Lukman Al-Hakim, Model Orang Tua Ideal
Seperti biasa, saat subuh mulai merangkak menuju pagi yang menggagahkan mentari, aku mulai menguji kesetiaanku pada-Nya. Kuraih kitab-Nya. Helai demi helai kucermati setiap firman yang terkandung di dalamnya. Hingga tatapanku luruh pada Surah Ke–31, Surah Luqman.
Aku atau siapa saja pasti pernah membacanya, tapi apakah kita benar-benar tahu isinya? Ternyata, Surah yang terdiri dari 35 ayat ini membuatku terpacu untuk mengguncang pena dan kertas untuk sekedar menuliskan sesuatu. Sesuatu yang kurasa penting untuk diketahui banyak orang, apalagi bagi mereka yang telah berumah tangga.
Lamat-lamat kuperhatikan ayat demi ayat. Tetiba, keharuan penuh menempa batinku. Tuhan, betapa lembut tutur kata Lukman Al-Hakim menyapa, “Wahai anakku.. !” Berulang-ulang ungkapan memanggil yang lembut itu diucap hingga memunculkan kesan penuh kasih sayang dan keakraban.
Seguntang petuah akhlak yang terkandung di dalamnya, pantas menjadikan sosok Luqman Al-Hakim sebagai model untuk orang tua dalam mendidik anak, fikirku.
Tak serupa dengan surah-surah lainnya, Surah Luqman memotret kisah Luqman yang menghadiahi petuah pada anak-anaknya. Tentulah surah ini hadir tak hanya tuk menjadi dongeng pengantar tidur belaka.
Melainkan menabuh beribu petuah kepada orang tua dalam mengasuh anak-anaknya. Petuah-petuah ini bisa dengan mudah kita baca dalam Surah Luqman.
Anak adalah buah cinta di rumbia rumah tangga. Menghargai anak adalah suatu keharusan, sebab anak adalah anugerah yang melaluinya akan selalu terpancar umbul-umbul kebahagiaan yang menjadi penyejuk mata.
Nabi Muhammad Saw bersabda: “Hargai anak-anakmu dan kembangkan mereka dengan cara terbaik.” Sungguh petuah yang indah bukan? Petuah ini sudah ada jauh sebelum konsep-konsep tentang “parenting” menghambur dimana-mana.
Tentulah para orang tua menaruh bilik harapan terbaik bagi anaknya. Ingin memiliki anak yang shaleh, cerdas, lagi akram. Bukankah ini yang biasa kita sebutkan di sepertiga malam, bahkan kita sulit untuk menemukan kata penghabisnya?
Namun, memiliki anak yang shaleh, cerdas, penurut, santun dan sekian banyak akhlak mulia lainnya bukanlah perkara untung-untungan semisal tengah melempar dadu. Sebab para orang tua tak sedang bermain ular tangga, melainkan tengah berlaga di suhunan rumah tangga.
Menaruh asa tuk menjadikan seorang anak ini dan itu adalah naluri tiap orang tua. Butuh iming-iming, butuh marah-marah dan butuh waktu yang lama untuk membuat anak menjadi apa yang kita harapkan.
Terkadang senyum semut melingkari bibirku manakala memerhati seorang anak yang tengah melompat-lompat bagai ninja sambil menirukan idolanya Naruto. Butuh waktu sebentar saja untuk ia memiliki karakter sebagai Naruto. Namun, kenyataan yang akan terjadi siapa yang akan tahu. Siapa sangka, seorang anak amat mudah meniru orang lain, bukan malah menjadikan orang tuanya sebagai panutan?
Otakku mulai berkata, bahwa benar seorang anak perlu model. Ia adalah peniru yang paling handal dibandingkan aktor kenamaan sekalipun. Ia jua-lah spesies yang paling banyak melihat dunia dengan segala keherannnya. Sebab ia tak memiliki banyak data untuk menampilkan suatu perilaku tertentu.
Bagi seorang anak, bukan ukuran baik atau buruknya ia melakukan sesuatu, tapi itu adalah proses penjiplakan suatu model tertentu. Yang lebih menggelitik, seorang anak memulai dan menjalani kehidupan ini tak hanya dengan nalarnya saja.
Bulir-bulir kata bijak sarat makna yang disampaikan Luqman kan manis tergenapi jikalah mengapitnya dengan suatu contoh perbuatan. Sebab, anak layaknya plagiator yang tak berdosa, itulah yang cuma ia bisa lakukan.
Ada yang menarik dari kisah Mahatma Gandhi.
Suatu ketika ia didatangi oleh seorang ibu. Ibu itu memintanya untuk mem-petuahi anaknya yang terus-terusan memakan permen. Gandhi pun meminta waktu 2 minggu untuk memberi petuah dan menyuruh ibu itu datang kembali membawa anaknya setelah dua minggu.
Hingga ketika waktunya tiba, Gandhi berucap, “Nak jangan makan permen ya, nanti bisa merusak gigimu.”
Itu saja kata-kata yang keluar. Ibu itu pun terheran-heran. Kenapa butuh waktu 2 minggu untuk berbicara seperti itu. Akhirnya Gandhi pun menjelaskan bahwa ia butuh 2 minggu untuk meninggalkan manisan. Sebab ia tidak bisa mem-petuahi orang lain untuk tidak makan permen sementara ia sendiri masih memakan manisan.
Bukankah Allah Ta’ala berfirman, “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” ( Q.S. Ash-Shaff: 4)
Tentunya, Luqman yang diberi kebijaksanaan oleh Allah, bukan seorang pribadi yang pandai mem-petuahi. Jauh dari itu, beliau adalah seorang model atas apa yang sudah dipetuahkan kepada anak-anaknya.
Sebagai orang tua, kita perlu memperbanyak contoh yang bisa dijadikan acuan bagi anak-anak kita dalam berperilaku. Bukan malah terus-menerus mem-petuahi, sebab anak bukan waktunya untuk mengerti.
Tak terasa cahaya mentari pun mulai menelusup ke kulit ari. Sudah pukul tujuh. Usai kubingkai tarian huruf ini, lembut kututup Kitab Suci sambil mengingat-ingat apa yang tadi kubaca. Syukurlah hari ini aku menenun ilmu, bahwa untuk menjadi teladan perlu meneladani diri sendiri.
Orang tua adalah pendidik. Pendidik yang menang adalah mereka yang berhasil mendidik dirinya sendiri, lalu mendidik anaknya. Betapa dahsyat Al-Qur’an-Mu, Tuhan dalam mengabadikan kisah Luqman ini dengan indahnya.
Visits: 62
Masyaallah, mubarak bu riyanti
Masya Allah… tulisannya 👍👍 sebagai pengingat bagi para orang tua🙏
Luar biasa bu Riy Mantap
Jazaakumullah
Masya Allah bu riyanti. Memberikan pemahaman yang teramat dalam bagi sya pribadi.
Bahasanya indah sekali, Bu Riy.. kaya akan pilihan diksi 😍😍👍👍