Keyakinan Bukan Hasil dari Paksaan

Alkisah, seorang pemuda bernama Abdul yang berasal dari keluarga muslim. Menurutnya, sebagai muslim biasa-biasa saja dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya sudah cukup. Namun, sebagai manusia biasa, dia ingin ada perubahan dalam hidup untuk menambah keimanannya dan menjadi seorang muslim yang lebih baik.

Suatu hari, Abdul melaksanakan salat Jum’at di masjid yang berbeda dari biasanya. Alasannya sederhana, ingin menambah ilmu yang lebih luas lagi tentang Islam. Meskipun sempat dilarang oleh temannya, karena menurut temannya di masjid tersebut berbeda dengan masjid pada umumnya.

Ketika datang ke masjid yang dituju, sambutan ramah dari pengurus masjid membuat hati Abdul begitu terkesan sangat mendalam. Saat khutbah berlangsung, Abdul begitu terkesima dengan paparan dari sang khatib, yang merujuk dari Al-Qur’an, sunnah dan hadits. Pesan-pesan yang disampaikan dalam khotbah menggetarkan kalbunya.

Biasanya, jika ia mendengarkan khutbah akan membuatnya jenuh, bahkan tak sadar sampai terlelap. Saat melaksanakan salat, ia menemukan ternyata di masjid itu sama seperti muslim pada umumnya, tidak ada perbedaan sedikit pun dalam tatacara cara beribadahnya.

Keramahan tak hanya dia peroleh saat kedatangan saja, ketika akan pulang pun sikap ramah ditunjukkan oleh para jemaah lainnya. Salah seorang mengajaknya untuk mampir menikmati secangkir kopi atau teh, tetapi Abdul menolaknya karena diburu waktu untuk masuk kantor lagi.

Setiap Jum’at, tak pernah terlewatkan untuk melaksanakan salat Jum’at di masjid tersebut. Perasaan damai dan penuh kasih sayang dia peroleh setelah mendengarkan setiap khutbahnya. Rasa penasaran pun hadir, kali ini Abdul menghampiri salah seorang jemaah di sana dan ingin berkenalan dengan khatib yang beberapa kali memperdengarkan isi khotbahnya yang berbeda. Hal ini belum dia temui sebelumnya di masjid lain.

Abdul sudah berada di salah satu ruangan, lengkap dengan jamuan sederhana yang sudah disiapkan. Abdul pun berkenalan dengan khatib yang ternyata seorang mubalig. Lama berdiskusi mengenai Islam hingga berlanjut ke minggu-minggu berikutnya.

Setelah berdiskusi sekian lama, kesan mendalam yang diperoleh menambah keyakinan dan pandangan baru tentang Islam yang sebenarnya. Abdul pun menetapkan hati untuk menjalankan ajaran Islam dengan sungguh-sungguh melalui Jemaat Ahmadiyah. Dia bergabung dengan Islam minoritas yang sering didiskriminasi karena berbeda keyakinan.

Abdul dijauhi oleh teman maupun keluarganya. Bahkan orang tuanya pun memarahinya dan memaksanya untuk tidak bergabung dengan Jemaat Ahmadiyah. Namun, Abdul tetap dengan keyakinannya.

Walaupun dijauhi bahkan dimarahi, dia tetap berbuat baik kepada teman maupun kepada kedua orang tuanya itu. Akhirnya, Abdul merasakan ketidakadilan dan memilih untuk menjauh dari lingkungan tersebut, merasa bahwa dia tidak memiliki kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.

Kisah Abdul, menunjukkan bagaimana paksaan dan tekanan sosial dapat menciptakan suasana tidak nyaman bagi individu yang mencari keyakinan. Ini jelas bertentangan dengan prinsip sebagaimana yang diamanatkan bahwa, “Tidak ada paksaan dalam agama.” [1]

Ayat tersebut menegaskan bahwa dalam Islam, keyakinan adalah pilihan yang harus datang dari hati, bukan hasil dari paksaan atau tekanan. Ayat ini juga mengajarkan prinsip toleransi, menghormati kebebasan seseorang dalam memilih keyakinannya, dan mengingatkan bahwa iman yang sejati harus berasal dari keputusan pribadi yang tulus.

Kisah Abdul tersebut menggambarkan pentingnya menghormati kebebasan beragama dan membuat lingkungan yang mendukung dialog dan pemahaman. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama yang mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri.

Kebebasan memeluk agama dan kepercayaan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. [2]
Dengan demikian, kebebasan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara, dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. [3]

Referensi:
[1] QS. Al-Baqarah 2: 257
[2] https://www.hukumonline.com/klinik/a/kebebasan-memeluk-agama-dan-kepercayaan-sebagai-hak-asasi-manusia-cl6556/
[3] Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

Visits: 36

Liana S. Syam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories