. Semoga kalian selalu diberikan kebahagiaan dan diberikan keturunan yang shaleh.”
Namun satu ketika, kami mendapatkan balasan yang berbeda. Huzur menyarankan agar kami diperiksa tingkat kesuburannya. “Labbaik,” kamipun mengikuti apa yang Huzur sarankan dengan segera. Saya ingat surat tersebut saya terima pada bulan Juli 2017.
Mengingat tempat tugas suami sebagai mubaligh di satu daerah di Kalimantan Barat, jauh dari Rumah Sakit yang memadai. Kami memutuskan untuk periksa pada bulan depannya, yakni bulan Agustus 2017.
Sesampainya di Rumah Sakit yang dituju di Kota Pontianak, kami berkonsultasi singkat dengan perawat disana. Rupanya kami baru bisa diperiksa ketika saya datang bulan. Konsultasi singkat ini pun berakhir dengan membawa pulang secarik kertas berisikan nomor handphone petugas laboratorium yang akan memeriksa kami bulan depannya.
Pemeriksaan kesuburan ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, kami pun sempat berfikir mengumpulkan dulu biaya. Ini artinya untuk bulan depan pun kami belum tentu bisa mengumpulkannya. Akhirnya kami menulis kembali surat ke Huzur aba., memohon doa supaya dipermudah untuk pengadaan biaya pemeriksaan kesuburan. Ini hanya pemeriksaan kesuburan, belum tindakan medis lainnya.
Selang 2 bulan semenjak saya kirimkan surat permohonan doa tersebut kira-kira pada bulan Oktober 2017, datang sebuah keajaiban. Ini bukan soal dana untuk pemeriksaan kesuburan. Juga bukan soal kemudahan-kemudahan lainnya. Tapi ini tentang dua garis yang melintang pada “testpack”. Ini melebihi mimpi apapun yang pernah kami bayangkan. Dan karunia besar ini Dia zahirkan, tepat di tahun keenam pernikahan kami.
Kami tidak henti mengucap syukur sampai sekarang. Buah dari do’a kami menginginkan seorang anak yang sehat dan pintar. Begitu kami memohon nama kepada Huzur dan menceritakan kisah kami ini, Huzur memberikan nama Sabira Ahmad (Girl) dan Sabeer Ahmad (Boy) yang artinya kesabaran yang besar.
Dan kami sisipkan doa, “Mubasyira” yang artinya Kabar Suka. Genaplah sudah suka cita kami melewati berbagai macam kegelisahan, kebahagian, suka dan duka berumah tangga dengan hadirnya “buah kesabaran” ini di tengah-tengah kami.
Saya percaya doa dan keikhlasan adalah kunci utama menarik karunia Allah Ta’ala. Tidak ada do’a yang tidak dijawab oleh-Nya. Saat doa tak terjawab, itu bukan berarti tak terjawab. Allah hanya menukarnya dengan hadiah lain dan menahan hadiah utamanya untuk satu kurun waktu tertentu.
Hadiah utama tersebut akan datang pada waktunya. Jangan sampai kita lalai dan ingkar dengan hadiah yang Allah berikan lebih dulu sampai-sampai menangis tersedu. Bersyukur dalam menjalani hidup, semua akan terasa mudah.
.
.
.
Penulis: Adinda Firdhausya Z.
Editor: Muhammad Nurdin
Visits: 258